“Terima kasih apaan?! Dasar bajingan, kau masih hutang uangku! Kalau kau ditembak mati, siapa yang akan kubuat bayar?!” Master Qingfeng berkata dengan wajah yang sangat ingin ditinju.
Aku terdiam...
“Malam ini kau tinggal di sini dulu. Kalau butuh apa-apa, bilang ke petugas jaga. Aku mau cari penginapan dulu.” Master Qingfeng bersiap pergi.
“Shifu, sudahkah kau beri makan Hu Zi?” Aku menahan langkah Master Qingfeng dan bertanya.
“Sudah makan, kau ini anak benar! Tidak peduli apakah gurumu ini sudah makan atau belum, malah sibuk menanyai anjingmu. Sepertinya aku salah datang mengurusimu hari ini, terserah kau hidup atau mati!” Master Qingfeng berjalan menuju pintu. Sesampainya di depan pintu, ia teringat sesuatu dan langsung berhenti. Menoleh ke arahku ia berkata: “Shisan, anjing Huzi itu jangan terlalu kau manjakan. Aku khawatir nanti akan merepotkanmu.” Setelah mengatakan itu, Master Qingfeng langsung pergi.
Repot? Repot apa? Sebelum sempat memikirkannya, suara An Rushuang sudah terdengar di sampingku:
“Shisan, siapa pria berparut di wajah tadi?”
“Aku juga tidak tahu, mungkin tamu yang diundang Shifu,” jawabku.
“Oh...” An Rushuang mengangguk pendek lalu diam.
Kutatap wajahnya dan bertanya: “Rushuang, ada satu hal yang kusadari. Kenapa sekarang kau bisa meninggalkan Giok begitu lama?”
An Rushuang tersenyum tanpa menjawab. Ia memutar tubuhnya, memperlihatkan selembar kertas jimat kuning yang menempel di punggungnya.
“Ini...?” tanyaku bingung.
“Yin Fu yang ditempelkan Master Qingfeng padaku. Dengan ini aku bisa bertahan di luar Giok satu atau dua shichen lebih lama,” jelas An Rushuang.
Perkataannya membuatku merasa bersalah. Setelah lama terdiam, kutanyakan: “Rushuang, bisakah kau makan?”
“Bisa. Cium aromanya saja sudah cukup,” jawab An Rushuang.
“Kalau begitu, di sini juga tidak ada tempat tidur, malam ini kamu temani aku makan besar dan minum bir, gimana?” Setelah semakin akrab dengan An Rushuang, aku tidak lagi terlalu kaku. Perasaan semakin dekat dengannya membuatku sangat nyaman.
“Boleh, tapi di sini tidak ada makanan. Apa aku harus keluar belikan untukmu?” tanya An Rushuang sambil menatapku.
“Kamu punya uang?” tanyaku.
“Tidak ada.” An Rushuang menggelengkan kepala.
“Hei, ada orang tidak!!” Aku berteriak ke dua polisi yang sedang bertugas di ruang luar.
Sebentar kemudian, salah satunya mendorong pintu masuk sambil tersenyum lebar. “Mbak, ada yang perlu dibantu?” Sikap dan nada bicaranya benar-benar berbeda 180 derajat dari sebelumnya.
Tanpa sungkan, aku langsung memandangi polisi itu. “Tolong belikan sate dan bir, aku lapar.” Si pria bekas luka sebelumnya memang berpesan agar semua kebutuhan langsung disampaikan ke mereka berdua.
“Oke, oke! Tunggu sebentar ya, saya langsung beli.” Polisi itu buru-buru pergi.
Aku sengaja melakukan ini selain karena lapar, juga ingin menguji kewenangan ucapan si pria bekas luka. Ternyata dia benar-benar punya backing yang kuat. Cukup dengan satu kalimat perintah, para polisi ini langsung patuh.
Harus diakui efisiensi kerja polisi kadang memang tinggi. Efisiensi itu ibarat mencuci celana dalam pakai kaos kaki!
“Polisi itu pergi tidak lama, lalu kembali sambil membawa dua botol bir dan satu kotak besar sate panggang. Dia mengulurkannya melalui terali pintu besi ke dalam selku.”
“Rushuang, ayo makan.” Aku meletakkan kotak besar sate dan bir di lantai, duduk bersila, memanggil An Rushuang untuk makan bersama.
“Enak tidak?” Aku bertanya pada An Rushuang sambil menatapnya.
“Hmm, tapi terlalu pedas...” An Rushuang mengernyitkan alisnya sebentar setelah mencium aroma sate.
“Haha, minumlah bir ini. Bir zaman sekarang kadar alkoholnya lebih rendah dibanding minuman di eramu dulu.” Aku menggigit tutup botol bir dan memberikannya padanya.
“Tidak boleh, wanita tidak pantas minum alkohol.” An Rushuang menggelengkan kepala.
Aku tidak memaksa, melanjutkan makan dan minum sendiri. Tak pernah kuduga An Rushuang mau duduk di lantai dan makan bersamaku.
Sejak kecil, aku selalu menganggapnya seperti bulan dan bintang di langit – hanya bisa dikagumi dari jauh, tak boleh didekati.
Tapi hari ini berbeda. Dia memberiku perasaan hangat dan dekat. Untuk pertama kalinya, An Rushuang terasa begitu nyata di hadapanku.
Meski dipenjara ini hampir membuatku mati kesal, setidaknya ada hikmahnya: secara tak langsung jarak antara aku dan An Rushuang semakin dekat. Kami tidak lagi saling menghormati seperti tamu, tapi lebih seperti sepasang kekasih.
