“Aku sedikit kecewa mendengarnya, ternyata kakek tua ini bukan menanyakan mangkuk keramik, melainkan melihat aku dan Leizi masih muda, ingin menipu uang.”
“Meski agak kesal, tapi mengingat usianya yang sudah sepuh, aku tetap sopan berkata: ‘Lao Xiansheng, kami berdua tidak terlalu tertarik dengan ramalan, tidak usah dihitung. Silakan cari orang lain saja.’”
“Mendengar perkataanku, kakek tua itu langsung diam. Ia berdiri di depan aku dan Leizi sambil terus menggelengkan kepala dan menghela napas, sesekali bergumam:”
“‘Ah! Sayang sekali nasib yang begitu baik ini, sayang sekali...’”
“Sudahlah, ini mulai berakting lagi. Aku pura-pura tidak dengar, biarkan dia bicara sendiri. Orang jenis ini tipikal tebal muka, kalau dilihat tidak dihiraukan pasti akan pergi.”
“Tapi Leizi tiba-tiba menatap si kakek dan berkata: ‘Katakanlah Lao Xiansheng, kalau kau begitu hebat bisa tahu segalanya, kenapa tidak meramal nasibmu sendiri?’”
“Begitu Leizi membuka mulut, aku langsung tahu ini akan berujung buruk. Para tukang ramal palsu biasanya sangat sensitif dengan pertanyaan seperti ini. Begitu terlontar, pasti berakhir dengan pertengkaran sengit.”
“Benar saja. Begitu mendengar ucapan Leizi, wajah ramah sang kakek tadi langsung berubah muram. Kecepatan perubahan ekspresinya hampir menyamai bunglon.”
“‘Anak muda, makanan bisa sembarang dimakan, tapi kata-kata jangan sembarang diucapkan.’ Tukang ramal itu menatap Leizi dengan nada mengancam.”
“Leizi juga orang yang berangasan. Karakternya sangat blak-blakan. Kalau diajak bicara baik-baik masih bisa, tapi kalau dihadapkan dengan kelicikan, dia justru akan lebih keras kepala.”
“Kakek, saya dan teman saya sudah jelaskan tadi, apakah pendengaranmu bermasalah atau bagaimana? Tidak dihitung!” Leizi berbicara pada kakek tua itu dengan nada kasar.
Saat Leizi berbicara, saya menoleh melihat wanita paruh baya yang membawa kami ke sini. Kini dia tidak lagi asyik dengan ponselnya, duduk di bangku sambil terus memandang ke arah kami dengan ekspresi menikmati pertengkaran seperti menonton harimau bertarung di gunung.
“Kakek kalau benar-benar punya kemampuan, jangan mengobrol ngalor-ngidul. Tunjukkanlah ramalan wajahku sekarang! Kalau bisa tebak benar, kuberitahu kawan-kawanku, kami tidak kekurangan apa pun kecuali harta. Saat itu bukan cuma sepuluh yuan, sebelas pun kuberi!!” Leizi masih terus berdebat dengan kakek tua itu.
Aku berpikir pertengkaran mereka ini tidak akan membawa hasil. Kami datang untuk menjual mangkuk keramik, kalau terus bertengkar begini, siapa yang mau membeli?
Jadi kuhela lengan Leizi, memberi isyarat untuk mengalah dan membiarkan si kakek bicara sampai puas sendiri.
Ditarikku seperti itu, Leizi pun tersadar tujuan utama kami. Dia memendam amuk dan duduk kembali, mengabaikan si kakek.
Tak disangka si kakek makin menjadi-jadi, tetap berdiri di depan lapak kami sambil terus memaki seolah kami berhutang jutaan padanya.
Keributan ini menarik kerumunan orang. Rupanya si kakek sudah lama di jalanan ini. Selain penonton, sebagian besar pengunjung malah membelanya.
"Sabar sebentar, Leizi benar-benar tak tahan lagi, hendak bangun mengumpat. Melihat ini, aku buru-buru menahannya. Mendahuluinya, aku menatap kakek tua itu dan berteriak keras: "Hei kakek, kapan berhentinya?! Bukannya kau datang untuk meramal nasib kami? Beri tahu tanggal lahirmu, akan kuramal untukmu. Gratis!""
Teriakanku membuat kerumunan sekitar langsung hening. Kakek tua itu tertegun sejenak, lalu mendengus sinis sambil memandangku dari ujung kepala ke kaki: "Anak muda, jangan sembarangan menggembar-gemborkan kemampuan. Jangan sampai nanti omonganmu tak bisa ditarik kembali.""
Aku tersenyum pada si kakek: "Bukan soal gembar-gembor. Mari buktikan dengan praktik. Izinkan aku meramal nasibmu.""
"Bulu ketiakmu saja belum tumbuh sudah berkoar-koar! Baiklah, tak perlu pakai bazi - ini aturan profesi kami. Kalau mau meramal, lihatlah fisiognomiku!" Rupanya si kakek mengira aku sama sekali tak paham ilmu ramal.
"Baik! Akan kuperiksa fisiognomimu!" Aku bangkit berdiri, menatapnya tajam: "Tapi kata-kata tak ada bukti. Bagaimana jika kukatakan benar tapi kau menyangkal? Lebih baik..." Aku berpaling ke kerumunan penonton: "Siapa yang mengenal bapak tua ini? Yang tahu latar belakang keluarganya, mohon maju ke depan!""
"Begitu suaraku berhenti, seorang pria paruh baya langsung maju dan berkata padaku: 'Saya sudah kenal bapak tua ini bertahun-tahun, cukup tahu latar belakangnya. Saya mau jadi saksi, apa kalian berdua percaya?'"
