"Fang Ziyan, mereka tidak menyakitimu kan?" Tanyaku gugup sambil menatapnya.
Fang Ziyan menggelengkan kepala cepat-cepat mendengar pertanyaanku. Matanya menatapku sekilas sebelum kembali menunduk, sama sekali tidak bersuara. Mungkin masih trauma dengan teror Lin Muxin dan kroni-kroninya.
Melihat keadaan Fang Ziyan seperti ini, amarah langsung menyembur dari dadaku. Tanpa pikir panjang, telunjukku menuding hidung Lin Muxin sambil membentak:
"Lin Muxin, kau benar-benar brengsek! Aku brengsek kau!!!" Teriakku sambil berlari ke arah Fang Ziyan, berusaha menariknya bangun dari sofa untuk membawanya pergi.
Belum beberapa langkah aku melangkah, dua preman menghadang. Salah satunya mendorongku sambil mengumpat: "Kontol! Berani-beraninya bicara seperti itu! Mau cari mati?!" Seketika orang itu hendak memukulku.
"Jangan pukul dulu!" Lin Muxin berteriak menghentikan preman itu dari belakang.
"Kenapa? Bos Lin, si keparat ini sudah menghina mu begitu, masih mau melindunginya?!" Si preman itu memandang Lin Muxin dengan bingung.
Aku tahu persis alasan Lin Muxin menghentikan mereka - dia takut "terjadi sesuatu".
Di sekolah, siapapun yang berani menyentuhku akan langsung celaka. Lin Muxin sendiri pernah berkelahi denganku dan sering kena batunya, makanya dia sangat hati-hati.
"Bukan melarang, hanya mau mengingatkan. Bocah ini sangat jahat. Saat kalian pukul, hati-hati. Jangan sampai terjebak triknya." Lin Muxin memperingatkan kedua preman itu.
Dia tak tahu sejak kecil aku dilindungi An Rushuang. Tapi sekarang An Rushuang tak bisa melindungiku lagi. Energi Yin-nya belum pulih sepenuhnya, hanya cukup untuk bertahan hidup. Hari ini aku harus mengandalkan diri sendiri.
Aku melihat Lin Muxin terus waspada terhadapku, melihat ada celah, segera menambahkan bumbu dengan melihat Lin Muxin dan berteriak: "Lin Muxin dasar bajingan! Kalau berani suruh antek-antekmu menyentuh Kakek, lihat ke atas! Lihat lampu gantung itu! Aku perkirakan beratnya minimal 15-20 kg. Kalau dua antekmu ini berani menyentuhku sedikit saja, aku jamin lampu itu akan jatuh menimpa kepalamu! Meski tidak sampai mati, pasti kepalamu pecah berantakan! Coba saja suruh mereka pukul aku!!"
Lin Muxin langsung gemetar seluruh tubuhnya mendengar ucapanku. Dia sudah sering berkelahi denganku, tentu tahu julukan "dewa petaka" yang kumiliki. Bahkan jika aku bilang gedung ini akan runtuh pun dia percaya, apalagi soal lampu gantung jatuh.
Tapi keyakinan Lin Muxin tidak berarti diterima oleh dua anteknya. Salah satunya meludah ke lantai, mengumpat, lalu mengayunkan tinju ke arahku!
"Berhenti!!!" Lin Muxin nyaris terlonjak dari sofa, buru-buru menghentikan anteknya.
"Bos Lin, Bapak benar-benar percaya omong kosong si brengsek kecil ini?! Aku tidak percaya tahayul ini. Mana mungkin memukulnya bisa bikin lampu jatuh?" Salah satu antek menoleh ke Lin Muxin sambil berkata.
“Kau tahu apa!! Minggir sana!” Lin Muxin berteriak kesal. Memang, kalau jadi aku pun akan marah. Musuh sendiri jatuh ke tangan tapi tidak boleh dipukuli, bukankah itu menyebalkan?
Perasaan dia saat ini, aku bisa mengerti...
Meski dua preman itu bertubuh besar dan berwajah sangar, mereka patuh pada perintah Lin Muxin dan mundur ke samping.
Melihat ini, aku segera berlari ke arah Fang Ziyan, menarik lengannya dan menyuruhnya bangun dari sofa, lalu membawanya keluar dari ruang VIP.
Saat sampai di pintu, pria botak yang berdiri di depan pintu menghalangi jalan kami.
"Minggir!" teriakku pada si botak. Karena sudah mulai berakting, harus dipermainkan sebaik mungkin - bersikap tegas agar Lin Muxin tidak menemukan kelemahan.
Walaupun begitu, sejak masuk ruangan ini detak jantungku tak pernah melambat. Jika mereka tahu memukulku tidak ada "balasannya", dengan tiga preman sangar itu, delapan puluh persen aku bisa jadi cacat di sini!
Si botak tak bergeming mendengar teriakanku. Dengan tatapan dingin ia berkata, "Aku tak percaya tahayul! Hari ini kalau mau keluar dari sini, mustahil! Mau keluar? Harus terbujur kaku!!" Ia menatap Lin Muxin, "Pak Lin, kalau takut silakan keluar dulu. Hari ini akan kulihat, mulut bocah ini atau tinjuku yang lebih keras!!"
