Wajah cantik An Rushuang kini dingin membeku, menatapku tanpa ekspresi. Cengkraman tangannya di leherku semakin kuat. Aku ingin berteriak tapi tak bisa mengeluarkan suara, perasaan putus asa mulai menyergap...
"Pak!!" Dengan suara keras, kepalaku terasa sakit. Aku membuka mata lebar-lebar dan menyadari masih berada di mobil si pria gemuk. Rupanya semua tadi hanya mimpi!
Huh~! Aku mengusap keringat di dahi sambil menenangkan jantung yang berdebar kencang.
"Shisan, kamu kenapa? Tidak apa-apa?" Master Qingfeng menatapku dengan wajah khawatir.
"Ah... Ti-tidak, aku baru saja mimpi buruk," jawabku sambil menarik napas dalam.
"Mimpi apa sampai membuatmu histeris di dalam mobil?" Si pengemudi gemuk menoleh dan bertanya.
"Ti-tidak penting," elakku. Tapi perasaan tidak enak tetap menggelayut di hati.
Mengapa aku tiba-tiba bermimpi aneh seperti ini? Mengapa aku memimpikan An Rushuang ingin mencekikku? Aku merenung sambil meletakkan tangan di liontin giok di dada, menggenggamnya perlahan.
Giok itu segera mengeluarkan sensasi hangat, An Rushuang masih ada di sini.
Entah kenapa hari ini, padahal An Rushuang telah menemaniku selama sembilan tahun lebih, ini pertama kalinya aku mengalami mimpi seperti ini. Meski hanya mimpi, rasanya sangat nyata seolah benar-benar terjadi.
Sudahlah, tak perlu dipikirkan lagi. Mimpi tetap saja mimpi, hanya khayalan belaka.
Mobil tiba-tiba bergetar hebat. Aku menoleh ke jendela, rupanya kami telah sampai di jalan kecil satu-satunya yang menghubungkan desa kami. Jalannya tidak terlalu sempit tapi penuh lubang.
Si Gendut pun mengurangi kecepatan dan kembali membahas masalah penerimaan murid dengan Master Qingfeng. Hasilnya bisa ditebak - Master Qingfeng kembali menolaknya dengan tegas.
Aku terus berpikir, jikalau Si Gendut memberikannya uang persembahan seperti kakekku dulu, mungkin Master Qingfeng akan menerimanya?
Mobil melanjutkan perjalanan sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya tiba di desa kakekku. Si Gendut memarkir mobil di tanah kosong di ujung desa, lalu kami bertiga turun.
Karena takut Nenek akan menahanku untuk makan dan membuang waktu, aku langsung mengajak Master Qingfeng dan Si Gendut menuju rumah Leizi tanpa mampir ke rumah.
Awalnya Master Qingfeng tidak berniat mengajak si gendut ikut, tapi orang ini ngotot minta ikut dengan alasan meski tidak diterima sebagai murid, setidaknya bisa membantu pekerjaan kecil sebagai kehormatannya.
Seperti kata pepatah, pujian yang tulus tak akan pernah ditolak. Akhirnya Master Qingfeng mengizinkan si gendut bergabung.
Saat kami bertiga tiba di rumah Leizi, kami langsung mendorong pintu masuk. Anjing besar berwarna kuning di rumah Leizi langsung menggonggong melihat orang asing masuk.
Tak lama kemudian, Leizi berlari keluar dari rumah. Melihat kami bertiga, ia segera menyambut dan mengajak masuk ke dalam.
"Leizi, orang tuamu mana?" tanyaku pada Leizi.
"Pergi ke kota kabupaten beli pestisida. Aku sendiri yang jaga rumah," jawab Leizi sambil menuangkan air untuk kami bertiga.
Master Qingfeng duduk dan meneguk air, lalu menatap Leizi: "Kau bernama Leizi?"
"Ya, Cheng Lei." Leizi mengangguk.
"Di mana mangkuk keramik itu?" tanya Master Qingfeng.
"Aku ambil, tunggu sebentar." Leizi masuk ke kamar dan tak lama keluar membawa mangkuk keramik.
Begitu melihat mangkuk itu, Master Qingfeng langsung berdiri dari bangku dan mengambilnya dari tangan Leizi.
Ia menatap mangkuk itu lama sekali tanpa bicara, ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keanehan.
Terakhir, Master Qingfeng menjentikkan jarinya ke mangkuk, lalu segera menempelkannya di telinga seolah mendengar sesuatu.
Melihat ini, si gendut tak tahan lagi: "Taoist, ngapain sih lama-lama ngamat-ngamatin mangkuk ini?"
“Master Qingfeng tidak menghiraukan si gemuk, malah berkata padaku dan Leizi, “Kalian berdua cepat tutup pintu dan jendela, tarik juga tirai.””
Meski tak paham apa maksud Master Qingfeng sebenarnya, aku tetap melakukannya. Setelah Leizi dan aku menutup rapat semua pintu-jendela serta menarik tirai, ruangan langsung gelap.
Master Qingfeng lalu mengeluarkan koin tembaga kekuningan dari tasnya, meletakkannya di mangkuk keramik. Kemudian dia menyuruh Leizi, “Leizi, ambilkan aku semangkuk air mentah.”
Leizi bingung:
“Air mentah? Apa itu air mentah?”
“Air dingin yang belum direbus,” jawab Master Qingfeng.
