"Rushuang, Rushuang..." Baru sekarang aku tersadar. Karena panik tadi, tanpa sengaja aku menyebut panggilan yang selama sepuluh tahun ini hanya ada dalam hatiku - memanggilnya "Istri" langsung di hadapannya.
"Mungkin Kakak Rushuang sedang malu ya?" Bai Ruotong menatapku bertanya.
"M... Mungkin saja." Aku buru-buru menyimpan Giok dan menggantungkannya di leher.
"San Ge, kalau begitu... aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku mau tidur dulu." Bai Ruotong berlari tergesa-gesa menuju pondok kayu.
Melihat sosok Bai Ruotong yang semakin menjauh, aku duduk di tanah tanpa memanggil An Rushuang lagi. Karena aku tahu, kali ini pasti sama seperti terakhir kali setelah menyerap jamur mayat, bahkan di malam hari pun dia tak bisa lama berada di luar Giok.
Begitulah, aku duduk sendirian di halaman sampai angin dingin mulai berhembus kencang. Aku bersin, merasa agak kedinginan, lalu berjalan masuk ke dalam rumah untuk tidur.
Begitu kaki menginjak ruangan, saat aku hendak berbaring tidur, pandanganku tanpa sengaja menyapu tubuh Master Lu yang kubaringkan di samping. Tiba-tiba kulihat lengannya seperti bergerak sedikit.
Melihat ini, detak jantungku langsung berdegup kencang penuh harap. Jangan-jangan Master Lu belum mati?!
Dengan pikiran itu, aku segera berlari ke arah Master Lu. Tapi tepat saat aku mendekatinya, seekor tikus besar keabu-abuan menjerit "Creek!" lalu kabur dari bawah lengan Master Lu, melesat ke sudut dinding dan masuk lubang.
Pemandangan ini membuat hatiku langsung berdesir kencang!!
Gerakan lengan Master Lu tadi, jangan-jangan cuma ulah tikus terkutuk itu?
Menarik napas dalam, aku menyatukan telapak tangan berdoa untuk Master Lu. Kemudian mendekat dan mengulurkan tangan menguji napasnya - Tak ada!
Lalu kucoba lagi mengecek detak jantungnya - Masih tak terasa...
Hati ini pun langsung membeku seketika.
Rupanya aku terlalu berkhayal. Manusia mati, mana mungkin hidup kembali?
Menghela napas, melirik Master Lu. Wajahnya yang kekanak-kanakan masih menyiratkan senyuman terakhir sebelum kepergiannya. Nyawanya terhenti di detik itu. Bagaimanapun, Master Lu pergi tanpa penyesalan, karena di hatinya, Xiangtian sudah rohnya tercerai-berai.
Ini lebih baik, setidaknya dia pergi dengan hati tenang.
Kembali ke tempat tidur, aku merebahkan diri. Kantuk segera menyerang, dan aku langsung tertidur lelap.
Dalam keadaan setengah sadar, seolah aku memasuki ruang kosong penuh kabut putih. Lalu, kudengar seseorang terus memanggilku dari kejauhan. Setelah kusimak, suara itu... seperti suara Kakek dan Nenekku!
Mengikuti sumber suara itu, kulihat rumah kecil Kakek-Nenek. Saat ini mereka sedang duduk di halaman, melambai dan memanggilku.
Melihat itu, aku segera berlari mendekat. Begitu sampai di halaman, Kakek langsung menarik lenganku, "Shisan, kau pulang? Ayo masuk, Nenek sudah menyiapkan meja penuh makanan enak." Kakek menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah.
Nenek mengikuti dari belakang, berpesan, "Shisan, kalau ada waktu sering-seringlah pulang. Sudah berhari-hari kau pergi, kami berdua sangat merindukanmu."
"Baik, aku pasti sering pulang kalau ada waktu," janjiku.
Setelah masuk ke dalam rumah, melihat meja penuh dengan masakan favoritku, setidaknya ada lebih dari sepuluh hidangan, hatiku tersentuh. Tanpa sungkan, aku langsung duduk dan makan.
Nenek terus mengelus kepalaku di samping. Aku heran, ada apa dengan nenek hari ini? Biasanya dia tidak punya kebiasaan mengelus kepalaku, tapi hari ini rasanya tidak berhenti.
Tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Saat baru hendak mulai makan, tiba-tiba angin kencang bertiup tanpa peringatan di luar rumah, langsung menerbangkan pintu dan jendela.
Kakek-Nenek melihat itu, buru-buru keluar rumah. Aku juga berlari mengikuti mereka.
Baru sampai di halaman, kulihat langit di luar mendung gelap. Angin semakin kencang, dan dalam tiupan angin itu terdengar suara tawa aneh yang terus-menerus. Entah mengapa, tawa itu terasa sangat familiar bagiku...
Tak lama angin berhembus, hujan mulai turun. Kemudian segumpal awan hitam besar melayang di udara, berhenti tepat di atas halaman rumah kakek.
Di dalam awan hitam itu, samar-samar kulihat sosok wanita berambut panjang berbaju putih.
