Mendengar perkataan Chen Yuluo, wajah Si Bekas Luka langsung berubah. Ia buru-buru bertanya, "Apa yang tidak beres? Kau menemukan sesuatu?"
Chen Yuluo mendekat dan menatap Si Bekas Luka, "Kapten Yue, tadi saya mengamati langit malam. Bintang Kaiyang tiba-tiba bersinar sangat terang, tapi tak lama kemudian redup seketika, seolah hendak jatuh dari rasi bintang. Di tahun dan bulan yin, fenomena langit seperti ini pertanda buruk!"
"Kau yakin tidak salah lihat?" tanya Si Bekas Luka.
"Sama sekali tidak salah. Saya sengaja naik ke pohon itu berkali-kali untuk memastikan posisi bintangnya. Tidak mungkin ada kesalahan." Chen Yuluo menjawab dengan penuh keyakinan.
Setelah mendengar penjelasan Chen Yuluo, saya menengadah ke langit. Melalui celah-celah ranting pohon yang rapat, bulan purnama terlihat tergantung tinggi, separuhnya tertutup awan hitam...
“Guaak guaak…” Dua burung gagak hitam besar terbang melintas di atas kepala kami sambil bersuara aneh, menuju kedalaman hutan primitif Maolan Karst.
Melihat dua burung gagak itu terbang di tengah hutan, hatiku dipenuhi kegelisahan. Firasat buruk yang sangat kuat muncul dari dasar kalbu.
Dalam kepercayaan rakyat, burung gagak dan burung hantu dianggap hewan pembawa sial. Banyak orang mengaitkannya dengan kuburan dan kesurupan/menarik jiwa, bertolak belakang dengan burung murai yang membawa pertanda baik.
Menurut legenda, burung gagak bisa menuntun jiwa manusia melintasi alam yin-yang. Bertemu mereka di saat seperti ini adalah pertanda sial.
"Awal yang buruk. Kita bahkan belum masuk ke makam kuno itu, sudah ada yang tewas. Ditambah pertanda bintang pembawa malapetaka ini. Huh! Ke depan kita harus ekstra waspada setiap langkah." Si Bekas Luka mengangkat kepala memandang langit malam, lalu berkata pada Chen Yuluo di sampingnya.
Chen Yuluo mengangguk, lalu bertanya: "Kapten Yue, kenapa Lao Ba tidak ikut? Keahliannya akan sangat berguna jika ada masalah di dalam makam."
"Dia sedang bertugas di Luoyang." Si Bekas Luka mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya, menyelipkan sebatang di mulut, lalu menoleh padaku: "Adik Shisan, merokok?"
"Terima kasih, tidak bisa." Kubalas sambil melambaikan tangan.
Begitu Si Bekas Luka menyalakan rokoknya, suara Zhao Man dari dekat api unggun terdengar:
"Sup sayuran liar sudah matang! Ayo semua makan!!"
Kami bertiga setelah mendengar, bersama-sama berjalan menuju ke arah api unggun tersebut.
Sampai di dekat api unggun, baru saja duduk bersila di tanah, aku langsung mendengar pencuri makam itu terus mengoceh di samping Zhao Man. Ini membuatku penasaran. Sejak kakaknya meninggal, pencuri makam ini seolah berubah total, dari orang pendiam menjadi cerewet.
"Aku bilang dulu kau tidak banyak bicara?!" Zhao Man melotot ke arah pencuri makam itu, nada suaranya jelas menunjukkan rasa tidak sabar.
"Nona, jujur saja, itu perintah kakakku. Dia menyuruhku untuk sedikit bicara agar terlihat misterius. Biar kalian tidak mengira kami cuma jago omong kosong yang cuma mau tipu uang. Kami berdua benar-benar sudah menjelajahi beberapa makam kuno." Pencuri makam itu ternyata jujur pada Zhao Man, mengungkapkan semua kebenaran.
Zhao Man mencibir setelah mendengar, tidak berkata apa-apa lagi. Dia membagikan mangkuk besi kecil ke setiap orang, menyuruh semua orang mengambil langsung dari panci dengan mangkuk mereka.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang mau pilih-pilih. Bisa makan makanan panas saja sudah syukur. Semua sibuk mengambil sup, makan bersama biskuit kompresi dan daging kaleng.
Setelah didinginkan sebentar, aku mencicipi sup sayuran liar dalam mangkuk. Meski jelas tidak seenak masakan rumah, harus diakui sayuran liar dari pegunungan ini memang sangat segar.
Aku tidak tahan terus meminum tiga mangkuk besar.
“Aku bilang Yue Dui, kita udah lama masuk ke pegunungan ini. Berapa lama lagi sampai ke makam kuno itu?” tanya si pencuri makam sambil menatap Si Bekas Luka.
Si Bekas Luka menoleh ke Chen Yuluo yang di sampingnya: “Xiao Chen, perkiraan besok bisa sampai?”
Chen Yuluo mengangguk, meletakkan kaleng makanan di tangannya: “Kalau tidak ada hambatan, sebelum tengah hari besok pasti sampai tujuan. Menurut pengamatanku, jaraknya kurang dari sepuluh li.”
“Bisa sampai ya? Bisa sampai ya? Aku mulai kerja deh. Eh, kaleng daging sapi itu kasih dua lagi ke aku...”
Setelah makan malam, semua orang duduk melingkari api unggun mengobrol. Aku teringat mata kiri Si Bekas Luka yang sering berubah hijau, lalu bertanya: “Yue Dage, mata kirimu kenapa? Tadi malam aku lihat matamu bersinar hijau kayak serigala.”
