Mendengar perkataan An Rushuang, aku segera menyadari pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di belakangku. Tanpa ragu, aku langsung bangkit dari tanah, tangan kanan mencabit pisau belati yang terselip di pinggang dan menggenggamnya erat.
An Rushuang berjalan di depan memimpin jalan, aku mengikuti dari belakang. Belum beberapa langkah, kami sudah melampaui cahaya api unggun. Pemandangan di depan gelap gulita, bayangan An Rushuang tiba-tiba menjadi samar-samar.
Beberapa kali aku hampir tersandung akar dan ranting di tanah karena terlalu fokus menatap punggung An Rushuang, sampai beberapa kali limbung hampir terjatuh.
Belum berjalan jauh, tiba-tiba tanganku terasa dingin. Seseorang meraih tanganku. Melihat ke bawah, ternyata An Rushuang yang mengulurkan tangan menyetrap lenganku, membawaku berjalan lebih cepat.
Persis di saat itu, dari belakang tiba-tiba terdengar suara gesekan logam bergema. Suaranya kadang jauh, kadang dekat, kadang keras kadang lembut, terdengar sangat menusuk dan tidak selaras dengan suasana hutan.
Refleks ingin menoleh melihat sumber suara itu, tapi teringat pesan An Rushuang "Jangan pernah menoleh ke belakang". Aku menahan diri, menunduk dan dibimbingnya terus maju.
Namun tak lama kemudian, tak hanya suara logam, terdengar juga desauan angin menerpa bendera besar. Semua suara itu seolah semakin mendekat ke arah kami...
“Shisan, tutup matamu, perlambat pernapasan, dan jangan bergerak dari tempatmu berdiri.” An Rushuang tiba-tiba berhenti, menoleh ke arahku dengan wajah serius.
Mendengar perkataannya, aku segera berhenti di tempat, menutup mata sambil menarik napas dalam dan memperlambat pernapasan.
Tepat saat aku menutup mata, tiba-tiba kurasakan An Rushuang di hadapanku mendekat dan langsung memelukku erat-erat.
Pelukan An Rushuang membuat tubuhnya yang dingin namun lembut menempel sepenuhnya pada tubuhku. Sensasi menggelitik langsung menyebar ke seluruh tubuhku, detak jantung tiba-tiba berdegup kencang, dan rasa panas mulai menjalar dalam tubuh.
Saat ini, pikiranku kosong sama sekali. Suara-suara aneh dari belakang juga tak lagi terdengar.
Di saat dan situasi seperti ini, aku malah bereaksi memalukan karena dipeluk An Rushuang...
Dalam hati kutumpahkan makian ke diri sendiri. Di tengah situasi kritis begini, dasar aku masih bisa memikirkan hal-hal mesum.
Tapi semakin kau berusaha tidak memikirkan sesuatu, otak justru semakin ngotot mengulanginya. Kurasakan pelukan An Rushuang semakin erat, yang baru saja kukendalikan tiba-tiba...
Tiba-tiba tubuh An Rushuang bergetar halus. Sepertinya dia merasakan reaksi tubuhku. Tangannya mencubit punggungku sebagai protes atas ketidaksukaannya!
“Saat ini, meski wajahku setebal apapun, aku merasa sangat malu. Aku berpikir, apakah An Rushuang akan mulai membenciku karena kejadian ini?”
“Karena di zamannya dulu, pemikiran sangat konservatif. Sentuhan sekecil apapun dianggap melanggar norma. Jangan-jangan karena ulahku ini, dia menganggapku sebagai playboy.”
“Tapi sungguh, aku tak bisa mengendalikannya. Ini reaksi fisik normal. Sosok secantik An Rushuang yang memelukku erat-erat, bagi seorang perjaka sepertiku yang belum pernah menyentuh wanita, daya rusaknya bisa dibayangkan.”
“Jika dalam situasi seperti ini aku sama sekali tak bereaksi, justru itu yang tidak normal...”
“Entah berapa lama berlalu, An Rushuang perlahan melepaskan pelukannya dari lenganku, mundur beberapa langkah dan berkata: 'Sudah, buka matamu.'”
“Aku segera membuka mata, melihat sekeliling - tak ada apa-apa. Suasana malam yang sunyi kembali seperti semula, seolah kejadian tadi tak pernah terjadi.”
“Rushuang, tadi... maaf, aku benar-benar tidak sengaja...” Aku melirik An Rushuang dengan canggung sambil meminta maaf.
“Aku tahu, tak perlu dijelaskan. Pelukanku tadi maksudnya untuk menutupi energi Yang di tubuhmu dengan energi Yin-ku, agar mereka tidak mendeteksi.” An Rushuang merapikan rambutnya yang berantakan di dahi, lalu berjalan menuju api unggun sendirian.
Melihat ekspresi An Rushuang seperti ini, hatiku berdebar-debar. Jangan-jangan dia mulai membenciku? Aku segera menyusulnya dan bertanya: "Rushuang, suara-suara tadi itu apa? Mereka makhluk apa sebenarnya?"
An Rushuang duduk agak jauh dari api unggun, lalu berkata padaku: "Barusan itu adalah Prajurit Yin yang meminjam jalan. Kalau kamu tidak menutup mata, begitu melihat mereka, kamu akan mengikuti formasi mereka dan berjalan menuju alam baka." An Rushuang menjelaskan padaku.
"Prajurit Yin meminjam jalan?" Aku bertanya dengan agak terkejut.
