Saat Bai Ruotong memandikan Master Lu, aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mencoba mengisi daya untuk menghubungi orangtua serta Kakek-Nenek lebih dulu.
Entah charger atau ponselnya yang rusak, setelah diisi lama-lama tetap tidak ada reaksi sama sekali.
Pada saat itu, Bai Ruotong menggendong Master Lu keluar dari kamar mandi. Dengan hati-hati ia meletakkan Master Lu yang masih terbungkus handuk di atas tempat tidur, lalu berkata padaku: "San Ge, Master Lu ini benar-benar aneh. Kalau mayat biasa sudah pasti kaku sekarang, tapi tubuhnya masih seperti orang hidup." Mengingat Bai Ruotong pernah bekerja sebagai pengangkut mayat di rumah duka, ia cukup memahami kondisi jenazah.
"Hmm..." Aku mengangguk tanpa tahu harus berkata apa.
"Oh iya, baju Master Lu juga sudah kubantu cuci. Aku akan menjemurnya, cuaca panas begini pasti semalaman sudah kering." Bai Ruotong kembali masuk ke kamar mandi, mengambil pakaian Master Lu dan mengangkatnya ke jendela untuk diangin-anginkan.
"San Ge, ada lagi yang perlu kubantu?" tanya Bai Ruotong sambil menepuk-nepuk tangannya.
"Sudah tidak ada. Terima kasih banyak ya." Aku mengucapkan terima kasih padanya.
Bai Ruotong tersenyum:
"Kalau tidak ada hal lain, aku pulang dulu." Ia berjalan keluar ruangan sambil menutup pintu dengan lembut.
Setelah Bai Ruotong pergi, awalnya aku ingin duduk bersila di tempat tidur lain untuk berlatih Teknik Pemurnian Diri. Tapi pikiran tak kunjung tenang, akhirnya aku merebahkan diri dan mematikan lampu.
Keesokan harinya sebelum sempat bangun, sudah terdengar suara ketukan di pintu. Cepat-cepat kukenakan baju dan membukakan pintu. Di luar ternyata Bai Ruotong yang berdiri.
“Apa aku bangun terlambat lagi?” Aku bertanya pada Bai Ruotong dengan agak malu.
“Bukan, aku datang untuk membantu Master Lu memakai baju. Apa kamu mau menggantikanku?” Bai Ruotong menatapku dan bertanya.
“Oh iya, iya, aku sampai lupa hal ini.” Sambil berkata begitu, aku buru-buru membuka jalan untuk Bai Ruotong agar bisa masuk.
Saat Bai Ruotong selesai membantu Master Lu berpakaian, aku juga telah merapikan barang-barang bawaan. Setelah menunggu sebentar, Si Bekas Luka memanggil semua orang untuk berkumpul. Aku menggendong Master Lu lalu pergi keluar bersama Bai Ruotong.
Setelah keluar dari penginapan, semua orang naik mobil lagi dan melanjutkan perjalanan ke Shandong.
Setelah hampir dua hari terguncang-guncang di dalam mobil, akhirnya kami tiba kembali di Dongdian. Di pusat kota, Zhao Man dan Chen Yuluo buru-buru kembali ke Tim Investigasi Fenomena Gaib dan pergi lebih dulu. Perkiraanku setelah kembali, mereka akan langsung mengorganisir tim untuk mencari hantu yin Xiangtian yang kabur itu.
Sementara Si Bekas Luka membawa aku, Master Qingfeng, dan Bai Ruotong menuju Kuil Qingzhu.
“Nona Bai, kamu mau ke mana?” Di tengah perjalanan, Si Bekas Luka melirik Bai Ruotong dan bertanya.
“Aku... Aku...” Bai Ruotong terlihat terbata-bata saat ini. Aku tahu, sebenarnya dia sama sekali tidak punya tempat tinggal.
“Turun saja di persimpangan depan itu.” Bai Ruotong menunjuk ke persimpangan jalan di depan dengan tangannya.
“Baik.” Si Bekas Luka menyahut. Mobil pun berhenti di persimpangan yang ditunjuk tadi.
“Bai Ruotong, kalau ada apa-apa langsung telepon aku.” Saat Bai Ruotong turun dari mobil, aku berkata padanya.
“Baik.” Ia mengangguk lalu menutup pintu mobil.
Si Bekas Luka menyetir mobil menuju Kuil Qingzhu dengan cepat.