"Kakek, lihat itu apa?!" Aku menunjuk ke arah awan hitam di atas halaman bertanya pada kakek.
Kakek mendengar ucapanku, mengangkat kepala lalu berkata dengan wajah panik: "Jangan pedulikan itu, cucu laki-laki! Cepat lari!"
Nenek juga maju, menarik lenganku berteriak: "Shisan, cepat lari!!"
Mendengar perkataan kakek-nenek, aku terus menggelengkan kepala:
"Aku tidak pergi, aku tidak pergi..."
"Hmph! Kalian hari ini tidak ada yang bisa lolos!!" Suara yang familiar itu terdengar dari gumpalan awan hitam. Saat mendengarnya, tubuhku seperti tersambar petir, langsung membeku di tempat!!
Karena, suara itu bukan orang lain, melainkan istri hantuku, An Rushuang!!!
Dia... Kenapa dia datang ke sini?! Apa maksud perkataannya "Hmph! Kalian hari ini tidak ada yang bisa lolos!!" tadi?!
Kuhela napas panjang, menatap ke arah awan hitam itu dan bertanya: "An Rushuang, apakah itu kamu?"
"Zuo Shisan, ini aku. Sekarang aku datang untuk mengambil nyawa seluruh keluargamu. Sudah lama kunantikan hari ini, hahahaha..." An Rushuang tertawa terbahak-bahak.
Mendengar kata-kata An Rushuang, otakku 'berdentum'. Aku benar-benar tidak percaya dengan ucapannya itu, bahkan mengira telingaku salah dengar.
"Aku tidak percaya! Kamu bukan An Rushuang! Dia... dia pasti tidak akan menyakitiku!!" Kugeleng-gelengkan kepala sambil menatap gumpalan awan di langit.
"Hmph! Bodoh! Kau pikir aku benar-benar tertarik padamu?!!" Bersamaan dengan ucapannya, bayangan An Rushuang muncul dari balik awan hitam.
Saat kusadari itu benar-benar An Rushuang, sisa khayalan terakhir dalam hatiku pun runtuh!!
"Kamu sedang bercanda, kan?" Kutatap An Rushuang yang melayang di udara. Hingga detik ini, aku masih tak percaya dengan ucapannya tadi.
“Bercanda?! Aku tak ada waktu untuk bercanda denganmu!! Hari ini aku datang untuk mengambil nyawa seluruh keluargamu!!” Setelah mengucapkan ini, kilau dingin terpancar dari mata An Rushuang. Dari udara, ia tiba-tiba menyergap ke hadapanku, mengulurkan tangannya yang berubah seperti cakar, langsung mengarah ke jantung di dada kiriku.
“Shisan hati-hati!!” Di saat genting ini, nenek yang berdiri di sampingku tiba-tiba mendorongku ke samping.
“Pshh!” Bersamaan dengan itu, tangan kanan An Rushuang menembus dada nenekku. Darah langsung menyembur keluar!
“Shisan, cepat... lari...” Setelah mengucapkan kata terakhir itu, kepala nenek terkulai dan napasnya berhenti.
“NEEEEK!!! An Rushuang, aku akan bertarung sampai mati denganmu!!” Melihat pemandangan ini, darahku serasa membeku. Aku berteriak sambil menangis, lalu menerjang ke arah An Rushuang!
An Rushuang mendengus dingin, menendangku dengan kakinya. Dadaku terasa nyeri, seluruh tubuhku terlempar oleh kekuatan dahsyat.
Terjatuh di tanah, aku mencoba bangun tapi tak ada tenaga sama sekali. Mengangkat kepala, kulihat An Rushuang menarik tangan berlumuran darah dari tubuh nenek. Nenek pun terjatuh ke genangan darah.
“Kau serigala tak tahu balas budi!! Keluarga Zuo telah merawatmu selama sembilan tahun, persembahan tak pernah terputus sehari pun! Kau... kau malah membalas budi dengan kejahatan!! Nyawa tua ini akan kurelakan untuk melawanmu!!” Kakek berteriak sambil berlari ke arah An Rushuang.
“Pshh!!” Suara itu disusul tubuh Kakek yang ditembus tangan An Rushuang. Darah mengucur deras seperti keran dari luka selebar mangkuk.
“Membalas budi dengan kejahatan? Hehe, tanpa aku, keluarga Zuo kalian sudah dimusnahkan siluman ular itu sembilan tahun lalu. Sekarang aku datang mengambil nyawamu, sama sekali tidak berlebihan.” Setelah An Rushuang berkata begitu, kepala Kakek pun terkulai...
“Kakek!!! An Rushuang! Aku Zuo Shisan bersumpah takkan berdamai denganmu!!” Mataku memerah, hampir pingsan. Dada sesak, "Wah!" Aku muntahkan darah segumpal.
“San Ge, San Ge... Bangunlah...” Tiba-tiba kurasukan ada yang mengguncangku. Adegan berdarah di depan mata lenyap, berganti wajah Bai Ruotong yang muncul.
