Saat kembali ke api unggun untuk menguburnya dengan tanah agar api tidak membara kembali, mataku melihat ramuan obat yang diletakkan An Rushuang di samping api.
Melihat ramuan itu, hatiku terasa hangat. An Rushuang selalu memikirkan segalanya untukku. Dengan istri seperti ini, apa lagi yang bisa kuharapkan?
Sambil berpikir, kuambil ramuan di tanah. Kuberjalan ke sungai, membersihkan luka di paha, lalu mengganti ramuan dan membalutnya kembali.
Setelah minum beberapa teguk air sungai dan meregangkan badan, energi tubuhku pulih sedikit. Meraba perut yang keroncongan, kuputuskan untuk menombak beberapa ikan setelah fajar menyingsing.
Duduk menunggu lebih dari satu jam, cahaya mulai menyebar di hutan. Segera kucari tongkat penombak ikan kemarin, lalu kembali ke sungai untuk berburu ikan.
Tidak perlu banyak usaha, aku berhasil menombak dua ikan mas. Kembali ke api unggun dengan ikan-ikan itu, aku melihat tumpukan kayu yang sudah kututupi tanah. Dalam hati aku menghela napas, harus menyalakan api lagi. Untuk apa kubur tadi? Benar-benar seperti menambahkan kaki pada ular.
Setelah menyalakan api unggun kembali, aku membakar dua ikan mas itu. Meski tanpa minyak dan garam, rasanya cukup enak. Setidaknya dibandingkan dengan ekor ular biru yang kumakan sebelumnya, ini sudah termasuk lezat.
Setelah menghabiskan ikan bakar, aku merapikan area sekitarnya. Mencari tanah lapang untuk duduk, berusaha membuat rencana untuk hari terakhirku ini.
Bagaimanapun juga, tempat ini terlalu berbahaya. Sedikit lengah, bisa-bisa aku takkan pernah keluar. Jadi aku harus ekstra hati-hati. Kehati-hatian bisa menangkap tonggeret seribu musim gugur.
Langkah pertama rencana ini adalah mencari tempat persembunyian. Setidaknya harus bisa melewati malam ini. Kemudian kembali ke pohon besar tempat Master Lu menurunkan aku, menunggunya di sana. Setelah punya target, aku segera bergerak.
Aku menyusuri aliran sungai kecil ini. Jalan setapak di tepiannya jauh lebih mudah dilalui dibanding hutan lebat, jadi kecepatan berjalan pun meningkat.
Beruntung hari ini nasibku baik. Setelah berjalan lama, hanya melihat beberapa kalajengking di celah batu. Sepertinya sialku sudah dihabiskan semua kemarin.
Mengingat kejadian kemarin, aku merinding dan ngeri. Baru berjalan sebentar sudah bertemu ular biru, gigitannya belum sembuh benar, lalu dihadang gerombolan cacing pemakan tulang, malamnya lagi ketemu Prajurit Yin lewat. Benar-benar nyaris mustahil selamat.
Sungguh beruntung ada An Rushuang.
Sambil terus berjalan, pikiranku melayang. Setelah beberapa langkah, samar-samar kulihat benda hitam legam di balik rimbunnya hutan.
Begitu melihat benda itu, kewaspadaanku langsung memuncak. Aku jongkok cepat-cepat bersembunyi di balik semak, mata tak berkedip mengawasi benda hitam itu.
Tak lama kemudian, entah si benda itu menyadari kehadiranku atau tidak, tiba-tiba saja ia bergerak lambat-lambat mendekat ke arahku sambil terhuyung-huyung.
Saat sudah dekat, barulah kulihat jelas: benda hitam itu ternyata seekor hei xiazi dewasa!!
Hei xiazi alias beruang hitam. Melihatnya, aku langsung teringat bahwa indra penciuman dan pendengarannya sangat tajam. Pasti ia terpancing aroma ikan bakar tadi.
Aduh, aku benar-benar ceroboh! Dalam hati aku mengutuk diri, tubuh kaku tak bergerak di balik semak.
Kalau sampai ketahuan, cakarannya atau lidah berduri yang dijilatkannya bisa menyabet nyawa setengah badan.
Dari balik semak, detak jantungku yang kencang karena panik terdengar jelas di telinga sendiri.
Setelah beruang hitam itu berjalan beberapa langkah ke arahku, sebelum menyeberangi sungai kecil, ia berbalik arah menuju tempatku sebelumnya memanggang ikan.
Ternyata benar dugaanku, beruang itu tertarik oleh aroma harum ikan bakar yang kuolah.
Aku terus bersembunyi di balik semak belukar hingga melihat si beruang perlahan menjauh, baru kemudian napasku mulai tenang. Aku berdiri sambil mengusap keringat dingin di dahiku, hati yang sempat menggantung akhirnya bisa lega.
Untung tak ketahuan. Sekalipun punya sembilan nyawa, takkan cukup menghadapinya. Bertemu makhluk ini bahkan lebih menakutkan daripada berhadapan dengan hantu.
Sebab menghadapi hantu masih bisa kuhadapi dengan belati di tangan. Tapi di hadapan kekuatan mutlak si pemakan manusia yang tak berkedip ini, sama sekali tak ada kesempatan untuk melawan, bahkan lari pun mustahil.