Mendengar ini, aku tahu pasti akan mendapat pukulan. Aku memaksa diri tenang, jangan takut. Takut atau tidak tetap akan dipukul. Dengan tenang mungkin bisa cari akal. Tiga puluh enam siasat, satu gagal, lahirkan yang baru. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku: provokasi!
Sebelum Lin Muxin buka mulut, aku menoleh dan berkata dengan sinis: "Lin Muxin, kau pikir punya uang bisa menyuruh orang lalu lupa diri? Berani tidak aku telepon orang untuk tunjukkan apa itu preman sejati?!"
Lin Muxin menyeringai dingin:
"Kau pikir aku bodoh?! Zuo Shisan, hari ini kalau kau berhasil telepon, aku ganti marga! Setelah keluar, hajar dia!!" Lin Muxin berjalan keluar bilik.
Sebelum sempat buka pintu, ketukan darurat terdengar di luar.
Kejadian tak terduga ini membuat semua kaget. Lin Muxin memberi kode pada pria botak untuk tanya identitas orang luar.
Tapi sebelum sempat bertanya, suara kunci dibuka terdengar. Pintu terbuka, 4-5 pria masuk mendadak.
Kawan atau lawan? Melihat pria-pria ini, hatiku semakin cemas.
“Xiao Shifu, kamu masih ingat aku?” Di antara beberapa pria yang masuk, salah satu pemimpinnya berjalan mendekat ke arahku.
Aku melirik sebentar, pria ini terlihat agak familiar, sepertinya pernah bertemu di suatu tempat, benar! Dia adalah pria paruh baya yang membantu aku dan kakek tua itu sebagai saksi di Jalan Antik.
Juru selamat datang. Saat ini dia datang dengan membawa orang, pasti bukan untuk membantu Lin Muxin. Aku segera melihatnya dan berkata: "Ingat, kamu... kenapa tiba-tiba datang ke sini?"
Tak disangka pria itu tertawa terbahak-bahak, lalu berkata padaku: "Haicheng KTV ini milikku, kenapa aku tidak bisa ke sini? Ngomong-ngomong, saudara-saudara, xiao shifu ini adalah teman Pang Dahai saya. Bisakah kalian memberiku muka dan berhenti menyulitkan mereka?" Pria paruh baya yang menyebut dirinya Pang Dahai itu berbicara pada Lin Muxin dan kawan-kawan dengan sikap tegas namun santun.
Mendengar perkataan Pang Dahai, meski hati Lin Muxin tidak rela, dia hanya mengucapkan beberapa kata formal untuk menyelamatkan muka, lalu mengancamku dengan geram sebelum pergi bersama anak buahnya.
Melihat Lin Muxin dan rombongannya keluar dari ruang VIP, hatiku berdesir. Siapakah sebenarnya Pang Dahai ini? Kelihatannya latar belakangnya tidak sederhana, pasti bukan cuma pemilik satu KTV.
“Xiao Shifu, mereka tidak menyakitimu, kan?” Pang Dahai menatapku sambil tersenyum.
Aku menggelengkan kepala, lalu memandang Fang Ziyan:
“Kamu tidak apa-apa?”
Fang Ziyan menggeleng perlahan tanpa bicara. Jelas sekali dia masih trauma berat dengan kejadian hari ini.
“Zuo... Zuo Shisan, cepat bawa aku pergi.” Fang Ziyan berdiri di sampingku sambil menarik-narik ujung bajuku.
“Terima kasih untuk hari ini, aku akan membawa temanku pulang dulu, dia masih shock.” Aku berkata pada Pang Dahai.
“Aku antar kalian keluar.” Pang Dahai memimpin jalan di depan, membawa aku dan Fang Ziyan menuruni tangga.
Di depan KTV, aku berpamitan dengan Pang Dahai, lalu membawa Fang Ziyan menuju jalanan.
“Aku antarmu pulang ya.” Aku melihat Fang Ziyan yang menunduk di sampingku.
Fang Ziyan menggelengkan kepala, tetap diam.
“Bagaimana kalau aku ajakmu ke rumah sakit?” Melihat kondisi Fang Ziyan sekarang, aku mulai khawatir.
Fang Ziyan masih menggeleng, lalu mengangkat kepala seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun mulutnya yang setengah terbuka akhirnya tak bersuara, kembali menunduk.
“Kalau tidak pulang juga tidak ke rumah sakit, mau kemana lagi?” Tanyaku.
“Zuo Shisan, temani aku jalan-jalan ke tepi sungai di taman yuk.” Fang Ziyan mengajakku. Setelah kejadian tadi, langit sudah mulai gelap. Jam segini mungkin terminal bus sudah tutup, lagipula tidak ada kendaraan lagi. Aku pun setuju menemaninya sekadar untuk refreshing.
Begitulah, Fang Ziyan membawaku menuju taman yang sudah lama ditinggalkan di kota Dongdian.
Awalnya aku curiga, kenapa Fang Ziyan tiba-tiba mengajakku ke tempat sepi seperti ini? Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin dia ingin cari tempat sepi untuk menenangkan diri. Akhirnya kutemani saja.
