Melihat ini, hatiku sedikit lebih tenang. Tadi aku tidak punya senjata untuk melawan hantu ini, sekarang dengan belati ini, saatnya memberinya pelajaran.
Setelah memutuskan, langsung kukaryakan belati di tanganku dan berlari ke arah hantu itu. Melihatku mendekat, tubuhnya segera melayang mundur, sangat takut dengan belati di tanganku.
Melihat ini, aku terus memperkuat momentum dengan mengejarnya dan mencoba menusuknya lagi. Meski hantu itu takut pada belatiku, tubuhnya terus melayang-layang di udara sehingga sama sekali tidak bisa kukena.
Terus begini bukan solusi. Memikirkan ini, aku berhenti menyerang dan mundur ke dekat api unggun. Meski punya belati, aku tidak boleh terlalu jauh dari api unggun karena tanpa cahaya api, di tengah hutan gelap ini aku seperti orang buta yang posisinya semakin berbahaya.
Bahkan sekarang, meskipun aku memegang senjata pembunuh ini, hantu perempuan itu masih belum pergi. Aku bisa merasakannya terus berkeliaran di sekitarku.
Tapi sekarang aku tidak takut lagi padanya. Jika dia berani mendekat, akan kuhadapi dengan belati di tanganku.
Namun terkadang, aku terlalu menyederhanakan keadaan. Tak lama kemudian, angin dingin tiba-tiba bertiup kencang dari belakangku, menerbangkan dedaunan di sekeliling. Ketika kulihat api unggun di sampingku, nyala apinya semakin kecil diterpa angin mistis ini!
Sial! Hantu itu ingin mematikan api unggun satu-satunya yang menerangi dengan angin yin-nya! Dasar! Benar-benar menyebalkan!
Dalam hati kutumpahkan sumpah serapah, berusaha membarapi api unggun dari depan untuk menahan angin itu. Tapi baru saja aku bergerak, sosok merah langsung menerjangku. Cepat-cepat kuhentikan langkah dan menghadang dengan belati.
Hantu itu menghindar, lalu menghilang kembali dalam kegelapan malam. Bersamaan dengan itu, energi Yin semakin kuat. Api unggun berkedip-kedip beberapa kali sebelum akhirnya... Pshh! Padam diterpa angin dingin.
Bahaya! Akhirnya terjebak juga dalam perangkap hantu itu!!
Sekeliling tiba-tiba menjadi gelap gulita. Menatap kegelapan pekat ini, dadaku sesak oleh ketegangan. Tanpa cahaya api unggun, aku benar-benar buta dan berada dalam posisi pasif total.
“Suu！” Dengan suara mendesing, kurasakan hantu perempuan di sebelah kiriku seakan menyerangku. Segera kuhunus belati dengan kuat, namun tusukanku meleset. Karena hukum inersia, hampir saja aku terjatuh.
“Kekeke...” Derai tawa jahat tiba-tiba bergema dari belakangku.
Mendengar itu, cepat-cepat kuputar badan dan menyabetkan belati ke segala arah, tapi tetap tak menyentuh apapun.
“Shisan! Cepat tusuk bagian atas kepalamu dengan belatimu!!” Suara An Rushuang tiba-tiba terdengar di telingaku.
Tanpa pikir panjang, bahkan sebelum suaranya habis, langsung kusabetkan belati ke atas kepala tanpa melihat.
“Bletak!”
Kurasakan ujung belati menusuk tubuh hantu itu.
“Uwaa~!!!” Hantu perempuan itu menjerit nyaring menusuk telinga. Seluruh tubuhnya menggeliat melepaskan diri dari belati, berusaha kabur ke kejauhan.
Tapi baru terbang beberapa meter, tubuhnya oleng dan jatuh ke tanah. Melihat ini, kusergap dengan cepat, berharap memberinya tusukan pamungkas.
Hantu itu mencoba bangun saat melihatku mendekat, tapi tak bisa bergerak. Langsung kutusuk punggungnya dengan belati sekuat tenaga.
Saat belati menancap di tubuhnya, rangkaian jeritan menyayat keluar. Perlahan tubuhnya mulai memudar hingga hilang sama sekali.
“Melihat hantu perempuan ini telah kuhancurkan, aku berdiri perlahan sambil terengah-engah. Hingga sekarang hatiku masih dipenuhi ketakutan. Jika saja An Rushuang tidak mengingatkanku tadi, siapa yang akan membinasakan siapa masih belum jelas.”
“An Rushuang, di mana kau?” tanyaku sambil menatap liontin giok yang tergantung di leherku.
Angin sepoi-sepoi berhembus, suara An Rushuang terdengar di sampingku:
“Aku di sisimu. Nyalakan api unggun maka kau bisa melihatku.”
Mendengar perkataannya, aku bergegas mendekati sisa api unggun yang telah padam di depan. Meski nyala apinya sudah mati, masih tersisa bara menyala di antara kayu. Kukumpulkan daun-daun kering dan meletakkannya di atas bara. Tak lama kemudian, api kecil mulai menyala kembali.
