"Jangan bengong! Cepat naik. Barang yang kalian bawa itu lumayan berharga. Aku akan bawa kalian ke tempat yang mungkin ada pembelinya." Perempuan itu kembali menyuruh kami.
"San Ge, naik tidak?" Leizi bertanya padaku.
"Ayo," kataku sambil berjalan bersama Leizi menuju Audi perempuan itu.
Saat ini kami sudah kehabisan akal. Toko-toko antik pun tidak mau menerima. Kalau perempuan ini tahu ada yang mau beli, harus dicoba.
"Dan tadi dia juga bilang, mangkuk porselen antik ini bernilai beberapa uang."
Setelah naik mobil, wanita muda itu langsung membawa kami menuju jalan di sebelah barat.
Tidak lama setelah berjalan, wanita muda itu bertanya kepada kami: "Dua anak ganteng, bisa jujur cerita dari mana kalian dapat mangkuk porselen itu?"
Mendengar pertanyaannya, Leizi melirikku seolah menyuruhku menjawab. Aku berpikir panjang akhirnya memutuskan tidak bisa jujur, karena barang ini kami temukan di makam kuno. Kalau sampai ketahuan, dituduh pencuri makam, bukan cuma gagal jual mangkuk - pasti masuk penjara.
"Kami nemu ini di belakang hutan produksi kampung, di rerumputan," jawabku.
Wanita itu terdiam sejenak. Mobil berbelok di tikungan sebelum dia bicara: "Sebenarnya mangkuk kalian ini bisa laku, tapi harus cari pembeli berani ambil risiko. Tapi kudepak dulu - kalau gagal jual ya sudah, tapi kalau laku, aku minta separuh hasil penjualan sebagai biaya rekomendasi."
Sial! Dasar mata duitan. Pantas saja baik hati mau antar kami jual mangkuk, ternyata mau komisi separuh!
Tapi lihat dia bisa beli mobil puluhan juta dan punya toko antik, pasti tidak kekurangan uang. Kalau mangkuk ini cuma laku seribuan, belum cukup buat nutup ongkos bensinnya.
"Tapi begitu dia membuka mulut langsung meminta separuh, aku agak sakit hati. Meski mangkuk keramik ini diambil Leizi dari makam kuno, tapi kami hampir mati di sana. Dia cuma perkenalkan pembeli, langsung ambil setengah. Siapa pun pasti tidak nyaman."
"Kak, ini keterlaluan. Kami mahasiswa miskin jualan susah-susah, minta dikurangi dong." Aku memandangi wanita muda itu.
"Tidak bisa ditawar. Kalian boleh pilih setuju atau tidak." Suara wanita itu seperti sudah yakin kami tidak punya pilihan.
Terpaksa, di bawah tekanan dan karena Leizi butuh uurg mendesak, kami akhirnya menyerah:
"Baiklah, setengah ya setengah."
Wanita itu menambahkan, "Tapi jangan terlalu berharap. Belum tentu bisa laku lho."
"Kenapa mangkuk keramik kami susah dijual?" Leizi tidak tahan bertanya.
Wanita itu menyisir rambutnya, "Bisnis barang antik tidak sesederhana yang kalian bayangkan. Terlalu banyak trik dan pantangan. Tidak semua cocok kerja di sini. Pertama, barang yang disebut antik harus punya sejarah panjang dan nilai zaman..."
“Mereka bisa berupa sebuah lukisan, bisa berupa perhiasan, bisa berupa giok, bisa berupa koin tembaga, bisa seperti mangkuk yang kalian pegang sekarang, bahkan bisa juga baju atau sepatu yang diambil dari kuburan kuno, sangat banyak jenisnya.”
“Tak bisa dipungkiri, semuanya bernilai sangat tinggi dan langka, tapi belum tentu cocok untuk masa kini. Beberapa barang antik, karena akumulasi waktu dan terpapar energi buruk, akan ‘kehilangan energi positif’, lalu mengandung energi negatif. Pemiliknya secara alami akan terpengaruh oleh perubahan energi magnetis dan peruntungan ini.”
“Karena itu, banyak pengusaha kaya dan pejabat tinggi yang setelah membeli barang antik tertentu ke rumah, hidup mereka menjadi tidak lancar—kesehatan, pekerjaan, bahkan keluarga, bencana terus-menerus, penyakit tak henti—semua ini dipengaruhi oleh fluktuasi energi peruntungan dari barang antik tersebut.”
“Apalagi beberapa barang antik berfungsi sebagai penjaga makam, membawa energi pembunuh. Semakin autentik sebuah barang antik, semakin harus berhati-hati. Makanya saat saya memastikan mangkuk keramik kalian ini asli, saya tidak berani membelinya, karena 99% mangkuk keramik itu mengandung energi pembunuh.”
“Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari wanita muda itu, saya mulai paham. Maksudnya adalah mangkuk keramik yang saya dan Leizi pegang ini mengandung energi pembunuh. Jika dibeli orang lain, akan mempengaruhi berbagai aspek peruntungan mereka.”
“Lalu, bagaimana rencanamu membantu kami menjual mangkuk keramik ini?” tanya saya.
