Sepanjang jalan, aku dan Leizi sama-sama diam. Setelah beberapa saat mengayuh, Leizi membuka ponselnya, memutar lagu sambil bersenandung keras.
Sebenarnya aku tahu, Leizi hanya menyanyi dalam dua situasi: saat bahagia atau sedang meluapkan emosi.
Jadi aku tak menghalanginya, membiarkannya menyanyi sekeras-kerasnya.
Setelah lebih dari satu jam, kami sampai di kota. Kami mencari tempat parkir, membayar dua yuan untuk mengunci sepeda di rantai anti maling, lalu pergi ke terminal bersama.
Sesampai di terminal, kami langsung naik bus ke Dongdian City.
Sambil menunggu keberangkatan, aku menelepon Fang Ziyan untuk menanyakan posisinya. Layar rusak ini benar-benar merepotkan, harus menekan berkali-kali baru terhubung.
Telepon berdering lama tapi tak diangkat, akhirnya kututup. Kubilang dalam hati nanti saja di Dongdian City.
"San Ge, siapa yang kamu telpon?" Leizi duduk di sebelahku sambil memberikan sebotol air mineral.
Kuambil sambil menjawab: "Fang Ziyan dari kelas kita."
“Leizi, kamu nggak ngibul ya? Kamu tahu nomor HP Fang Da Banhua kita?” Leizi yang sedang membuka tutup botol air mineral langsung berhenti, memandangku dengan wajah tak percaya.
“Leizi, lo bicara jangan nyakitin gitu dong. Emangnya gue nggak boleh tahu nomor HP dia?” Aku memandang Leizi dengan kesal.
“Bukan, San Ge jangan salah paham. Maksudku, berapa banyak cowok di kelas kita yang ngejar dia tapi nggak dapet nomor. Kalau dia kasih nomornya ke kamu, artinya apa?” Leizi menjelaskan.
“Artinya apa?” tanyaku.
“Udah deh, pura-pura nggak tahu aja. Teruslah berakting…” Leizi membuka botol air mineralnya dan meneguk sedikit.
Aku hanya tersenyum tanpa bicara, menatap keluar jendela mobil menunggu bis berangkat.
Saat kami tiba di Terminal Dongdian siang hari sekitar pukul 11 lewat, aku mengeluarkan HP dan menelepon Fang Ziyan lagi di bawah pohon pinggir jalan.
Deringan berlanjut cukup lama sebelum akhirnya diangkat.
“Fang Ziyan, kamu di mana?” tanyaku.
“Shisan, maaf ya… Tunggu sebentar di sekitar terminal Dongdian, aku lagi di jalan, hampir sampai,” jawab Fang Ziyan.
“Oke,” jawabku singkat sebelum menutup telepon.
Leizi langsung mendekat dan menunjukku, “San Ge, baru sekarang gue sadar skill lo. Keren juga, bisa ngejar Bunga Kelas kita.”
“Udah ah! Lo nggak bisa berhenti ngaco ya?” Aku memicingkan mata pada Leizi.
“Basa-basi lagi, San Ge. Raba hati nuranimu sendiri, apa aku ini ngomong sembarangan? Kamu sudah kencan sama Fang Da Bunga Kelas, apa aku jadi kelebihan? Aku sendiri merasa jadi orang ketiga. Bagaimana kalau aku bawa mangkok keramik ini ke toko antik dulu, kamu dan Fang Da Bunga Kelas silakan lanjutkan...”
“Leizi, cukup! Kalau terus ngomong nggak karuan, istri hantu-ku dengar, nanti dia manjat jendelamu malem ini, percaya nggak?” Aku menakuti Leizi.
Tapi jurus ini cukup ampuh, karena sejak kecil Leizi tahu di sampingku selalu ada istri hantu wanita.
Mendengar itu, Leizi langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Kami menunggu Fang Ziyan di dekat terminal hampir setengah jam sebelum HP-ku berdering. Kuangkat dan ternyata Fang Ziyan yang mengabari sudah sampai, memintaku menjemputnya di pintu masuk terminal.
Setelah menutup telepon, aku dan Leizi langsung menuju pintu terminal. Dari kejauhan kulihat Fang Ziyan berdiri di bawah pohon liǔ, lalu kami menghampirinya.
“Fang Ziyan!” Sergahku memanggilnya.
Fang Ziyan kaget mendengar suaraku. Jelas tadi dia sedang asyik melamun.
“Kamu sudah datang? Lama menunggu ya?” Fang Ziyan tersenyum kecut padaku, lalu mengangguk pada Leizi di belakangku.
“Nggak lama. Ini uangnya.” Kukeluarkan seribu yuan dari saku dan kuserahkan padanya.
Fang Ziyan menerimanya sambil berkata, “Zuo Shisan, terima kasih. Aku... pasti akan cepat-cepat mengembalikannya.”
"Tidak apa, kita teman sekelas. Kamu pakai dulu saja, kembalikan kalau sudah ada uang." Aku melihat Fang Ziyan sambil berkata. Entah mengapa, hari ini aku merasa dia agak aneh, wajahnya pucat seperti orang sakit.
Fang Ziyan mengangguk, ingin mengatakan sesuatu tapi akhirnya diam. Melihat taksi datang di seberang jalan, dia melambaikan tangan dan pergi dengan taksi itu.