"Benar. Sebenarnya fenomena Prajurit Yin meminjam jalan biasanya ada dua jenis. Pertama, pasukan kuno atau modern yang hancur dalam perang, energi dendam mereka yang tak tersebar ditambah momentum langit dan kondisi geografis saat itu. Kedua, sering muncul setelah bencana besar yang menewaskan banyak orang. Jenis kedua ini adalah Penjaga Neraka dan Jenderal Hantu yang datang untuk menangkap arwah. Yang kita temui barusan adalah jenis pertama." An Rushuang menjelaskan dengan sabar.
“Ternyata begini ceritanya.”
Setelah mendengar penjelasan An Rushuang, aku baru agak mengerti. Rupanya tadi kami mengalami fenomena legendaris "Prajurit Yin yang meminjam jalan". Sebenarnya tentang kisah Prajurit Yin ini, aku pernah mendengar beberapa versi. Yang paling terkenal adalah legenda Prajurit Yin di Istana Beijing.
Konon katanya, setiap lewat jam 12 malam di Istana Beijing, terdengar suara orang memainkan musik, bahkan terkadang terlihat dayang istana dan kasim berbaris lewat.
Dulu ada penjaga malam di Istana Beijing, tapi sekarang sudah tidak ada sama sekali. Seberapa pun bayarannya, tak ada yang mau berjaga malam. Kalau tidak percaya, tanyakan pada pedagang di sana saat jalan-jalan ke Istana Beijing.
“Ngomong-ngomong Shisan, bagaimana kabar gadis yang mengejarmu tadi?” tiba-tiba An Rushuang di sampingku mengajukan pertanyaan ini sambil menatapku.
“Fang Ziyan?” Aku agak pusing mendengarnya, tapi tetap berkata pada An Rushuang: “Dia menyerah.”
An Rushuang setelah mendengarnya hanya mengeluarkan suara “oh” perlahan, lalu tak bicara lagi.
“Kamu marah?” Tanyaku padanya sambil mengira dia masih kesal dengan kejadian tadi.
An Rushuang mendengar ucapanku, menoleh dan tersenyum tipis padaku dengan wajah khawatir: “Tidak, aku sedang memikirkan bagaimana kamu harus melewati hari esok, apa yang akan kamu temui. Tempat ini benar-benar terlalu Yin dan seram. Orang hidup yang masuk ke sini biasanya tidak mungkin bisa keluar hidup-hidup, jadi mayat semakin banyak, Energi Yin pun semakin kuat, hingga terbentuklah Tanah Yin seperti sekarang ini.”
Setelah mendengar perkataan An Rushuang, aku pun tak bisa menahan kekhawatiran. Tapi setelah berpikir lagi, apapun yang akan kami hadapi selanjutnya, pada akhirnya harus dihadapi - sama sekali tidak bisa dihindari. Jadi sekarang memikirkan hal ini pun tak ada gunanya, hanya akan menambah beban mental. Maka aku membujuk An Rushuang: "Rushuang, memikirkan terlalu banyak sekarang tidak berguna. Yang harus dihadapi tetap harus dihadapi. Kamu jangan terlalu banyak mikir. Air datang ditahan dengan tanah, pasukan datang ditahan dengan perisai. Kapal sampai ujung jembatan akan lurus sendiri. Pasti selalu ada jalan keluar."
An Rushuang setelah mendengar, mengangkat kepala dengan senyum dan berkata padaku: "Tak kusangka hatimu begitu lapang, sudahlah, aku sia-sia mengkhawatirkanmu. Istirahatlah lebih awal. Dengan luka-luka sebegini di tubuhmu, jika tidak cukup istirahat, pasti akan ambruk."
"Baik!" Aku menyahut, lalu berbaring di samping api unggun di atas "tempat tidur" darurat yang terbuat dari ranting kering dan jerami yang ditumpuk.
Untunglah ada An Rushuang, kalau tidak di tempat seperti ini, aku pasti tidak bisa tidur nyenyak.
Mendengar derik serangga di sekeliling, tak lama kemudian kelopak mataku mulai berat, begitu mata terpejam, aku pun tertidur...
Hingga pagi berikutnya, aku dibangunkan oleh An Rushuang yang mendorongku.
"Shisan, Shisan... Kamu ini babi kali ya! Bangun!!..."
"Ah! Ada apa?!" Aku bangkit dari tumpukan jerami, mengusap mata dan menatap An Rushuang di sampingku.
"Cepat bangun, aku tidak bisa tetap di luar lagi." An Rushuang berkata sambil melihatku sudah terbangun, bayangannya berkedip dan menghilang di hadapanku, kembali ke giok di leherku.
Baru saja membuka mata, belum sempat aku sadar sepenuhnya, An Rushuang sudah buru-buru pergi. Saat aku masih bingung, tanpa sengaja menengadah dan seketika menjadi paham.
Karena hari ini cerah, meski langit belum sepenuhnya terang, di timur sudah tampak sinar matahari pagi mulai menyembul.
Ternyata meski ini adalah Tanah Yin, selama ada sedikit sinar matahari yang masuk, An Rushuang tidak bisa keluar dari giok dan tetap di luar.
Menepuk kepala, aku bangkit dari tumpukan jerami. Pertama-tama memeriksa luka di tubuh, syukurlah lukanya sembuh dengan baik tanpa tanda-tanda nanah.
Setelah merapikan diri, aku pergi ke sungai kecil di depan untuk membasuh muka. Memandang hutan lebat di sekelilingku, aku menyemangati diri sendiri:
"Dua hari telah berlalu, tinggal satu hari terakhir. Bertahanlah, semuanya tergantung dirimu sendiri!!"