"Kalau di tempat lain, pertengkaran antara kakek tua dan pemuda seperti aku soal ramal-meramal wajah, orang cuma nonton sebagai tontonan."
"Tapi di sini beda. Yang datang ke sini pasti tertarik dengan ilmu ramal wajah. Buat apa mereka datang kalau tidak? Makanya begitu aku selesai bicara, langsung ada yang maju."
"Melihat kenalannya datang membantu, si kakek tua cepat-cepat mengangguk setuju. Setelah kuperhatikan pria paruh baya itu, garis hidung-lurus, matanya berbinar, pakaiannya mewah - jelas bukan tipe pembohong - akupun mengangguk."
"Sudah! Saksi yang tahu seluk-beluk sudah datang. Cepat lihat wajahku! Aku memang penasaran apakah kau benar-benar jagoan muda. Kalau ramalanmu tepat, aku mau jadi muridmu!"
"Aku tidak menanggapi omongan kakek itu. Dengan ilmu membaca wajah yang kupelajari dari Buku Lengkap Ilmu Taoisme Maoshan, kuperhatikan wajahnya dengan seksama."
"Sebenarnya ilmu membaca wajah ini bisa dibilang sulit tapi juga mudah. Seperti tertulis dalam Buku Lengkap Ilmu Taoisme Maoshan, ada empat poin dasar:"
"Pertama: Menilai kebaikan dan keburukan hati seseorang."
"Kedua: Mengamati energi batin (shen) dan aura luarnya."
"Ketiga: Menganalisis struktur tulang."
"Keempat: Menilai kelima indera dan penampilan fisik!"
"Dalam ilmu fisiognomi Ajaran Maoshan, kebaikan hati dan moralitas seseorang ditempatkan sebagai prioritas utama! Ada pepatah klasik dalam seni membaca wajah: 'Hati yang baik, rupa mengikuti hati; hati yang jahat, rupa ikut musnah!'"
"Garis rambutmu rendah, dahi sempit, sorot mata tidak lurus terselip kilauan nafsu. Paman, izinkan saya menasihati - di usia senja seperti ini, sebaiknya kurangi menonton film H. Sungguh tidak baik untuk kesehatan. Energi vitalmu sudah habis sama sekali." Aku menatap kakek tukang ramal itu.
Begitu ucapanku meluncur, kerumunan penonton pecah dalam gelak tawa. Leizi di sampingku tertawa paling keras sampai hampir tercekik.
"K-kau... Apa maksudmu?! Ini namanya baca wajah atau ngawur?!!" Wajah kakek peramal itu memerah dan pucat silih berganti, tampak sangat tersinggung.
"Baik, akan kuperlihatkan ilmu sesungguhnya!" Sambungku sambil menatap wajahnya: "Tulang hidungmu tipis dan menonjol, ujung hidung tajam seperti pisau. Sifatmu picik dan sulit bergaul, pandangan ekstrem yang bertentangan dengan umum. Sepanjang hidup sulit sukses, berkubang dalam kemiskinan, rumah tangga berantakan. Sekarang entah pisah ranjang atau sudah bercerai dengan istri, benar kan?" Tanyaku menantang.
Kakek itu terdiam lama sebelum akhirnya gagap: "D-dasar... Istriku dan aku rukun sekali!"
“Harmonis? Kalau benar harmonis, sekarang juga kamu telepon istrimu di depan semua orang, nyalakan loudspeaker, biarkan semua dengar apakah kalian benar-benar harmonis.” Aku menatap kakek tua itu.
“Kamu... Aku... HP-ku tidak kubawa.” Saat ini si kakek peramal sudah mulai grogi, nada bicaranya semakin kecil, hilang seluruh kepercayaan diri sebelumnya.
“Baik, anggap saja HP-mu tidak terbawa. Lanjut, menurut garis rahangmu yang runcing, dagu pendek, hidung pendek, terlihat kamu orang tanpa prinsip, tidak punya keteguhan, hanya mengejar keuntungan kecil, berpandangan sempit. Dari wajahmu juga kulihat, kamu hanya punya satu anak perempuan, benar atau tidak?” Tanyaku pada kakek itu.
Baru saja kalimatku selesai, pria paruh baya tadi buru-buru menyela: “Benar! Dia memang cuma punya satu anak perempuan! Master Anda benar-benar berbakat di usia muda!!”
Melirik pria paruh baya itu, aku melanjutkan ke kakek tua: “Wajahmu menghitam suram, kulit kencang kering, wajah agak bengkak, kelopak mata pucat bengkak, celah mata kecil, dahi berlekuk saat ditekan – saat ini kamu pasti menderita nefritis akut atau kronis, penyakit ginjal, benar atau tidak?!”
Mendengar ini, mulut si kakek terkanga lebar, matanya menatapku bagai melihat monster.
“Kalau kau merasa aku salah, kita bisa langsung pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan, biar kelihatan apakah aku ngomong sembarangan atau tidak!” Setelah mengucapkan ini, hatiku merasa lega. Sebelumnya saat membaca catatan dalam 《Pegangan Ilmu Taois Maoshan》tentang cara mendiagnosis penyakit lewat wajah, aku hanya mengingat satu kasus tentang penyakit ginjal. Kebetulan banget si kakek sialan ini kena.
Orang-orang yang menyaksikan mulai berbisik-bisik setelah mendengar ucapanku. Mereka menatap kakek tua itu menunggu jawabannya. Jadi, mau periksa ke rumah sakit atau tidak?
