Setelah membaca SMS dari Leizi, hatiku langsung berat.
Jangan-jangan ada masalah dengan mangkuk keramik kuno dari makam itu? Tiba-tiba aku teringat perkataan pemilik toko antik: mangkuk ini mengandung aura pembunuh.
Ternyata benar, barang antik beraura jahat tidak boleh disentuh. Sekalipun Leizi sudah menguburnya, tetap saja terjebak masalah.
Memikirkan ini, aku segera menelepon Leizi. Dering telepon terdengar lama, tapi tidak ada yang mengangkat.
Semakin seperti ini, hatiku semakin panik. Aku buru-buru menelepon Leizi lagi.
Telepon berdering cukup lama sebelum akhirnya diangkat oleh Leizi:
"Halo, San Ge kamu di mana?" Saat Leizi berbicara padaku, dari nada suaranya yang tidak jelas kuterkira dia baru saja kubangunkan dari tidurnya.
Masih sempat-sempatnya tidur nyenyak, sepertinya tidak ada masalah serius. Hatiku sedikit tenang, lalu kutanya: "Leizi, soal mangkuk keramik yang kamu sebutin di SMS tadi, maksudmu itu gimana? Kok bisa dia kembali sendiri?"
Begitu mendengar pertanyaanku, Leizi langsung segar bugar. Nada suaranya pun semakin keras:
"San Ge, jangan ditutup dulu ya. Aku mau keluar cek dulu apakah mangkuk itu sudah kembali." Setelah itu, kudengar suara dia turun dari tempat tidur, berpakaian, dan membuka pintu.
Kutunggu beberapa saat. Tiba-tiba teriakannya terdengar dari telepon:
"San Ge! Mangkuk itu kembali lagi! Ada di halaman rumahku! Tadi malam baru saja aku kubur, eh sekarang muncul lagi!!"
Dadaku langsung sesak mendengarnya. Cepat kutungkas: "Leizi, maksudmu setelah dikubur di tanah, mangkuk itu bisa kembali sendiri ke halaman rumahmu?"
"Iya! San Ge, ini sebenernya kenapa sih?" Suara Leizi terdengar gugup. Wajar saja, karena mangkuk itu kami bawa dari makam kuno. Siapa pun yang mengalami hal begini pasti ketakutan.
"Selain sering kembali sendiri ke halamanmu, tidak ada kejadian aneh lain kan?" tanyaku.
"Tidak ada hal lain, sekarang hanya masalah ini yang membuat sarafku terganggu. Aku bahkan tidak berani memberi tahu orang tuaku. Kalau ayahku tahu aku pernah pergi ke makam kuno, pasti akan mencambukku dengan ikat pinggang. San Ge, menurutmu apa yang terjadi dengan mangkuk keramik ini?" Suara Leizi terdengar sangat pelit saat menelepon di halaman rumahnya.
"Sejujurnya, aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengan mangkuk keramik itu," jawabku jujur.
"Kalau... kalau begitu, bagaimana jika sekarang aku menghancurkannya?!" Leizi di ujung telepon meminta pendapatku.
"Jangan! Leizi, jangan dihancurkan!!" Mendengar perkataannya, aku segera menghentikannya. Mangkuk keramik ini tidak jelas asal-usulnya, dan setiap kali dikubur oleh Leizi, selalu bisa kembali sendiri. Pasti ada yang aneh. Apapun yang terjadi dengan mangkuk itu, yang penting Leizi masih baik-baik saja. Jika asal menghancurkannya dan malah mengundang masalah, itu akan jadi bahaya besar.
"Kenapa?" tanya Leizi padaku.
"Jangan dipikir dulu, yang penting jangan hancurkan mangkuk itu. Siang nanti aku akan pulang bersama Shifu, tunggu aku sampai kembali."
Aku menasihati Leizi.
"Baik, akan kusimpan dulu mangkuk ini. San Ge bisa langsung ke rumahku nanti, aku akan menunggumu di rumah." Leizi langsung menutup telepon setelah berkata begitu.
Setelah meletakkan telepon, aku mendongak dan baru menyadari Master Qingfeng sudah tidak tahu sejak kapan bangun dari tempat tidur dan terus menatapku.
“Dia menatapku seperti itu, aku merasa tidak nyaman. Aku buru-buru berkata padanya, ‘Shifu, kenapa kamu terus-terusan menatapku?’”
“‘Kamu pergi mencuri kuburan?!’ Suara Master Qingfeng terdengar sedikit marah.”
“‘Tidak, tidak! Aku dan temanku tidak sengaja jatuh ke dalam makam kuno,’ jelasku.”
“‘Makam kuno? Di mana? Bagaimana kalian bisa jatuh? Dan mangkuk keramik yang kamu sebutkan di telepon tadi, apakah itu diambil dari makam itu? Shisan, kamu harus ceritakan semua kejadian tentang mangkuk itu dari awal sampai akhir. Ini bukan main-main.’ Master Qingfeng menatapku dengan serius.”
“Melihat ekspresi Master Qingfeng, aku langsung tahu bahwa aku dan Leizi mungkin telah menghadapi masalah lagi. Jadi, aku menceritakan semua kejadian mulai dari hari kami pergi ke hutan produksi, jatuh ke makam kuno, hingga mengambil mangkuk keramik dan keluar dari sana.”
“Setelah mendengar ceritaku, Master Qingfeng segera berdiri dan mulai membereskan barang-barangnya.”
