"Leizi, tunggu sebentar." Saat sampai di pintu ruang rias, tiba-tiba aku teringat dua ekor ayam jago besar itu, lalu memanggil Leizi dengan suara rendah.
"San Ge, ada apa?" Leizi berhenti berjalan dan menoleh memandangku.
Aku tidak langsung menjawab, pertama-tama mengeluarkan sekantong bubuk kapur yang sudah disiapkan dari tas punggung, lalu menaburkannya merata di depan pintu.
Bubuk kapur ini tidak hanya bisa mencegah mayat jiangshi, tapi juga punya fungsi menyerap Energi Yin dan Energi Mayat. Makanya aku sengaja menaburkannya di depan pintu.
Tapi setelah pintu ini kutaburi bubuk kapur putih, warnanya jadi keputihan, membuat seluruh area depan ruang rias terlihat semakin angker...
"Leizi, kamu ambil dulu dua ekor ayam jago besar di kantor itu. Lihatlah hari hampir gelap, kita tidak perlu menunggu lagi. Sekarang langsung masuk dan periksa, pasti ada yang tidak beres di sini!" Bisikku pada Leizi dengan suara ditekan.
Leizi mengangguk tanpa bicara, lalu berlari menuju kantor di gedung depan.
Aku menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan air mata sapi dan daun Pohon Liǔ, lalu mengoleskannya ke kedua mataku. Meskipun kemungkinan besar yang akan kuhadapi di sini adalah "mayat hidup" yang bangkit melalui ritual jiangshi, aku harus mempersiapkan segalanya dengan matang. Jangan sampai ketika masalah muncul, penyesalan datang terlambat.
Tak lama kemudian, Leizi kembali sambil terengah-engah memeluk dua ekor ayam. Kusuruh dia meletakkan ayam jago itu dulu dan mengoleskan air mata sapi ke matanya. Setelah Leizi mengoleskan air mata sapi, kusuruh dia memeluk ayam jago itu bersiap memasuki ruang rias ini.
Aku juga mulai merasa tegang di hati saat itu. Sebenarnya, ketika berhadapan langsung dengan hal-hal yang tidak diketahui ini, jika bilang tidak takut itu bohong. Sekarang aku terus-menerus menatap pintu besi ruang rias yang seram itu dengan perasaan merinding.
，，，，，。
Seketika ini, saat baru saja memasuki ruang rias, angin dingin tiba-tiba berhembus dari dalam ruangan tersebut. Angin itu melewati belakangku dan Leizi, langsung menyapu bersih bubuk kapur yang baru saja kutebarkan di depan pintu.
“Leizi saat ini mengikuti di belakangku, juga tidak menunjukkan ketakutan, tidak hanya tidak mundur keluar, malah maju beberapa langkah, langsung berdiri di sampingku, bertanya padaku: "San Ge, di dalam sini kenapa bisa sedingin ini? AC-nya menyala?"
"Tempat menyimpan mayat mana mungkin tidak dingin?" jawabku pada Leizi.
"Benar juga, tapi bau apa ini di dalam sini?" Leizi batuk sambil bertanya.
Aku menggeleng tanpa bicara, memandang sekeliling ruang rias. Meski lampu menyala saat ini, cahaya kehijauan yang aneh memancar, membuat seluruh ruangan terasa seram dan dingin menusuk.
Hanya ada satu jendela di ruangan ini, tertutup rapat oleh tirai tebal. Di tengah ruangan terdapat ranjang mayat yang kosong, hanya ditutupi selembar kain putih. Seluruh kamar mayat ini terasa sangat menyeramkan - kalau syuting film hantu di sini, dekorasi tidak diperlukan karena efeknya sudah melebihi standar.
Melihat ini, aku dalam hati mengumpat: Siapa desainer lampunya? Merias mayat dalam kondisi seperti ini, berapa besar tekanan mental yang harus ditanggung? Pantas susah cari pekerja di sini.
Dua ruangan ini terasa sangat tidak wajar.
Persis di saat itu, suara "Braak!" bergema lagi dari ruangan dalam. Suaranya seperti benda berat terjatuh ke ranjang, sangat jelas terdengar dalam kesunyian ruangan.
Seketika bulu kudukku berdiri semua! Bayangkan di tempat penuh mayat seperti ini tiba-tiba ada suara aneh. Orang yang mentalnya lemah mungkin langsung pingsan.
"San Ge, itu... itu apa di dalam?" Leizi menelan ludah, matanya menatap tajam tirai plastik ruang dalam.
"Mau tahu ya masuk saja lihat sendiri?" jawabku pada Leizi.
“San Ge, kenapa kamu tidak masuk duluan?” Leizi mendengar perkataanku, baru melangkah ke depan lalu mundur lagi. Meski terkadang reaksinya lambat, dia tidak bodoh.
“Ini semua urusan yang kamu ambil, kalau bukan kamu yang masuk siapa lagi? Bukan aku yang janji bantu Hu Xiaobo.” Aku menggunakan kesempatan ini untuk memberi pelajaran pada Leizi agar dia sedikit lebih berhati-hati.