Begitu api unggun menyala, sekeliling menjadi terang. Dalam sorotan cahaya api, An Rushuang muncul di sampingku.
Kumalingkan pandangan ke arahnya dan mendapati matanya yang indah berbentuk phoenix juga menatapku. Pipiku langsung memanas. Cepat-cepat kuputar kepala ke arah lain sambil berkata ke arah api unggun: “Rushuang, ba...baru tadi terima kasih...”
“Antara kita tak perlu kata terima kasih,” bisik An Rushuang lembut.
“Hantu itu sudah mati, kenapa dia tidak menggunakan Kutukan Hantu padaku?” tanyaku tiba-tiba ingat, segera bertanya pada An Rushuang.
“Tidak semua hantu bisa menggunakan Kutukan Hantu. Yang bisa melakukannya satu dari sepuluh ribu. Jika semua hantu bisa, para daoshi di dunia ini sudah punah sejak lama,” jelas An Rushuang padaku.
“Begini, ngomong-ngomong Rushuang, tadi waktu aku memanggilmu, apa kamu tidak dengar?” tanyaku.
“Dengar, aku sengaja mengabaikanmu,” kata An Rushuang padaku.
“Kenapa? Tadi aku sendirian sampai ketakutan setengah mati, cuma ingin kamu menemaniku.” Aku memandangnya dengan bingung.
An Rushuang menyunggingkan bibirnya, lalu mengedipkan mata padaku:
“Master Lu sengaja membawamu ke sini untuk mengasahmu, membuatmu cepat kuat dalam situasi hidup-mati. Harapanku dan dia sama, makanya aku sengaja tidak meresponmu.”
“Tapi... tapi...” Aku terbungkam oleh penjelasannya. Memang benar, hanya melalui latihan seperti ini aku bisa berkembang. Tapi akhirnya dia tidak tahan dan tetap menolongku.
“Ngomong-ngomong Shisan, ini terakhir kali aku membantumu. Dua hari ke depan kau harus mandiri. Tidak boleh lagi aku selalu melindungimu. Tidak mau kehilangan anak, tak bisa menangkap serigala.” An Rushuang duduk di samping api unggun.
“Maksudmu 'tidak mau kehilangan anak' itu apa? Rushuang, apa aku anakmu? Aku ini...” Suara ku semakin lirih, malu mengucapkan kata "suami".
Sejak An Rushuang setuju menikahiku di usia 9 tahun, aku belum pernah menyebut diri sebagai suaminya atau memanggilnya "istri". Harus berani lebih tebal muka ke depannya. Lebih tebal, dan lebih tebal lagi...
An Rushuang tersenyum mendengar ucapanku, lalu termangu memandang api unggun seolah menyimpan beban pikiran.
Melihat keadaannya seperti ini, aku buru-buru duduk di samping An Rushuang.
"Rushuang, sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu?" kataku sambil menambahkan kayu kering ke api unggun.
An Rushuang terdiam sejenak setelah mendengarnya, lalu berkata padaku: "Zuo Shisan, aku selalu punya pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu..."
"Pertanyaan apa?" tanyaku sambil menatap An Rushuang.
"Kamu harus jujur padaku." kata An Rushuang.
"Pasti, aku pasti akan jujur." jawabku tanpa pikir panjang.
An Rushuang memandangku dengan serius setelah mendengar jawabanku:
"Saat kamu berusia sembilan tahun, karena terpaksa oleh siluman ular itu, kamu menikahiku. Waktu itu kamu masih kecil, sekarang kamu sudah dewasa. Bagaimanapun juga, aku tetap seorang hantu. Jadi aku ingin bertanya, apakah kamu menyukaiku?"
"Suka! Sangat suka sampai tidak bisa lebih lagi!" jawabku sambil menatapnya. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti ini, apakah ini sifat sentimental perempuan?
"Benarkah?" Matanya bersinar kegirangan setelah mendengar jawabanku.
"Benar!" tegasku.
An Rushuang mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi, sepertinya kembali tenggelam dalam pikiran...
"Shisan, ada sesuatu yang tidak tahu harus kuberitahu atau tidak." Setelah diam sejenak, An Rushuang tiba-tiba mengangkat kepala dan menatapku dengan serius.
"Katakan saja." jawabku.
"Sudahlah, nanti saja kuceritakan." katanya sambil menunduk lagi.
Aku tidak memaksanya setelah mendengar jawabannya, setiap orang punya privasi.
"Shisan, ngantuk? Kalau tidak bisa, kamu tidur dulu, aku yang jaga malam." kata An Rushuang padaku.
"Setelah dia bilang begitu, aku memang agak ngantuk, lalu bertanya: 'Kamu tidak ngantuk?'"
An Rushuang mendengar ucapanku, tiba-tiba tertawa terbahak:
"Bodoh sekali, semakin malam kami hantu semakin bersemangat."