“‘Shisan, bersiaplah. Segera antarkan aku ke rumah temanmu untuk melihat mangkuk keramik itu,’ pesan Master Qingfeng dengan tergesa-gesa.”
“Aku mengangguk cepat dan membantu Master Qingfeng membereskan barang. Setelah semuanya siap, kami keluar dari penginapan dan berusaha memanggil taksi. Tapi setelah menunggu lama di depan penginapan, tak satu pun taksi terlihat.”
"Ini membuatku semakin tidak sabar menunggu. Ketika Master Qingfeng hendak mengeluarkan ponselnya untuk menelepon, sebuah mobil Volkswagen hitam berhenti di pinggir jalan di depan kami."
"Setelah kaca jendela diturunkan, sebuah kepala bundar muncul dari dalam mobil."
"Hei, dua Master Taoist ini mau ke mana?"
"Suara itu terdengar familiar bagiku. Setelah melihat wajah gemuk itu, aku langsung mengenalinya - dia adalah pria gemuk yang kami temui semalam!"
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku penuh keheranan pada pria gemuk itu."
"Pria gemuk itu menatapku dan berkata, 'Aku cuma keluar numpang mobil untuk refreshing. Kalian menunggu kendaraan di sini? Mau ke mana? Kebetulan aku tidak ada urusan, sekalian saja aku antar.'"
"Mendengar perkataannya, aku menoleh ke Master Qingfeng untuk meminta pendapatnya. Namun sebelum sempat bertanya, Master Qingfeng sudah berjalan menuju mobil pria gemuk itu."
"Shisan, ngapain masih diam? Naik mobil!" Master Qingfeng membuka pintu mobil dan memanggilku."
"Setelah masuk mobil, kami memberitahu tujuan kami ke pria gemuk itu - desa kecil di Beijiu Shui tempatku dan Leizi tinggal. Pria gemuk itu langsung menginjak gas dan mengarahkan mobil ke pinggiran kota."
"Aku penasaran, kalian mau ke Beijiu Shui buat apa? Mau menangkap hantu?" tanya pria gemuk itu sambil tetap menyetir."
"Pulang kampung," jawab Master Qingfeng singkat."
"Kampung halaman kalian di Beijiu Shui? Bagus tuh! Aku pernah ke sana, pemandangan pegunungan dan sungainya sangat indah!" ujar pria gemuk itu."
"Ngomong-ngomong, kita ini benar-benar berjodoh ya, setuju nggak? Baru ketemu kemarin, hari ini ketemu lagi. Bukan ada pepatah bilang, lima ratus kali menoleh di kehidupan sebelumnya baru bisa dapat senggolan bahu di hidup sekarang. Kita bertiga ini..."
"Udah, udah... Berhenti ngomong." Aku langsung memotong ucapan si gendut yang mulai melebar nggak karuan.
……
Sepanjang perjalanan, si gendut yang awalnya menyetir mulai bosan. Ia menyalakan musik DJ di mobil sambil mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama, sesekali bersenandung – hampir saja menari di dalam mobil.
"Sobat Gendut, bisa nggak fokus nyetir? Pikirkan keselamatan jalan raya dong! Ini bukan clubbing kali!" Aku menegur dengan cemas melihat kecepatan mobilnya yang cukup tinggi.
"Dengar Dek, ini bukan omong kosong. Teknik nyetir Laozi ini mahir sampai bisa antar kalian ke Beijiu Shui sambil merem sekalipun!" Si gendut menyombong sambil menoleh.
Melihat reaksi mereka, kulihat Master Qingfeng. Wah, dia malah lebih semangat mengikuti musik DJ daripada si gendut, sesekali menyela:
"Ini kurang greget, putar lagu Kimdalla Hwa!"
Aku: "......"
Nggak mau ambil pusing, kebetulan mata mulai berat. Kubenamkan badan di jok mobil mencoba tidur sebentar – yang penting nggak lihat tingkah mereka berdua.
“Kakak Gendut, kecilkan sedikit volumenya, aku mau tidur sebentar.” Aku menutup mata dan bersandar di kursi lalu tertidur.
Dalam keadaan setengah sadar, entah berapa lama waktu berlalu, tiba-tiba aku seolah berada di tempat putih berkilauan. Sekeliling hanya kabut tebal, aku berjalan tanpa tujuan di tempat putih ini.
Sambil berjalan, tiba-tiba kudengar suara "kreek-kreek". Aku segera berjalan mendekati sumber suara itu.
Perlahan mendekat, kulihat bayangan putih manusia. Karena terhalang kabut, aku tak bisa melihat jelas, terpaksa terus mendekat.
Saat sampai di belakang bayangan putih itu, kudapati sosok itu ternyata seorang perempuan bertubuh langsing.
Sebelum sempat memahami situasi, perempuan itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Kulihat wajahnya tertutup topeng putih, tak bisa kukenali siapa dia.
“Siapa kamu? Aku sekarang di mana?” tanyaku pada perempuan bertopeng itu.
Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu tiba-tiba menjulurkan tangannya dan mencekik leherku.
Saat kusadari dan ingin menghindar, sudah terlambat. Leherku dicekik erat olehnya, kekuatan dahsyat membuatku langsung sesak napas.
Aku menggigit gigi dan berjuang keras, mencari kesempatan untuk merobek topeng di wajah wanita itu. Saat aku melihat wajahnya, jantungku berhenti berdetak seketika!
Karena wanita yang mencekik leherku dengan kedua tangan ini ternyata adalah An Rushuang!!!