Si Bekas Luka melempar kayu ke api unggun sambil geleng-geleng kepala: “Mata kiri aku buta.”
Aku kaget:
“Buta?!”
“Iya, buta. Kalau cuma pakai mata kiri, aku nggak bisa lihat kalian. Semua yang ada di dunia nyata nggak kelihatan. Tepatnya, mata kiriku ini Yin Yan.” Si Bekas Luka tersenyum pahit.
“Yin Yan? Itu apa?” Aku makin bingung. Apa Yin Yan ini sama kayak Yin Yang Yan, bisa melihat energi Yin jahat?
"Yang disebut Yin Yan, sangat berbeda dengan Yin Yang Yan milikmu. Matamu bisa melihat makhluk Yin dan Yang sekaligus, sedangkan mata kiriku hanya bisa melihat energi Yin jahat. Sehari-hari hampir sama seperti orang buta." Si Bekas Luka menjelaskan padaku.
"Oh, ternyata seperti itu." Aku akhirnya mengerti setelah mendengarnya.
"Ngomong-ngomong Shisan, aku selalu ingin bertanya. Kenapa Yin Yang Yan-mu disegel?" Zhao Man di seberang menatap dan bertanya.
"Waktu kecil, kakekku takut mata Yin Yang Yan ini bisa melihat hantu. Khawatir aku ketempelan benda tidak bersih, dia mencari seorang biksu Tao tua untuk menyegelnya." Jawabku.
"Sudah berapa tahun disegel?" Tanya Zhao Man.
"Lebih dari sembilan tahun."
Zhao Man mengangguk mendengarnya, sepertinya ingin mengatakan sesuatu padaku tapi menahan diri, tidak melanjutkan pembicaraan.
Aku lalu bertanya padanya: "Ngomong-ngomong Zhao Man, bagaimana dengan peluru penangkal roh jahat di pistolmu sebelumnya? Apakah itu bukan peluru biasa?"
Zhao Man tersenyum kecut, mengeluarkan sebuah peluru dari sakunya dan menyerahkannya padaku.
"Coba lihat, bagian kepala peluru ini diukir dengan talisman penangkal roh jahat. Pasti tidak bisa dibandingkan dengan peluru biasa."
Setelah menerima peluru itu dari tangan Zhao Man, kulihat di bagian kepala peluru memang terukir rapat beberapa talisman yang tidak bisa kubaca.
Kubilang pistolnya begitu hebat, ternyata begini ceritanya.
Setelah mengembalikan peluru ke Zhao Man, kami berbincang sebentar lalu masing-masing kembali ke tenda untuk tidur. Malam ini giliranku berjaga pertama.
Duduk di samping api unggun, aku sendiri duduk di sana, menatap nyala api dan mendengar kriket di sekelilingku dengan pikiran melayang. Aku terus bertanya-tanya, bahaya apa yang akan kami hadapi saat turun ke makam kali ini? Akankah masih ada korban jiwa? Siapakah sebenarnya yang dimakamkan di makam kuno itu? Dari dinasti mana dia berasal? Dan apakah benar ada jamur mayat di dalam makam yang bisa menyelamatkan An Rushuang? Bisakah kami menemukan Empedu Phoenix yang legendaris itu?
Semakin kupikirkan, tiba-tiba aku teringat pada An Rushuang. Aku juga tidak tahu bagaimana keadaannya di dalam giok saat ini.
Aku mengeluarkan liontan giok yang menggantung di leherku, meletakkannya di telapak tangan, lalu menunduk memandanginya sambil berbisik: "Rushuang, aku pasti akan menemukan jamur mayat untuk menyelamatkanmu."
Seolah-olah An Rushuang dalam giok itu mendengar ucapanku, permukaan giok memancarkan kilau samar. Melihat ini, aku menggenggam erat liontan itu dan menempelkannya di dada sambil berbisik padanya: "Hatiku, ada padamu, seperti domba di gunung, bulan di balik awan..."
Langkah kaki ringan memecah kesunyian sekitar. Aku menyimpan giok itu dan mengangkat kepala, melihat Bai Ruotong keluar dari tenda dan berjalan ke arahku.
"Kenapa kamu tidak tidur?" tanyaku pada Bai Ruotong.
Bai Ruotong duduk di sampingku sebelum menjawab: "Tidak bisa tidur. Aku rindu ayahku, sangat merindukannya..." Suaranya tercekat di akhir kalimat.
“Setelah melirik Bai Ruotong, hatiku tiba-tiba merasa sesak. Namun tak ada yang bisa kulakukan selain menghiburnya, 'Ayahmu sedang mengawasimu dari langit. Mungkin salah satu bintang di langit ini sekarang adalah ayahmu.'”
Bai Ruotong tak berkata apa-apa setelah mendengar ucapanku. Dia memeluk erat kedua kakinya, menunduk menatap api unggun dengan tatapan kosong. Dalam cahaya api, kulihat jelas dua aliran air mata mengalir di pipi putihnya yang murni...
Setelah lama, Bai Ruotong akhirnya mengangkat kepala dan berkata padaku: "San Ge."
"Ya?"
"Ayahku orang baik, seumur hidup orang baik. Katakan padaku, mengapa orang baik tidak mendapat balasan yang baik? 'Orang baik dapat balasan baik, orang jahat dapat balasan buruk. Bukan tidak dibalas, waktunya belum tiba.' Bukankah ini dusta terbesar di dunia?"
Mendengar perkataannya, aku terdiam. Hidungku terasa pedih. Menatap matanya yang memerah, aku tak tahu harus berkata apa.