Tepat di mencekam ini, tiba-tiba kurasakan ada bayangan manusia mendekati kami dari belakang.
Terkejut, segera kukendalikan diri. Dalam situasi seperti ini, pasti yang datang bukan orang baik. Tanpa sempat memberi tahu Leizi, aku melesat dua langkah ke depan lalu berbalik cepat, siap mengarahkan Fu Pengusir Hantu Zichen Wujia di tanganku ke arah bayangan itu.
Tapi saat kulihat jelas wajah orang di belakang, langsung kutarik kembali tanganku yang sudah teracung.
“Kenapa kamu datang ke sini lagi?” tanyaku pada gadis bermarga Bai di hadapan.
Dia tersenyum padaku:
“Luar sudah gelap. Kulihat lampu di dua kamar ini menyala, jadi mendekat ingin mengintip dari jendela. Tak disangka dari luar jendela kudengar kalian berdua sedang bicara di dalam, jadi ingin masuk...”
“Braak!!!” Gadis bermarga Bai itu belum selesai bicara, pintu besi ruang rias di belakang kami bertiga tiba-tiba mengatup sendiri!
“Bangsat! San Ge mereka mau mengurung kita seperti anjing di kandang, nenek moyang mereka!!” Leizi menoleh melihat pintu besi yang terkunci rapat lalu memaki ke segala arah.
“Leizi kamu bicara apa sih？！Dasar siapa yang kau sebut anjing？！” Aku berteriak pada Leizi. Di saat seperti ini, teriakan bisa meningkatkan semangat kami sekaligus mengurangi rasa takut.
Tapi gadis ini datang di waktu yang tidak tepat, benar-benar mempersulit keadaan.
“Ger...gerbang besi itu...kenapa bisa menutup sendiri?” Gadis itu menoleh memandangi gerbang besi dengan suara gemetar penuh ketakutan.
“Ada sesuatu di dalam sini.” Aku tidak menjelaskan detail padanya, lalu berkata pada Leizi: “Leizi, berikan dia satu ayam jago untuk dipeluk.” Sambil mengulurkan selembar Fu Pengusir Hantu Zichen Wujia, kuberi tahu: “Pegang kertas jimat ini. Tunggu di luar. Jika melihat sesuatu, berteriak lalu tempelkan jimat ini ke arahnya. Mengerti?”
Gadis itu mengangguk tak henti-henti, terlalu takut sampai bicara pun tidak bisa. Untung sebelumnya dia pernah mengalami tukang santet dengan ilmu kepala terbang, jadi masih punya sedikit ketahanan. Kalau gadis lain mungkin sudah menangis atau pingsan.
“Ngomong-ngomong, namamu siapa?” tanyaku padanya.
“Bai Ruotong...” jawab gadis itu sambil memeluk ayam dan memegang jimat, suaranya masih gemetar.
“Sudah Leizi, siap belum? Kalau sudah kita lepas tali paruh ayam dan masuk!” tanyaku pada Leizi.
Leizi menarik napas dalam beberapa kali sebelum memberi isyarat OK padaku.
Melihat ini, aku langsung melepaskan benang merah yang mengikat paruh ayam jago besar yang sedang dipegang Leizi.
Tapi di luar dugaan, setelah tali dilepas, ayam jago itu malah menundukkan kepala dan tidak bersuara sama sekali, tak peduli seberapa keras Leizi menggoyang-goyangkannya, mulutnya tetap terkunci rapat.
"Gila! San Ge, kenapa ayam ini? Kok diapa-apain nggak mau berkokok?" tanya Leizi padaku.
Melihat ayam jago itu lesu seperti mayat yang belum dikubur, aku pun bingung. Akhirnya kukatakan pada Leizi: "Leizi, lupakan dulu ayamnya, ayo kita masuk ke dalam!"
Sambil mengerahkan keberanian, kusibak tirai plastik ruang dalam dan melangkah masuk.
Begitu masuk, udara terasa lebih dingin dari luar. Leizi yang ada di sampingku langsung menunjuk ke arah kiri dengan wajah ketakutan: "Sa... San Ge, lihat itu... mayatnya bangun duduk!!"
Kaget mendengar teriakan Leizi, mataku langsung menyusut ke arah yang ditunjuknya. Di atas tempat tidur mayat, terlihat jenazah perempuan telanjang sedang duduk tegak.
Posisinya sangat rapi dan lurus, kedua tangannya terulur ke depan seolah sengaja dibentuk seperti itu oleh seseorang.
Mayat perempuan itu seluruh tubuhnya sudah memutih, wajahnya dipenuhi bedak putih. Meski sudah menjadi mayat, tapi terlihat jelas semasa hidupnya dia pasti seorang wanita cantik. Mayat yang duduk dari tempat tidur mayat itu setengah membuka mulut, sepasang bola mata kelabu tanpa kilau menatap tajam ke arah kami, seolah sudah lama menunggu kedatangan aku dan Leizi...