Setelah menenangkan saraf yang tegang di tempat itu, aku melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Setelah berjalan lebih dari setengah jam, di tebing gunung tak jauh di samping, kulihat sebuah gua alami. Segera kubergegas menuju sana.
Jika gua ini tidak dihuni binatang buas, bersembunyi di dalamnya pasti tempat yang ideal. Pertama untuk berlindung dari angin dan hujan, kedua dengan menutup mulut gua bisa mencegah serangan binatang.
Seperti kata pepatah, "Melihat gunung dekat tapi lari sampai kuda mati". Meskipun gua itu terlihat tak terlalu jauh dari posisiku, kenyataannya berjalan ke sana adalah cerita yang sama sekali berbeda.
Setelah susah payah mencapai tebing itu, aku mendongak dan melihat bahwa gua tersebut berada di ketinggian sekitar 2-3 meter dari permukaan tanah.
Tapi ini justru menguntungkan, karena semakin tinggi letak mulut gua dari tanah, semakin kecil kemungkinan ada binatang buas di dalamnya.
Untungnya tebing ini memiliki banyak pijakan dan kemiringannya tidak terlalu curam. Aku menggosokkan kedua tangan lalu mulai memanjat menuju gua itu.
Begitu masuk ke dalam gua, hidungku langsung mencium bau lembab. Aku memeriksa bagian depan gua dengan teliti. Gua ini tidak terlalu besar, terlihat jelas ujungnya. Selain beberapa akar pohon, tak ada apa-apa di dalam.
Melihat kondisi dalam gua, hatiku merasa lega. Tempat ini memang perlindungan terbaik untuk beristirahat malam nanti.
Pertama-tama aku membersihkan akar-akar pohon di dalam gua, lalu turun untuk mengumpulkan jerami kering dan daun-daun mati di sekitar sebagai alas tidur penghangat.
Setelah selesai, tak sengaja aku melihat beberapa tanaman ciplukan yang penuh buah di semak bawah gua. Makan malamku malam ini sudah terjamin.
Cepat-cepat kukumpulkan banyak buah ciplukan dan kutaruh di gua. Meski buahnya kecil, tapi jumlahnya ratusan. Tumpukan ini cukup untuk mengisi perutku.
“Ah~!！” Tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat, hari mulai gelap. Aku duduk di dalam gua sambil makan buah nona yang kukumpulkan, memandang hutan yang semakin gelap di luar, merasa hari ini agak beruntung.
Sepanjang hari ini, tidak termasuk beruang hitam sebelumnya, aku tidak menemui apa-apa. Entah karena hari ini keberuntunganku terlalu baik, atau dua hari sebelumnya terlalu sial.
Setelah kenyang, di tengah pegunungan ini, aku merenungkan semua yang terjadi sejak dikirim Master Lu ke tempat ini. Pikiranku tiba-tiba melayang kepada Kakek, Nenek, dan orang tuaku... entah apakah mereka sudah tidur sekarang...
Demikianlah, aku berbaring di atas jerami kering dalam gua, berpikir tak karuan sebentar sebelum akhirnya tertidur lelap...
“Aduh~!!” Saat tidur nyenyak, tiba-tiba rasa sakit menusuk di pantat membangunkanku. Aku merangkak sambil memegangi pantat dan bangkit berdiri.
“Sudah jam berapa, masih tidur?!” Suara kekanak-kanakan Master Lu yang dingin dan tegas bergema dari belakangku.
Sambil tetap memegangi pantat, aku cepat-cepat menoleh dan melihat Master Lu sudah berdiri di dalam gua, sedang menatapku.
“Master Lu, Anda... bagaimana bisa menemukan tempat ini?” Tanyaku terkejut. Aku bersembunyi di dalam gua tapi masih bisa dilacaknya.
“Siap membantumu mengurus jenazah, ternyata kau masih hidup.” Master Lu mendengus dingin, lalu berkata padaku: "Kalau belum mati cepat ikut aku turun, latihan sesungguhnya baru akan dimulai." Setelah melemparkan kalimat itu, Master Lu berjalan keluar gua dan langsung melompat turun.
Setelah aku memanjat turun dari atas gua, Master Lu tidak berkata sepatah kata pun, langsung membawaku kembali lewat jalan yang sama.
Berjalan di belakang Master Lu, hatiku gelisah. Rupanya tiga hari latihan itu belum dianggap resmi! Ya ampun! Latihan "tidak resmi" saja nyaris membuatku berkali-kali dikembalikan ke pabrik, apalagi kalau latihan resmi? Masih bisakah aku hidup?
"Master Lu, latihan... latihan resminya seperti apa?" Tanyaku pada Master Lu yang berjalan di depan, berusaha mempersiapkan mental terlebih dahulu.
"Tempa Tubuh." Master Lu hanya mengucapkan dua kata itu padaku.
Aku tak langsung paham, apa itu Tempa Tubuh? Tapi melihat ekspresi dingin Master Lu yang seolah melarang gangguan, aku menahan diri untuk tidak bertanya lagi.
Sudahlah, nanti juga akan tahu sendiri.
Sepanjang perjalanan, aku mengikuti Master Lu keluar dari hutan lebat ini. Kemudian dia membawaku kembali ke arah Kuil Qingzhu...
