"Di sini, Shisan lu gapapa?" Suara Si Bekas Luka terdengar tak jauh.
"Aku baik. Yang lain?" tanyaku.
"Kak Yue, Chen Yuluo dan cewek itu aman?" Suara Zhao Man datang dari belakangku.
Si Bekas Luka meludahkan air, "Xiao Chen ada di sini. Ceweknya sama Shisan. Ayo naik dulu!" Ia menyalakan lampu kedap air di kepalanya dan mulai berenang menuju satu arah.
“Aku menarik Bai Ruotong mengikuti dari belakang, setelah kami beberapa orang berenang sampai ke tepi, setelah naik ke darat, aku pertama-tama membaringkan Bai Ruotong terlentang, memeriksa napasnya—masih ada, seketika hatiku lega.”
“Tapi tiba-tiba aku teringat sejak kami masuk ke air, suara Lao Liu sama sekali tidak terdengar, ke mana dia pergi?”
“Kakak Yue, di mana Lao Liu?” Aku melihat ke Si Bekas Luka dan bertanya.
“Aku di sini!!” Suara Lao Liu tiba-tiba terdengar dari belakang kami, kemudian dia memanjat keluar dari bawah air.
“Aku bilang kalian ini benar-benar tidak punya tenggang rasa, kok hanya memikirkan diri sendiri? Untungnya aku sejak kecil sudah bisa berenang, kalau tidak hari ini pasti tenggelam di sini!” Lao Liu langsung mengeluh begitu naik ke darat.
Zhao Man memeras air dari rambut panjangnya sambil berkata dingin: “Bukannya kamu belum mati?”
“Aku...” Lao Liu melihat yang berbicara adalah Zhao Man, langsung kehilangan semangat.
“Hukh-hukh~... San Ge, di mana kita ini?” Bai Ruotong tiba-tiba siuman, menutupi kepalanya sambil bangun dari tanah dan batuk-batuk bertanya padaku.
“Aku juga tidak tahu, bagaimana perasaanmu sekarang?” Aku melihat Bai Ruotong dan bertanya.
“Aku baik-baik saja, hukh...” Bai Ruotong mulai batuk lagi saat berbicara.
Dengan terpaksa, aku dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya agar dia merasa lebih baik.
Demikianlah, enam orang kami jatuh dari makam kuno itu ke perairan ini. Setelah merapikan perlengkapan sejenak, kami mulai mencari jalan keluar ke segala penjuru.
Setelah berkeliling di bawah jurang ini, kami menyadari tempat ini seperti perangkap yang sengaja dibuat untuk mengurung manusia. Tidak ada jalan keluar di segala penjuru, artinya saat ini hanya ada satu jalan untuk melarikan diri dari sini.
Yaitu dengan memanjat naik!
Melihat ke atas tebing batu yang curam ini, hatiku langsung ciut. Kalaupun ahli panjat tebing datang, pasti hanya bisa menggeleng dan menghela napas.
Karena tebing ini terlalu curam dan hampir tidak ada titik pijakan untuk memanjat.
Semua orang mulai putus asa. Lao Liu langsung duduk menjatuhkan diri ke tanah, mengeluh, "Selesai! Kita pasti tidak bisa keluar kali ini, terkubur hidup-hidup di sini."
Si Bekas Luka berkata, "Mati sih tidak akan mati."
"Maksudmu?" Lao Liu langsung melompat berdiri mendengar perkataannya, menatapnya penuh tanya.
"Sekarang hanya ada satu jalan: memanjat naik." Si Bekas Luka menatap tebing curam sambil berkata.
"Memanjat?! Tebingnya segila ini, bagaimana caranya?!" teriak Lao Liu.
"Meski curam, kalau benar-benar mau memanjat, tetap ada caranya." Si Bekas Luka mengeluarkan segenggam paku peti mati dan pisau belati dari tangannya.
Begitu melihat paku-paku peti mati dan pisau belati di tangannya, aku langsung paham. Dia ingin memasang paku di sol sepatu lalu memanjat setahap demi setahap dengan bantuan pisau.
Meski metode ini mungkin berhasil, tingkat bahayanya sangat tinggi. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal selamanya.
“Shisan, adik seperjuangan, bagaimana stamina kamu?” Si Bekas Luka menatapku bertanya.
“Lumayan, tidak terlalu buruk.” Jawabku. Sebelumnya pasti aku tidak berani berkata begitu, tapi setelah pelatihan dari Master Qingfeng dan Master Lu, sedikit banyak aku mulai punya kepercayaan diri.
“Kalau begitu, kita berdua yang memanjat dulu, lalu menurunkan tali untuk menarik yang di bawah. Aku khawatir kalau sendirian di atas nanti tidak menemukan tempat untuk mengikat tali, tidak kuat menarik mereka sendirian.” Si Bekas Luka menjelaskan padaku.
“Tidak masalah.” Langsung kusetujui.
Demikianlah, Si Bekas Luka memasang paku peti mati di sol sepatuku dan sol sepatunya sendiri sebagai penguat, lalu melapisi sol dengan beberapa lapis kain. Setelah memakai sepatu, kami berdua masing-masing membawa sebilah pisau belati, bersiap memanjat tebing batu ini.
Untuk keamanan, kami berdua hanya membawa perlengkapan ringan. Aku membawa tas ransel kecil, sementara Si Bekas Luka menggendong gulungan besar tali pendakian.
Setelah semua siap, kami mencari bagian tebing yang tidak terlalu curam. Dengan menusukkan pisau belati ke celah batu, kami mengerahkan tenaga kaki dan mulai memanjat perlahan.