"Di depan ada jalan antik dan peramalan, sebagian besar adalah pedagang kaki lima yang menjual antik palsu dan ramalan bohong untuk menipu uang. Tapi di antara mereka pasti ada orang pintar yang paham. Beberapa orang khusus suka mengoleksi barang antik yang mengandung aura negatif. Pertama, karena mereka punya kemampuan memurnikan aura negatif di atas barang antik itu. Kedua, barang antik beraura negatif harganya biasanya jauh lebih murah. Misalnya tungku dupa tembaga dari era Ming yang seharusnya bernilai pasar 100 ribu yuan, karena mengandung aura negatif harganya bisa turun drastis sampai 20-30 ribu yuan saja. Para ahli yang khusus mengoleksi barang antik beraura negatif ini akan memurnikan aura tersebut, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi untuk mendapat untung besar." Wanita muda ini cukup jujur, menjelaskan dengan detail kepada aku dan Leizi.
“Oh, akhirnya aku mengerti semuanya.” Leizi mengangguk.
“Kalau mangkuk keramik ini berhasil dijual, kira-kira harganya berapa?” Tanyaku pada wanita muda itu dengan perasaan berdebar.
“Kurasa sekitar 70.000 hingga 80.000 RMB.” Wanita itu menjawab dengan tenang bak angin sepoi-sepoi, tapi kami langsung tak bisa diam. Goblog! Mangkuk pecah begini bisa semahal itu?! Kalau sampai tak ada aura negatif di mangkuk ini, harganya pasti lebih gila lagi!
Pantas saja sejak zaman dulu para pencuri makam rela menanggung aib dan mempertaruhkan nyawa untuk merampok kuburan. Ternyata benar-benar pekerjaan yang bisa bikin kaya mendadak!
“Kita sampai, di ujung jalan itu.” Wanita itu menunjuk ke depan lalu menyetir melewati jalan tersebut. Setelah memutar, dia mencari tempat parkir dan menghentikan mobilnya.
Aku dan Leizi turun dari mobil, mengikuti dia menuju jalan yang khusus dipenuhi lapak.
Sesampainya di jalan ini, baru kusadari di mana-mana ada lapak menjual koin tembaga, keramik, giok, sedangkan tukang ramal yang membuka lapak malah lebih banyak lagi.
Seumur hidupku, belum pernah kulihat begitu banyak dukun berkumpul di satu jalan. Jumlah tukang ramalnya melebihi orang yang mau dirukal, apa mereka bisa dapat untung?
Ingin tahu berapa banyak tukang ramal di sini?
Beginilah gambaran tepatnya: kalau aku melempar batu ke udara, dari tiga orang yang kena jatuhan batu, dua di antaranya pasti tukang ramal lapak.
Para "ahli nujum" itu serentak membetulkan postur tubuh begitu melihat kami bertiga masuk ke jalan. Ada yang mendongak memandang langit, ada yang menunduk merenung, tak ketinggalan yang memejam mata sambil menghitung jari - semuanya berlagak bak pertapa sakti.
Melihat adegan ini, aku dalam hati mengelus dada. Sungguh disayangkan mereka tidak jadi aktor. Kepiawaian mereka berakting bisa bikin aktor pemenang Oscar pun malu.
Tapi aku sama sekali tidak simpati pada orang-orang seperti ini. Dalam buku "Pegangan Ilmu Taois Maoshan" memang tercatat ilmu meramal melalui fisiognomi dan bazi.
Tapi sekarang, dukun palsu seperti ini terlalu banyak. Dengan lidah emas dan dalih "ramalan sakti", mereka mengelabui orang untuk mengeruk uang. Bisa membuatmu merasa seperti habis menghisap candu, melayang bahagia sesaat; atau seolah malapetaka akan menimpa, sampai hilang semangat hidup.
Yi Jing China, warisan ribuan tahun, sampai sekarang justru karena para peramal palsu yang bahkan tak paham kulit luarnya ini bertebaran menipu, perlahan-lahan merosot. Hingga siapapun yang mendengar kata 'peramal', reaksi pertama mereka pasti 'penipu'.
Betapa memilukan, sungguh menyedihkan.
Wanita muda itu membawa aku dan Leizi ke tanah lapang di pinggir jalan. Ia menyuruh kami berjongkok di sana, meletakkan mangkuk keramik di tanah, menunggu dengan tenang orang yang paham nilai barang datang.
Begitulah, di bawah pimpinan wanita itu, kami membuka lapak. Setelah beberapa lama berjongkok, melihat orang lalu-lalang yang kebanyakan hanya melirik, bahkan tak ada yang menanyakan harga. Kami pun tak peduli lagi, langsung duduk di tanah. Berjongkok terlalu melelahkan.
Wanita muda itu kemudian masuk ke sebuah toko di seberang, setelah itu membawa bangku kecil keluar dan duduk di bawah bayangan tembok di belakangku dan Leizi, sambil bermain ponsel.
Kami berdua duduk di lantai merasa bosan, lalu mengobrol tentang gadis mana di sekolah yang paling cantik, dan topik siapa mengejar siapa di kelas.
Tepat saat aku dan Leizi membicarakan Fang Ziyan, seorang kakek tua tiba-tiba mendekati kami, menatap tajam mangkuk keramik yang terletak di lantai depan kami.
Aku langsung berdegup kencang di hati, menduga ini bertemu dengan yang paham. Baru ingin bertanya padanya, si kakek tua itu sudah lebih dulu membuka mulut. Ia menatapku dan Leizi sambil bertanya, "Adik, kalian berdua berminat memberi tanggal lahir? Kakek akan meramalkan diagram I Ching untukmu. Cinta, studi, semua bisa diramal. Satu ramalan sepuluh yuan, kalau tidak akurat tidak usah bayar!"