Tentu saja aku tahu ini semua karena An Rushuang sengaja menuruti keinginanku. Sebenarnya dia tidak suka makanan pedas, itu bisa kulihat.
“Hei, Shisan, apa rencanamu setelah keluar dari sini besok?” An Rushuang yang duduk di seberang merapikan ujung bajunya, lalu bertanya padaku.
"Asal aku keluar, pasti langsung tangkap beberapa hantu, suruh mereka ganggu Lin Muxin plus polisi kurus monyet dan si Gendut Laut itu. Biar mereka gak tenang! Oh iya, ada juga tukang santet itu, satu-satu akan kuhadapi!" Aku menatap An Rushuang.
"Shisan, sebenarnya aku tidak menyarankan kau bertindak gegabah. Sudah jelas mereka bersekongkol dengan satu tujuan: mengincar nyawamu. Kuberitahu, kemampuan tukang santet yang direkrut keluarga Lin itu hampir setara dengan Shifu-mu Master Qingfeng. Sebelumnya dia cuma menguji kemampuanmu dengan kepala terbang. Jadi besok kalau keluar, tahan diri. Jangan balas dendam, nanti malah terjebak lagi." An Rushuang menatapku.
"Gak boleh balas dendam?! Aku harus terima begitu saja difitnah? Mereka nyaris membunuhku!" Aku memandang An Rushuang.
"Prajurit sejati menunggu dekade untuk balas dendam. Han Xin saja rela merangkak di selangkangan. Pria sejati tahu kapan harus menahan diri. Jangan gegabah, nanti bukan cuma dirimu, tapi juga teman dan Shifu-mu yang kena imbas." An Rushuang membujukku.
"Terus harus gimana?" Aku menatapnya.
"Tempa dirimu, mulai dari hati." Setelah berkata demikian, An Rushuang melanjutkan, "Cukup, waktuku hampir habis. Aku kembali ke giok dulu. Shisan, ingat baik-baik ucapanku hari ini." Tubuhnya bergetar lalu menghilang di depan mataku.
Setelah melihat An Rushuang kembali ke dalam Giok, aku merenungkan kembali perkataan yang sebelumnya dia ucapkan kepadaku. Semakin kupikirkan, semakin masuk akal ucapannya. Dengan kemampuan yang kumiliki sekarang, jika aku nekat mencari masalah dengan orang-orang itu setelah keluar, itu benar-benar tindakan gegabah dan melebihi batas kemampuanku.
Seperti kata peribahasa, "Harta bisa menyuruh setan menggiling gandum". Siapa yang tahu apakah di samping Lin Sen yang kaya raya itu hanya ada satu ahli santet yang menguasai ilmu hitam?
Sepanjang malam aku memikirkan hal ini. Tanpa sengaja, pikiranku beralih ke Fang Ziyan. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Jika Fang Ziyan tidak sedang diancam, aku tidak akan percaya meski dipukul mati bahwa dia dengan sukarela membantu Lin Muxin menjebakku.
Benar-benar bajingan orang-orang itu! Semua perbuatan hina, rendah, dan keji bisa mereka lakukan.
Semakin kupikirkan, rasa kantuk pun menyerang. Seharian ini pikiran terus tegang, terlalu lelah akhirnya. Aku pun bersandar di dinding dan tertidur lelap...
Entah berapa lama berlalu, "Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan pintu yang mendesak membangunkanku.
Kucegat kepala dengan kaget - ternyata seorang polisi yang mengantarkan sarapan. Masih sama: sebotol air mineral dan sepotong roti.
Setelah sarapan, aku duduk menunggu di kamar gelap kecil untuk dibebaskan. Sekarang karena sudah ada orang yang bisa membantuku berbicara terlibat dalam penyelidikan, pasti akan terbukati bahwa pembunuhnya bukan aku. Tapi menurut metode penyelidikan saat ini, kasus biasa mungkin mudah diatasi, sedangkan kasus supranatural seperti ini kemungkinan besar akan ditutup-tutupi. Pembunuh sebenarnya, yaitu tukang santet itu, tentu akan bebas berkeliaran.
Menunggu lama sekali, akhirnya datang seorang polisi. Dia membuka pintu besi bukan untuk membebaskanku, tapi mengatakan akan membawaku ke suatu tempat.
Meski agak bingung, aku tidak banyak bertanya. Langsung saja aku mengikuti polisi itu keluar, naik mobil di halaman, lalu dia mengemudikannya ke luar.
Tempat tujuan adalah gedung sekolah khusus untuk bimbingan belajar siswa liburan musim panas dan dingin. Setelah naik bersama polisi, aku memasuki ruang monitor di gedung ini.
Saat ini ruangan dipenuhi orang. Sekilas kulihat Shifu-ku juga ada di antara mereka. Mereka menatap tajam ke arah layar monitor.
Karena penasaran, aku juga mengintip. Rekaman CCTV menunjukkan koridor kamar mandi WC. Kemudian muncul seorang gadis di layar monitor. Dia masuk sendirian ke kamar mandi itu malam hari. Setelah menunggu lama, dia tidak keluar lagi. Setelah rekaman dipercepat, aku melihat adegan yang membuat jantungku berdebar kencang!
Karena sejak masuk, gadis itu tidak pernah keluar lagi. Setelah dipercepat lebih dari 20 menit, seorang nenek berbaju hujan merah membawa payung hitam keluar terhuyung-huyung dari kamar mandi.
Sialan! Makhluk apa nenek tua itu?! Di dalam rumah ini kan tidak kehujanan, kenapa dia memakai jas hujan merah sambil memegang payung hitam?!
Ini terlalu mistis!!