“Aku segera ambil.” Leizi langsung melesat ke dapur dan membawa sendok berisi air dingin untuk Master Qingfeng.
Setelah menerima air itu, Master Qingfeng menuangkannya penuh ke mangkuk keramik. Lalu dia mengeluarkan Kertas jimat, menggerakkan tangannya hingga kertas itu menyala sendiri sambil membaca mantra: “Penampakan suci terlahirkan, roh jiwa tercipta di alam maha luas, Tiga Kemurnian menyingkap yin-yang!!”
Usai berkata, Master Qingfeng langsung melemparkan Kertas jimat yang terbakar itu ke dalam mangkuk berisi air jernih.
Yang terjadi selanjutnya membuat semua yang hadir terkejut: nyala api di Kertas jimat itu, meski jatuh ke air dingin dalam mangkuk, tak padam malah makin membesar.
Tak lama kemudian, kulihat benda hitam tiba-tiba menyembul dari mangkuk itu, melayang di udara. Seiring habisnya Kertas jimat yang terbakar, benda itu perlahan menghilang.
“Taoist, itu... gumpalan gas hitam itu apa ya?” Leizi menatap Master Qingfeng dan bertanya.
“Iya tadi, bikin kaget setengah mati.” Si gendut di samping ikut berkomentar.
“Aura pembunuh dalam mangkok keramik ini sudah kuhilangkan, sekarang mangkoknya aman.” Master Qingfeng menjelaskan.
Mendengar perkataan Qingfeng, mata Leizi berbinar-binar. Ia langsung mengucapkan terima kasih, senyumnya sampai nyaris ke kuping.
Reaksi Leizi ini karena artefak mangkok keramik yang bebas aura pembunuh akan lebih mudah dijual. Ia tahu harga benda ini sangat mahal, makanya senang bukan main.
Adegan selanjutnya membuat kami semua terpaku. Master Qingfeng tiba-tiba mengambil mangkok itu dan melemparnya keras-keras ke lantai.
"Brak!" Dengan suara pecahan yang nyaring, wajah Leizi langsung pucat. Mangkok yang bisa dijual minimal 100-200 ribu itu hancur berantakan oleh ulaman Master Qingfeng.
“Aku... aku... sialan, Taoist ini ngapain sih?!!” Leizi membentak Master Qingfeng. Kulihat saat itu Leizi mungkin ingin membunuh sang Taoist.
Master Qingfeng tak menjawab. Ia berjongkok dan mulai memilah pecahan mangkok, lalu mengeluarkan selembar kain putih dari dalamnya.
Melihat ini aku penasaran. Bagaimana Master Qingfeng tahu ada kain putih di dalam mangkok keramik itu?
Saat Master Qingfeng membentangkan kain putih itu, aku mendekat untuk melihat. Seluruh permukaan kain itu dipenuhi coretan tinta hitam rapat-rapat, mirip peta.
“Shifu, ini apa ya?” Aku bertanya pada Master Qingfeng dengan wajah bingung.
“Tidak ada apa-apa.” Master Qingfeng dengan cepat melipat peta itu dan memasukkannya ke saku.
“Sudah, masalah mangkuk keramik sudah kuselesaikan. Shisan, kita pergi.” Master Qingfeng bergegas keluar rumah.
Melihat Master Qingfeng tergesa-gesa, aku pamit pada Leizi dan menyusulnya, si gendut juga ikut lari keluar.
Setelah keluar dari rumah Leizi, Master Qingfeng segera menyuruh si gendut menyetir menuju Kuil Qingzhu.
Sesampainya di Kuil Qingzhu, Master Qingfeng merayu si gendut dengan janji akan mengajarinya dasar-dasar ilmu bela diri, baru akhirnya orang itu pergi.
Saat membuka gerbang kuil, Huzi langsung menyambut dengan ekor bergoyang-goyang, melompat ke badanku dan menjilati wajahku.
“Huzi! Jangan nakal!”
Kutolak Huzi pelan lalu mengikuti Master Qingfeng masuk ke ruang kerjanya.
Sepanjang perjalanan Master Qingfeng terlihat sangat panik, kupastikan ada rahasia penting di peta yang ditemukannya dari mangkuk keramik itu.
Di ruang kerja, Master Qingfeng memanggilku mendekat: “Shisan, aku akan berkemas sebentar. Segera kita berangkat ke Aliran Longhu. Kau tunggu di Kuil Qingzhu. Jangan pergi kemana-mana sebelum aku kembali.”
“Baik, Shifu. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa ada rahasia di peta itu?” tanyaku penasaran.
Ia diam sejenak, lalu melambaikan tangan padaku:
“Kamu kembali ke kamarmu dulu, semua akan dibicarakan setelah aku kembali dari Aliran Longhu.”
Aku tidak memaksa, lalu keluar dari ruangan Master Qingfeng dan menutup pintunya.
Saat aku sedang bermain dengan Huzi di halaman, tiba-tiba ponselku berdering. Setelah melihat, ternyata panggilan dari Fang Ziyan.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya kuangkat panggilan itu:
“Halo.”
“Halo, Zuo Shisan, kamu sekarang di mana?” Suara Fang Ziyan di seberang telepon terdengar parau.
“Aku di Kuil Qingzhu, bagaimana kondisi orang tuamu?” tanyaku.
“Tunggu sebentar, aku segera menemuimu.” Fang Ziyan buru-buru menutup telepon.
