Mendengar perkataan Master Lu, aku buru-buru menoleh dan menemukannya sudah berdiri di belakangku tanpa kusadari. Wajah kekanakannya menatapku tanpa ekspresi.
“Master Lu, kenapa Ibu datang?” Aku bertanya padanya. Dia benar-benar muncul dan menghilang seperti hantu, berjalan tanpa suara, membuatku kaget.
“Aku mencarimu.” Suara Master Lu masih dingin seperti es, seolah aku berhutang ratusan juta padanya. Kadang aku berpikir, gadis kecil yang lucu ini mengapa sifatnya begitu dingin?
“Mencariku? Ada apa?” Aku bertanya pada Master Lu.
Dia tidak menjawab, malah mendekat dan mengambil landak mati yang kutaruh di lubang itu dengan lembut. Saat melihat landak itu, matanya menunjukkan sedikit kelembutan. Kukira mataku salah lihat.
“Yang harus tinggal biarlah tinggal, yang harus pergi biarlah pergi. Hukum rimba, itulah hukum alam. Aku akan membacakanmu Sutra Asal Usul Bodhisattva Ksitigarbha, semoga engkau segera memasuki roda enam kelahiran kembali.” Master Lu menatap landak di tangannya dengan suara lembut. Sejak aku mengenalnya, ini pertama kalinya aku mendengar nada bicaranya tidak dingin - bukan kepada manusia, tapi kepada seekor landak mati.
Master Lu mengangkat satu telapak tangan di depan dada sambil berbisik: "Di masa depan, jika ada makhluk yang kekurangan sandang pangan, harapannya selalu gagal, sering sakit, banyak kesialan, tertimpa musibah, rumah tangga tidak tenang, keluarga tercerai-berai, mimpi buruk berulang... Mereka yang mendengar nama Ksitigarbha, melihat wujudnya, dengan hati tulus menghormati dan membaca namanya sepuluh ribu kali, semua kesulitan ini akan lenyap. Debu kembali ke debu, tanah kembali ke tanah, hingga dalam mimpi pun menemukan kedamaian..."
Saat Master Lu melanjutkan pembacaan Sutra Ksitigarbha, bangkai landak di tangannya mulai membusuk dengan cepat. Tulang-belulangnya terlihat jelas dalam hitungan menit.
Master Lu menghentikan mantra, meletakkan kerangka itu ke dalam lubang tanah lalu menimbunnya dengan tanah.
Setelah selesai, dia berdiri dan berkata padaku: "Shisan, kau harus waspada pada gadis bernama Fang Ziyan itu. Jangan berniat jahat, tapi jangan lengah terhadap orang lain."
"Oh, aku mengerti. Terima kasih peringatannya, Master Lu." Aku berterima kasih. Sebenarnya sudah lama kupikirkan untuk mengurangi kontak dengannya.
"Baik, langsung ke pokok persoalan. Mulai hari ini, dari detik ini, kamu akan menerima latihan dariku. Dalam beberapa hari ke depan, mungkin kamu akan mati, cacat fisik, atau mungkin juga menjadi ahli Aliran Longhu dalam Tao. Sekarang kuberi waktu tiga menit untuk mempertimbangkan: menerima atau mengundurkan diri?" Master Lu bertanya tanpa menoleh ke arahku.
Mendengar ucapannya, aku langsung terpaku. Ini urusan apa? Terlalu mendadak!
"Master Lu, bukannya guru saya adalah Master Qingfeng? Katanya beliau akan melatihku beberapa waktu lagi," jelasku pada Master Lu.
"Masih tersisa dua menit." Master Lu berpura-pura tak mendengar perkataanku.
Di titik ini, aku mulai ragu. Tampaknya dia tidak bercanda. Bagaimana ini? Ikut latihannya? Jika menerima latihan, nanti setelah punya kemampuan, aku bisa membantu An Rushuang mencari jamur mayat untuk memulihkan kekuatan 1000 tahunnya. Sekaligus juga bisa melindungi diri sendiri. Musuhku sekarang banyak: siluman ular berusia ratusan tahun, nenek tukang santet Jepang, hantu tentara Jepang yang misterius, serta keluarga Lin Muxin. Mereka semua mengincarku seperti ular berbisa. Jika terus begini, jelas akhirnya akan buruk. Master Qingfeng tak mungkin melindungiku selamanya.
Selain itu, An Rushuang pernah bilang jika aku sudah cukup kuat, dia akan menceritakan asal-usulnya. Bukankah ini kesempatan? Memikirkan ini, aku mengeratkan gigi. Peduli amat mati atau tidak, aku ikut latihan!
"Aku menerima," kataku pada Master Lu.
“Baik, kamu ikut aku dulu.” Master Lu berkata sambil membawaku berjalan ke suatu tempat.
“Master Lu, mau dibawa ke mana untuk latihan? Aku masih pelihara anjing di Kuil Tao. Kalau aku pergi, dia bisa mati kelaparan.” Aku teringat Huzi yang kutinggalkan di Kuil Tao, buru-buru bertanya.
