"Hutan Primitif Karst Maolan yang akan kita kunjungi kali ini terletak di sebelah selatan Kabupaten Libo, Guizhou."
Duduk di dalam mobil, aku hanya bisa menghela nafas dalam hati. Perjalanan ini pasti akan melelahkan. Shandong tempat kami berasal sangat jauh dari Guizhou. Kemarin malam saat browsing di penginapan, aku sempat cek Baidu - jaraknya lebih dari 2.200 kilometer.
Tapi aku juga sempat mencari informasi tentang Hutan Karst Maolan itu. Meski pemandangannya indah, banyak bahaya mengintai mulai dari jeram berbahaya hingga satwa liar agresif seperti serigala, ular berbisa, banteng liar, beruang, macan tutul, bahkan harimau Tiongkok selatan.
Yang paling kukhawatirkan adalah kondisi fisik Bai Ruotong yang rentan. Bisakah dia bertahan di tempat berbahaya seperti itu? Apalagi jika harus turun ke makam kuno. Dia gadis biasa, tak seperti veteran tim investigasi paranormal yang sudah berpengalaman menghadapi bahaya.
Lalu apa maksud Si Bekas Luka bicara tentang "perubahan besar"? Apakah Mustika Phoenix kecil ini menyimpan rahasia besar yang mengguncang dunia?
Juga membuatku penasaran - ke mana Master Qingfeng dan Master Lu pergi? Apakah tujuan mereka terkait dengan peta misterius yang pernah kita temukan sebelumnya?
Sementara otakku sibuk memikirkan berbagai pertanyaan ini, mobil telah melaju lebih dari satu jam. Kedua pria paruh baya itu tertidur dengan mendengkur.
"Zuo Shisan, kita sekarang sekapal. Di sini tidak ada orang luar. Boleh aku bertanya sesuatu langsung?" Zhao Man yang menyetir tiba-tiba berbicara padaku.
“Boleh saja.” Aku melirik dua pria paruh baya yang sudah tertidur itu.
“Kudengar dari Kapten Yue, sejak kecil kamu ditemani istri hantu?” Zhao Man bertanya padaku.
Begitu Zhao Man mengucapkan itu, Bai Ruotong di depan langsung menoleh ke belakang dengan wajah terkejut memandangiku.
“Benar, sudah ada sejak aku sembilan tahun.” Jawabku jujur. Mengingat Tim Investigasi Paranormal sudah mengetahuinya, tak perlu kusembunyikan lagi.
“Konon kamu bersedia ikut Kapten Yue turun ke makam demi mencari jamur mayat yang lahir dari energi Yin untuk menyelamatkannya?” Zhao Man terus bertanya.
“Tepat sekali.” Kataku.
“Ada satu hal yang ragu untuk kusampaikan.” Zhao Man membalikkan sun visor di depan jendela mobil sambil berbicara.
“Silakan.” Aku menduga wanita bernama Zhao Man ini akan membicarakan An Rushuang.
“Dia memiliki kekuatan spiritual selama seribu tahun, kecerdasannya jauh melampaui kita. Mengapa mau menikah denganmu? Kalau hanya demi persembahan leluhurmu, itu konyol. Pasti ada maksud lain. Apakah kakekmu dulu percaya begitu saja pada hantu perempuan itu?” Zhao Man menyatakan pendapatnya.
Mendengar perkataannya, hatiku tersentak. Siapapun takkan terima jika istri sendiri, manusia atau hantu, dituduh punya niat tersembunyi.
“Aku tak mau berkomentar banyak. Apakah istri hantuku tulus atau punya maksud lain, tak ada yang lebih tahu daripada diriku sendiri.” Paling kubenci jika ada yang meragukan An Rushuang.
“An Rushuang sudah beberapa kali nyaris rohnya tercerai-berai demi menyelamatkanku. Jika aku masih meragukannya, pantaskah aku disebut manusia?”
