Duduk di mobil polisi yang menuju kantor polisi Dongdian, dua polisi yang duduk di samping kiri-kananku langsung menghajariku tanpa bicara. Aku mati-matian menundukkan kepala dan mengangkat kedua lengan untuk menutupi wajah. Tamparan dan pukulan sebagian besar mendarat di kepala dan lenganku.
Aku kan mencari nafkah dari wajah, kalau sampai mukaku rusak kena pukul, mau cari makan bagaimana nanti?
"Bangsat! Kapten Su, katamu benar! Tangan kaki bocah ini memang kotor. Terakhir kali berkelahi kau sudah menangkapnya, baru berapa lama dia sudah main pukul lagi. Korban kali ini kayaknya sudah tewas, ya? Sudah benar-benar mati kaku." Polisi di sebelah kiriku menghantam kepalaku dengan keras sambil bicara ke rekannya.
"Dasar kurang ajar! Bukannya guru lo kenal kepala kepolisian?! Kali ini kau jatuh di tanganku, siap-siap kau kehilangan beberapa lapis kulit! Hari ini kau sudah membunuh!" Polisi lainnya memakiku dengan kasar.
Begitu mendengar suara polisi ini, aku langsung tahu siapa dia. Dialah polisi kurus bernama Su Jin yang dulu membawa orang untuk memukuli aku dan Leizi di ruang interogasi!
Sial! Benar-benar musuh takkan bertemu jika tak diatur. Hari ini aku jatuh ke tangannya, pasti tak bisa menghindari derita fisik lagi.
Tapi dari perkataan polisi kurus ini, aku semakin yakin bahwa Lin Muxin telah bersekongkol dengan polisi kurus ini untuk menjebakku.
Kalau dikatakan buruh migran yang dikendalikan ilmu santet tadi mati karena beberapa pukulanku, sampai mati pun aku tak percaya. Satu-satunya kemungkinan adalah buruh migran itu sudah mati sebelum aku memukulinya. Ini pasti jebakan!
Setelah dipikir lagi, mulai dari Fang Ziyan yang mengajakku ke KTV bertemu Lin Muxin, lalu kemunculan pria paruh baya bernama Pang Dahai tanpa alasan jelas, semua ini seperti reaksi berantai yang membawaku selangkah demi selangkah masuk perangkap mereka, sampai akhirnya aku ditangkap langsung oleh polisi kurus ini.
Orang lain mungkin bisa dimaklumi, tapi aku benar-benar tak percaya Fang Ziyan ternyata membantu Lin Muxin menjerumuskanku. Ini membuatku murka, benar-benar buta!
Mobil terus melaju. Saat sampai di pusat kota Dongdian, dua polisi itu mungkin sudah lelah memukul atau tangan mereka sakit. Setelah memakiku beberapa kali, mereka berhenti menganiaya.
Aku hanya merasa seluruh kepala berkunang-kunang, leher berdenyut-denyut sakit. Kuulurkan tangan meraba leher sendiri, tangan terasa lengket—mungkin mereka sudah mencakar sampai berdarah.
"Anjing sialan! Nanti kau akan dapat giliran, berani macam-macam sama kami! Sekarang baru permulaan, nanti kubuat seluruh keluargamu tak tenang!!" Polisi kurus itu mengancam sambil menyemburkan bau mulut busuk bercampur ludah ke wajahku.
Sejak masuk mobil, aku terus berusaha menahan diri. Tapi saat mendengar ancaman "keluarga tak tenang" dari polisi kurus itu, amarahku meledak. Kutekan gigi kuat-kuat ke lengan tangannya!
"Aduh! Sialan!!" Polisi kurus itu menjerit kesakitan.
Gigitan ini kukerahkan semua tenaga. Begitu gigit, mulut langsung terasa asin darah kental berkarat.
"Bangsat!! Berhenti! Anjing gila ini menggigit, seret dia keluar dan hajar! Hajar sampai mati!!" Polisi kurus itu menggigil sambil memukuli wajahku dengan tangan satunya.
Mobil segera berhenti. Dua polisi di depan langsung menyambar, menarikku dengan kasar hingga terlempar keluar mobil.
“Kalian pukul dia! Dasar goblok, kenapa diam saja?!！” Polisi kurus itu menutupi lengan yang berlumuran darah sambil keluar dari mobil.
Salah seorang polisi yang mendengar perintah polisi kurus itu, buru-buru menunjuk ke belakang mobil:
“Wakil Kapten Su, di... di sini ada kamera pengawas...”
Polisi kurus itu mengikuti arah jari polisi tersebut, marah hingga menendang mobil keras-keras sambil menunjukku dengan garang: “Dasar anjing, tunggu sampai balik ke kantor, aku akan membuatmu menderita!”
“Dasar monyet kurus, gua sumpahin leluhurmu! Kalau berani, bunuh gua sekarang!!” Aku memaki polisi kurus itu dengan kasar. Saat ini aku benar-benar hilang kendali. Andai tangan tidak diborgol, pasti sudah kucari batu untuk menghajarnya sampai mati.
“Kau pikir bisa selamat? Hari ini kau sudah membunuh! Pembunuh harus bayar nyawa! Santai saja menunggu ajal!” Polisi kurus itu lalu memandangi dua polisi yang mengawasku: “Bawa anjing gila ini ke mobil polisi, aku akan naik mobil belakang ke rumah sakit dulu.” Polisi kurus itu kemudian masuk ke mobil polisi di belakang.