“Nggak bakal mati. Shifu-mu paling lambat dua hari lagi balik ke Kuil Tao.” Master Lu menjawabku.
“Oh, latihannya perlu berapa lama?” Aku menatap Master Lu dan bertanya. Aku tinggal punya sepuluh hari lagi sebelum masuk sekolah. Kalau sampai keteteran, bahaya.
“Kalau kamu masih hidup setelah tiga hari, baru tanya lagi.” Master Lu berkata padaku.
Setelah dengar perkataannya, aku diam saja. Tapi hati rasanya gelisah. Sebenarnya Master Lu ini mau latih aku pakai cara apa? Latihan macam apa yang bisa bikin orang tewas?
Aku terus mengikuti Master Lu sambil berpikir.
Master Lu membawaku kembali ke desa tadi. Sesampainya di desa, dia mengeluarkan papan bagua dari tasnya, sepertinya sedang menghitung dan mencari sesuatu.
Melihat ini, aku bisa tebak Master Lu juga mendeteksi adanya aliran Energi Kehidupan yang ditancapkan di desa ini. Mungkin dia sedang mencari lokasi penancapannya.
Melihat keseriusannya, aku tak berani banyak tanya. Khawatir mengganggu, aku diam-diam mengikutinya.
Saat ini Master Lu terus menunduk melihat papan bagua di tangannya, membawaku berkelok-kelok sampai ke pinggir selokan kering di belakang desa.
Aku menengadah, di seberang selokan ini ternyata ada perkubunan, mungkin makam leluhur dari desa sekitar.
"Tujuh kehinaan gunung terbang air mengalir, delapan kehinaan kiri kanan kosong. Huh, siapa tega sekali mengunci mati angin, air, dan energi seluruh desa ini." Master Lu berkata sambil menatap selokan kering di depannya.
"Ada apa?" Aku bertanya.
Setelah beberapa saat, Master Lu baru berkata padaku: "Jangan tanya dulu. Sekarang kau belum pahami. Tolong carikan bambu sepanjang mungkin."
Mendengar perintahnya, aku segera berlari ke desa. Baru masuk desa, kulihat deretan bambu di samping rumah. Aku ambil yang terpanjang, gendong di pundak, lalu berlari kembali ke selokan kering di belakang desa.
Saat aku kembali dengan bambu, Master Lu mengeluarkan dua benang merah dan mengikatkannya di kedua ujung bambu.
"Sudah, kuburkan bambu ini di dasar selokan," perintah Master Lu.
"Selesai segini saja?" Aku bertanya heran, tak menyangka semudah itu.
"Feng shui itu seperti tubuh manusia. Satu titik terganggu, seluruh sistem ikut berubah. Merusak feng shui jahat ini cukup temukan titik pusatnya," Master Lu menjelaskan sambil terus menatap selokan kering.
Setelah bambu terkubur di dasar selokan, aku mengikuti Master Lu keluar dari desa.
Sepanjang jalan dia diam seribu bahasa, membawaku bergegas menuju pegunungan barat.
Setelah berjalan sebentar, aku mulai khawatir tentang Huzi. Aku mengirim pesan singkat ke Leizi, memintanya untuk memberi makan Huzi besok jika dia tidak sibuk, agar anjing itu tidak kelaparan.
Begitu pesan terkirim, Leizi langsung membalas dengan "OK". Melihat itu, aku menyimpan ponsel kembali ke saku celana.
Aku terus mengikuti Master Lu masuk ke area terpencil Gunung Lao. Setelah berjalan lebih dari dua jam di jalan setapak, aku tak tahan lagi dan bertanya, "Master Lu, mau dibawa ke mana saya ini?"
"Tempat yang penuh serangga beracun di siang hari dan hantu yin serta arwah penasaran di malam hari. Cepat, ikuti!" Setelah berkata demikian, sosok mungil Master Lu melesat ke depan dengan lincah.
Terpaksa aku berlari mengejarnya. Meski penampilannya seperti gadis belasan tahun, Master Lu berlari sangat cepat. Setiap langkahnya melangkah beberapa meter. Aku harus berlari sekuat tenaga agar tidak tertinggal.
Kami terus berlari selama lebih dari setengah jam sampai aku kehabisan tenaga. Saat langkahku mulai melambat, Master Lu berhenti dan menatapku dengan kecewa, "Dengan stamina seperti ini, kecil kemungkinanmu bisa bertahan hidup."
Begitu Master Lu berhenti, aku langsung terjatuh duduk di tanah. Napasku terengah-engah, seluruh tubuh terasa mau remuk. Kedua kaki berdenyut-denyut dan mati rasa.
Sepanjang perjalanan ini adalah tanjakan, kalau bukan karena Master Qingfeng sebelumnya pernah melatihiku, hari ini pasti aku tidak bisa bangun.
"Istirahat sepuluh menit, lalu lanjutkan perjalanan." Master Lu melemparkan kalimat dingin itu padaku, lalu duduk bersila dengan mata terpejam di atas rumput.