Awalnya masih bisa bertahan, tapi seiring waktu, lengan mulai pegal, kaki gemetar halus...
Setelah memaksakan diri naik beberapa meter lagi, tenagaku benar-benar habis. Berhenti di tempat, terengah-engah, badan terasa seperti mau rontok.
“Ada apa? Tidak kuat lagi?” Si Bekas Luka menatapku sambil bertanya.
“Hmm, aku mulai tidak sanggup melanjutkan.” Aku berkata sambil terengah-engah.
Si Bekas Luka segera menasihatiku: “Di sini tidak boleh berhenti, sekali berhenti risiko jatuh akan mengintai. Harus terus memanjat ke atas, semangat! Tinggal separuh jalan lagi!”
“Yue... Kakak Yue, aku benar-benar tidak kuat lagi. Seluruh tubuh sudah lemas.” Meski jelas merasakan tubuh mulai melorot, aku tak bisa bergerak sama sekali. Seluruh badan terasa nyeri, bahkan muncul keinginan untuk melepaskan diri dengan terjun bebas.
“Shisan, percayalah padaku. Kita berdua pasti bisa keluar dari jurang ini. Sekalipun hanya merangkak satu inci demi satu inci, jangan pernah menyerah! Jangan biarkan pikiran menyerah muncul! Inilah perbedaan antara anak laki-laki dan pria sejati, inilah garis pemisah antara hidup dan mati!” Si Bekas Luka menatapku serius.
“Bangkitkan semangatmu, bertindaklah seperti pria sejati, panjatlah!”
Mendengar perkataan Si Bekas Luka, tiba-tiba suara An Rushuang bergema dalam hatiku:
“Berjanjilah padaku, jadilah lelaki yang teguh berdiri di antara langit dan bumi.”
Sebuah potensi tak terlihat tiba-tiba menyembur dari kedalaman tubuhku. Kutekan gigi, kukuatkan kaki, dan mulai memanjat tebing batu itu...
“Tinggal kurang 10 meter lagi! Semangat, pertahankan!” Si Bekas Luka tak henti menyemangatiku sambil terus memanjat.
“Tinggal 5 meter...”
“Tinggal 3 meter terakhir...”
“Sebentar lagi kita sampai. Tinggal satu langkah ini aku bisa menarikmu.” Setelah naik satu langkah, Si Bekas Luka yang sudah lebih dulu di atas langsung meraih lenganku dan menarikku ke atas.
Setelah berhasil memanjat ke atas, kami berdua berbaring di tanah sambil terengah-engah. Seluruh tubuhku terasa seperti terkuras habis, lengan dan kaki seolah-olah mau pecah.
Entah berapa lama kemudian, samar-samar kudengar suara orang berteriak dari bawah. Si Bekas Luka berdiri dan mendekati tepi jurang, berteriak ke bawah: "Kami sudah sampai atas! Tunggu sebentar, aku akan segera menurunkan tali!" Sambil berkata demikian, dia mulai menurunkan gulungan tali yang dipegangnya.
Hanya ketika tali hampir habis, suara dari bawah memberitahu bahwa tali sudah menyentuh dasar.
Si Bekas Luka menggelengkan kepala pasrah melihat sisa tali yang tidak banyak di tangannya. Perkiraannya sebelumnya ternyata tepat - harus ada yang memegang tali untuk membantu orang bawah memanjat.
Meskipun kedalaman jurang ini hanya sekitar dua puluh hingga tiga puluh meter, yang kukhawatirkan adalah Bai Ruotong. Aku tidak yakin apakah gadis lemah itu bisa memanjat sendiri.
"Suruh gadis kecil itu yang pertama. Aku dan Shisan akan menariknya." Si Bekas Luka juga mempertimbangkan kondisi Bai Ruotong, berteriak ke bawah.
Suara persiapan terdengar dari bawah. Aku dan Si Bekas Luka mulai menarik Bai Ruotong perlahan-lahan.
Meskipun Bai Ruotong tidak berat, tenaga kami sudah terkuras habis saat memanjat tadi. Meski sudah sedikit pulih, tetap saja sangat melelahkan.
Setelah dengan susah payah menggigit gigi menaikkan Bai Ruotong, kami menurunkan tali kembali. Aku dan Si Bekas Luka mengunci posisi tali dengan tubuh kami, lalu menyuruh Zhao Man memanjat sendiri mengikuti tali.
Setelah Zhao Man naik, giliran Chen Yuluo. Semakin banyak orang yang naik, semakin banyak yang membantu menarik tali. Aku dan Si Bekas Luka pun semakin ringan. Ketika Lao Liu akhirnya berhasil naik, kami semua lega—akhirnya bisa lolos dari jurang maut itu.
Setelah semua naik, Si Bekas Luka dan aku duduk di tanah beristirahat. Zhao Man dan Bai Ruotong sedang membereskan tas punggung yang basah kuyup.
Chen Yuluo hanya duduk di samping, menundukkan kepala tanpa bicara. Lao Liu bahkan seperti terong kena embun beku, sama sekali kehilangan semangat.
"Sha sha sha..." Persis di saat itu, ruang makam yang tenang tiba-tiba diguncang suara aneh beruntun. Sepertinya ada sesuatu yang mendekat. Kami semua langsung bangkit dan menoleh ke arah sumber suara.
Saat mataku mengikuti lampu sorot di atas kepala Si Bekas Luka dan melihat jelas apa yang datang, seluruh tubuhku serasa membeku. Otakku langsung meledak!
Zhao Man yang paling cepat bereaksi langsung mengenakan tas punggungnya dan berteriak ke arah kami: "Apa kalian masih bengong?! Cepat lari!!"