Aku dibawa oleh dua polisi itu ke mobil patroli, pintu ditutup dan kembali melaju ke kantor polisi.
Mungkin karena kejadian tadi, polisi yang duduk di belakang mengawasiku sengaja menjaga jarak. Tidak memukul maupun memaki, bersikap seperti pria terhormat...
"Zuo Shisan, jangan bertindak gegabah. Sekarang kamu harus belajar bersabar. Jika ada yang sengaja memancingmu dengan kata-kata kasar, langsung bertindak, nanti kamu akan dirugikan." Suara An Rushuang terdengar dari sampingku.
Aku menoleh dan melihatnya sedang duduk di kursi yang sebelumnya ditempati polisi kurus itu.
"An Rushuang, kamu tidak takut mereka melihatmu?" tanyaku padanya.
An Rushuang menggelengkan kepala perlahan:
"Roh seperti kami bisa mengontrol penampakan. Saya bisa memilih siapa yang bisa melihat dan tidak. Percakapan kita juga sama, tenang saja, mereka tidak bisa melihat saya."
"Oh, tadi saya terlalu marah, tidak bisa menahan diri..." jawabku pada An Rushuang.
"Ngobrol sama siapa kau?! Jangan pura-pura gila untuk lolos dari hukuman mati. Musuhi keluarga Lin, sekalipun benar-benar gila, tetap akan kubunuh!" hardik polisi itu dengan dingin.
Aku mengabaikannya. An Rushuang melanjutkan, "Sebenarnya bukan hanya kamu yang marah. Tadi saya juga sangat kesal. Melihat mereka memukulmu tapi tidak bisa membantu, hanya bisa diam melihat... hati saya tersiksa." Suaranya terdengar sedih.
Aku tahu dia mulai menyalahkan diri lagi. Padahal ini bukan salahnya, tapi An Rushuang selalu memikul semua tanggung jawab. Sikapnya justru membuatku semakin merasa bersalah. Tentang pola pikir perempuan zaman kuno yang menganut 'pria diutamakan, wanita direndahkan', aku sedikit paham. Karena itulah An Rushuang merasa bersalah tidak bisa membantuku.
Aku menatap wajah An Rushuang yang sangat cantik, tiba-tiba muncul dorongan aneh dalam hati. Setelah menarik napas dan mengumpulkan keberanian, aku menggenggam tangannya sambil berkata: "An Rushuang, berjanjilah padaku. Apapun yang terjadi di masa depan, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Nyawa seluruh keluargaku diselamatkan olehmu. Jadi apapun yang terjadi, selamanya aku yang berhutang padamu." Ini pertama kalinya aku menggenggam tangan An Rushuang. Tangannya terasa dingin namun lembut seperti tak bertulang, tanpa sadar aku menggenggam lebih kuat.
Namun pada saat itu, tubuh An Rushuang tiba-tiba menghilang. Lalu kudengar suaranya terdengar di sampingku:
"Sudah saat-saat genting begini, masih saja iseng. Lebih baik khawatirkan nasibmu sendiri! Aku akan keluar dulu mencari cara menghubungi Shifu-mu agar dia bisa menyelamatkanmu."
"An Rushuang, jangan pergi dulu! An Rushuang? An Rushuang!......"
"Dasar kau tidak bisa diam?! Teriak-teriak apalagi?! Nanti di kantor polisi baru kau bisa teriak!!" Polisi di sampingku membentak.
Aku menoleh dan menatapnya dingin: "Yintangmu menghitam, tatapanmu kosong, mata cekung. Ini pertanda kematian Yang Qi mendekat. Aku ingatkan, banyak-banyaklah berbuat baik! Jika tidak, kau akan mati secara tidak wajar!!"
Ucapanku ini bukan untuk menakut-nakuti. Polisi ini memang memiliki wajah Yin yang berlebihan - dalam istilah awam disebut wajah Umur Yang hampir habis. Sangat mungkin dia akan menemui ajal tidak wajar dalam waktu dekat.
“Polisi itu terkejut mendengar perkataanku, beberapa saat baru sadar, lalu menunjukiku sambil memaki. Tapi sepertinya dia masih trauma melihatku menggigit Shouhou tadi, kalau tidak, dengan kelakuannya yang biasa, pasti sudah langsung memukul.”
Tak lama kemudian, mobil memasuki Kantor Polisi Dongcheng. Setelah berhenti, aku langsung digiring ke ruang interogasi.
Ruang interogasi kali ini berbeda dengan sebelumnya, jauh lebih formal. Paling tidak ada rekaman CCTV di sini sehingga mereka tak bisa sembarangan memukul. Di depanku duduk tiga polisi: satu menginterogasi, satu mencatat, dan satu lagi berdiri di dekat jendela memegang gelas sambil menatapku dingin.
“Hasil visum dokter forensik sudah keluar! Tentukan buruh migran itu tewas karena pukulanmu! Mengapa kau membunuh?!” Polisi itu menghantam meja keras-keras sambil marah.
Melihat dia menghantam meja sekuat itu, tanganku sendiri ikut merasa sakit.
“Aku tidak membunuh!” jawabku menatap polisi itu.
“Tidak?! Banyak polisi di sini yang melihat langsung! Masih mau membantah?! Dengarlah, di sini berlaku 'jujur akan diberi keringanan, membangkang akan diperberat'. Kalau tidak mau bicara benar, hmm... Kami punya banyak cara membuatmu jujur!”