“Lakukan yang terbaik untuk dirimu sendiri.” Zhao Man berkata singkat, lalu fokus menyetir tanpa bicara lagi.
Ditanyainya seperti itu membuat suasana hatiku langsung muram. Malas memikirkan kejadian sebelumnya, aku bersandar di jok dan tertidur.
Entah berapa lama, kusadari ada yang mendorong tubuhku. Membuka mata, mobil sudah berhenti. Hanya aku dan Bai Ruotong yang tersisa di dalam. Rupanya dialah yang membangunkanku.
“Kita di mana sekarang?” Kucek-cek mata sambil menatap Bai Ruotong.
“Sudah separuh jalan. Makanlah ini.” Bai Ruotong menyodorkan sebotol Yingyang Manxian dan sebungkus biskuit.
Sudah berjam-jam tak makan minum, perutku memang keroncongan. Langsung kuraih makanan itu darinya.
Setelah makan, kulihat sekeliling. Rupanya kita sampai di pos tol. Turun ke toilet, kembali ke mobil, Zhao Man dan dua pria paruh baya sudah duduk di dalam. Mesin dinyalakan, bensin diisi penuh, perjalanan dilanjutkan.
Mungkin karena kelelahan, Zhao Man meminta salah satu pria paruh baya itu menggantikannya menyetir. Dia duduk di belakang bersamaku.
Karena baru saja tidur, sepanjang sisa perjalanan aku tak bisa memejamkan mata. Akhirnya kuputuskan untuk duduk tegak dan menikmati pemandangan luar jendela.
Akhirnya, pukul 10 lebih malam kami tiba di Guizhou. Setelah lebih dari sepuluh jam duduk di mobil, pantatku sampai sakit.
Setelah mobil berhenti di tempat parkir sebuah hotel, aku turun dan berjalan terasa melayang. Untuk pertama kalinya, aku merasa menginjak permukaan jalan begitu nyata.
Setelah kami berempat berkumpul dengan Si Bekas Luka dan Chen Yuluo, kami bersama-sama menginap di hotel.
Setiap orang memesan kamar single, lalu kami sepakat besok pagi berkumpul untuk menuju Hutan Primir Karst Maolan.
Kembali ke kamar hotel, aku langsung terjatuh di kasur tak ingin bergerak. Pikiranku melayang: Bukankah Si Bekas Luka bilang akan ada delapan orang turun ke makam? Kenapa sekarang cuma tujuh? Kemana yang satu lagi? Jangan-jangan mereka tiba-tiba membatalkan?
Sudahlah, tak usah dipikir. Aku bangun dari kasur dan mandi dulu, lalu langsung terlelap.
Tak ada kejadian malam itu. Keesokan paginya, kami berkumpul dan naik mobil lagi menuju Hutan Primir Karst Maolan.
Setelah dua jam lebih perjalanan, mobil berhenti di tempat parkir umum area pegunungan. Kami berenam turun. Di depan hanya ada beberapa jalan setapak berumput lebat. Si Bekas Luka mengeluarkan beberapa set pakaian khusus hutan: baju lengan panjang, celana panjang, topi, dan pembalut kaki untuk menghindari gigitan serangga dan ular.
Setiap orang memanggul tas ransel besar-kecil berisi air, makanan, pakaian, serta berbagai perlengkapan untuk turun ke makam.
Kecuali Bai Ruotong, keenam orang lainnya membawa beban yang cukup berat.
Setelah semua persiapan selesai, Si Bekas Luka mengeluarkan peta. Setelah berdiskusi lama dengan Chen Yuluo sambil melihat kompas penunjuk arah di jam tangannya, akhirnya mereka menentukan arah pasti. Kami pun membuntuti mereka, memasuki bagian terdalam Hutan Primir Karst Maolan.
Masuk ke bagian terdalam hutan lebat, semakin banyak pohon besar yang rimbun. Menengadah hanya bisa melihat sedikit sinar matahari, bahkan di beberapa tempat sama sekali tidak ada cahaya.