Memandangi Fang Ziyan yang pergi dengan taksi, hatiku merasa tidak karuan. Gadis yang biasanya ceria ini kenapa hari ini berubah total? Sedikit bicara dan terlihat banyak beban pikiran.
Ah, sudahlah. Lebih baik bantu Leizi melewati kesulitan ini dulu.
Akhirnya kami naik bus nomor 4 di dekat terminal menuju jalan antik di Dongdian City - satu-satunya kawasan penjual barang antik di kota ini.
Jaraknya tidak jauh, hanya 4-5 halte. Sesampainya di sana, kami membawa mangkuk keramik itu masuk.
Meski sedang jam makan siang, jalanan antik tetap ramai pengunjung.
Pepatah mengatakan: "Emas di masa sulit, antik di masa makmur". Sekarang orang-orang kaya berlomba membeli barang antik. Selain sebagai warisan leluhur yang penuh seni dan kebijaksanaan, koleksi ini juga bisa meningkatkan nilai aset rumah.
“Leizi dan aku memilih cukup lama, akhirnya memilih toko antik bernama ‘Rumah Harta Tersembunyi’ dan masuk ke dalam.
Alasan memilih toko antik bernama ‘Rumah Harta Tersembunyi’ ini karena saat itu tidak ada pelanggan, sementara mangkuk keramik yang kami bawa sumbernya tidak jelas, jadi kami harus ekstra hati-hati. Begitu masuk, kudapati pemilik toko ternyata seorang wanita berusia awal 30-an. Melihat Leizi dan aku masing-masing membawa tas ransel, ia langsung bangkit dari meja komputernya sambil tersenyum bertanya, "Anak muda, kalian mau jual barang? Warisan keluarga? Coba tunjukkin ya?"
Ternyata mata orang berpengalaman memang tajam. Sekilas langsung tahu maksud kedatangan kami.
Tapi setelah dipikir-pikir, wajar saja. Kami kan cuma dua mahasiswa. Di usia segini, buat apa beli barang di toko antik?
"Ini, Bu. Tolong lihat berapa harganya?" Leizi mengeluarkan mangkuk keramik dari tasnya dan menyerahkannya ke si pemilik toko.
Begitu melihat mangkuk keramik di tangan Leizi, mata sang wanita langsung berbinar. Tanpa bicara, ia segera mengambilnya, memeriksa dengan seksama.
Melihat reaksinya, kurasakan ini pertanda baik. Pasti ada sesuatu dengan mangkuk keramik ini.
Kami menunggu dengan diam sambil memperhatikan proses pemeriksaannya. Ia mengamati mangkuk itu, meraba permukaannya, mencium, bahkan menjulurkan lidah kecilnya menyentuh tepian mangkuk.
Pada akhirnya, setelah pemilik toko selesai memverifikasi, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia buru-buru mengembalikan mangkuk keramik itu ke Leizi sambil berkata, "Anak muda, barang ini tidak kami terima di sini."
Mendengar perkataan pemilik toko itu, hatiku langsung setengah dingin. Perubahan sikapnya terlalu drastis! Jangan-jangan mangkuk keramik yang kami ambil dari makam kuno ini palsu?
"Bu pemilik toko, mangkuk keramikku ini palsu?" Leizi menatap wanita muda itu bertanya.
Ia menggelengkan kepala: "Barangnya 100% asli. Tapi izinkan saya jujur, barang dari bawah tanah seperti ini sungguh tidak berani saya terima. Kalian bisa coba tanya ke tempat lain." Pemilik toko itu menatapku dan Leizi.
Karena sudah diusir halus, meski muka kami tebal, tidak pantas berlama-lama. Akhirnya kami membawa mangkuk keramik itu keluar dari "Rumah Harta Karun".
"San Ge, kalau mereka tidak mau menerima bagaimana?" Leizi bertanya dengan wajah kecewa.
Kutepuk bahu Leizi untuk menghibur: "Jangan putus asa. Dia tidak mau bukan berarti toko antik lain juga menolak. Barang antik kita ini asli, tak mungkin tidak laku. Ayo, kita coba ke toko berikutnya."
Tapi seringkali kenyataan tak sesuai harapan. Kami berkeliling ke beberapa toko antik lagi dengan membawa mangkuk keramik ini. Awalnya para pemilik toko terlihat antusias dan matanya berbinar-binar saat melihat mangkuk itu. Namun setelah diperiksa, mereka semua menggeleng atau mengibaskan tangan. Tak seorang pun mau menerima mangkuk keramik ini.
Aku dan Leizi tak bisa tidak merasa putus asa, aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Jika mangkuk keramik ini benar-benar barang antik asli, mengapa tidak ada yang mau membelinya?
Jangan-jangan ada sesuatu yang istimewa dalam mangkuk keramik ini? Memikirkan ini, aku segera mencari tempat teduh. Saat beristirahat bersama Leizi, aku mengeluarkan Buku Lengkap Ilmu Taoisme Maoshan dan mulai membuka-bukainya.
Aku ingin mencari tahu apakah di dalam Buku Lengkap Ilmu Taoisme Maoshan ini ada catatan tentang larangan atau pantangan dalam berdagang barang antik.