Vegetasi lumut di tanah sangat subur, merambat hingga ketinggian tiga empat meter di batang pohon. Karena kelembapan, tumpukan daun kering dan ranting yang membusuk sepanjang tahun mengeluarkan aroma kayu lapuk yang lembap.
Banyak batu dan pohon di jalan gunung yang berlumut, sangat licin saat diinjak. Beberapa kali Bai Ruotong yang berjalan di belakangku hampir terjatuh. Akhirnya kutebas ranting dengan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks untuk dijadikan tongkat baginya.
Semakin dalam kami masuk ke hutan purba Lin Sen ini, semakin banyak serangga yang muncul. Tubuh kami sesekali dipenuhi berbagai jenis kutu. Untungnya Si Bekas Luka sudah mempersiapkan semuanya sebelumnya. Jika kami masuk hanya mengenakan kaus lengan pendek dan celana dalam, pasti seluruh tubuh sudah dipenuhi bengkakan.
Bai Ruotong yang mengikuti di belakangku tampaknya sangat tertarik dengan hutan purba ini. Ia tidak peduli apakah tujuan kami sebenarnya turun ke makam atau jalan-jalan. Setiap melihat pemandangan yang indah, langsung mengeluarkan ponsel dan memotret.
“Saat berjalan harus sangat hati-hati, jangan sampai terpeleset, lihat ke bawah, jangan menginjak ular.” Si Bekas Luka yang berjalan paling depan mengingatkan kami.
Setelah berjalan selama hampir dua jam, rombongan kami berhenti sebentar. Kami makan sedikit makanan ringan, beristirahat sejenak, lalu melanjutkan perjalanan sesuai arahan peta dan Chen Yuluo.
Di sini, aku harus mengakui kemampuan Chen Yuluo. Di tengah hutan lebat yang seragam ini, hanya dengan mengandalkan penglihatannya, dia bisa menentukan arah dan menemukan lokasi pasti makam kuno. Benar-benar ahli.
Sementara dua pria paruh baya itu sama sekali tidak berbicara selama perjalanan, hanya fokus berjalan. Aku sempat menduga apakah mereka bisu.
Perjalanan ini berlanjut hingga senja. Si Bekas Luka baru memanggil semua orang untuk beristirahat di tempat, bersiap mendirikan tenda dan menyalakan api unggun.
Setelah kami empat pria dewasa selesai mendirikan tenda, aku meletakkan semua tas ransel di dalam tenda. Seketika tubuh terasa lebih ringan. Setelah meregangkan badan, aku keluar tenda dan melihat api unggun sudah menyala.
Saat itu langit sudah gelap. Kami semua duduk melingkari api unggun sambil menyantap dendeng dan biskuit kompresi.
"Lao Chen, aku benar-benar kagum dengan keahlianmu membaca bintang dan meraba nadi bumi ini. Makam dinasti apa pun bisa kau temukan." Si Bekas Luka yang sedang mengunyah dendeng di sebelah api unggun berkata pada Chen Yuluo.
Chen Yuluo tersenyum dan berkata: "Sebenarnya, bagaimanapun juga, tata letak makam Tiongkok selama ribuan tahun di semua dinasti berasal dari susunan feng shui lima elemen. Meski berubah-ubah, prinsip dasarnya tetap sama - mengejar angin dan air. Bisa dikatakan, selama seseorang memahami pola aliran pegunungan dan sungai di dunia, bahkan makam kuno yang tersembunyi paling dalam pun bisa ditemukan dengan mudah..."
Saat mereka sedang berbicara, tiba-tiba kusadari di belakang Zhao Man yang berada di seberangku, ada beberapa pohon huai yang sangat besar sepertinya memiliki sesuatu yang aneh. Dengan cahara api unggun, setelah kulihat lebih seksama, napasku langsung tersengal karena kaget!
Di batang salah satu pohon huai itu, aku benar-benar melihat wajah manusia yang aneh!!