Sepanjang perjalanan, meski tidak secepat Zhao Man, Si Bekas Luka tetap memacu mobilnya dengan kencang. Tak lama kemudian kami tiba di Kuil Qingzhu. Saat aku dan Master Qingfeng turun, Master Qingfeng menyuruh Si Bekas Luka menunggu di sana sebentar.
Ketika aku menggendong Master Lu kembali ke gerbang kuil Qingzhu, tiba-tiba aku teringat Huzi yang masih di halaman. Segera kutanyakan pada Master Qingfeng: "Shifu, Huzi tidak apa-apa kan?"
Master Qingfeng menggeleng, "Tenang, aku sudah suruh pria gemuk itu datang tiap hari memberi makan tepat waktu."
"Pria gemuk? Yang mana?" Baru saja kutanyakan, langsung teringat pria itu - si penggemar berat yang nekat ingin berguru pada Master Qingfeng.
Kami mendorong gerbang kuil masuk. "Huzi!" Teriakku ke arah halaman. Sosok Huzi langsung berlari keluar dari belakang kuil Tao.
Melihat aku dan Master Qingfeng, anjing itu gembira sekali: terus-menerus menggonggong sambil mengibas-ngibaskan ekornya tak henti-hentinya, hampir saja menjilat kami. Rupanya dia sangat merindukan kami.
"Shifu, taruh Master Lu di mana dulu?" Tanyaku pada Master Qingfeng.
"Taruh di atas ranjang kayu yang ada di ruang belajarku." Master Qingfeng berkata sambil melanjutkan, "Ngomong-ngomong Shisan, aku harus segera pergi ke Aliran Longhu. Kamu tinggal di kuil ini dengan baik, jangan sembarangan keluar." Master Qingfeng masuk ke kamarnya sambil menggendong tas ransel, lalu bergegas keluar dari gerbang kuil.
Sebelum sempat menanyakan arti perkataan Zhenren sebelumnya tentang membantu Master Lu menemukan satu jiwa yang hilang, Master Qingfeng sudah naik ke mobil Si Bekas Luka dan pergi meninggalkan debu.
Melihat Master Qingfeng pergi dengan mobil Si Bekas Luka, aku memutuskan menunggu kepulangannya untuk bertanya. Aku masuk ke ruang belajar dan meletakkan Master Lu di atas ranjang kayu itu, kemudian keluar.
"Sobat Senior, kamu sudah kembali?!" Baru saja aku keluar, suara pria gemuk itu terdengar dari belakangku.
Aku menoleh dan melihat pria gemuk itu memegang dua mantou dan dua cakar ayam. Mantou diremukkan untuk memberi makan Huzi, sementara dia sendiri mengunyah cakar ayam.
"Sobat Gendut, terima kasih sudah merawat Huzi selama beberapa hari ini." Aku menghampiri pria gemuk itu sambil berkata.
Pria gemuk itu buru-buru menjawab, "Sobat Senior, jangan bicara begitu. Kita sesama murid, ngapain berterima kasih? Jangan terlalu formal!"
"Apakah Shifu-ku sudah setuju menerimamu sebagai murid?" Aku bertanya dengan heran, tak menyangka Master Qingfeng benar-benar mau menerimanya sebagai murid.
“Tentu saja, dengan bakat sehebat ini, mana mungkin dia menolak?” Pria gemuk sedang membual padaku ketika cakar ayam setengah dimakan di tangannya tiba-tiba direbut Huzi yang melompat.
“Goblog, anjing sial! Kembalikan cakar ayamku!!” Pria gemuk langsung mengejarnya dengan panik, seolah pistol merebut istrinya.
Aku menggeleng sambil tersenyum, tak melanjutkan urusan ini.
Setelah pria gemuk selesai memberi makan Huzi, dia pulang tergesa-gesa dengan alasan ada urusan keluarga. Kulepas sampai gerbang kuil, tiba-tiba ingin mengunjungi Kakek dan Nenek.
Begitu niat ini muncul, perasaan tidak enak sebelumnya mendadak menyergap. Keinginan untuk menemui Kakek-Nenek semakin membara.
Tak peduli lagi, lebih baik langsung periksa. Kubawa Huzi, kunci gerbang kuil, lalu berlari menuju desa Kakek.
Sesampai di desa, beberapa warga desa yang melihatku malah menjauh sambil berbisik-bisik dari kejauhan.
Sikap mereka membuatku curiga. Biasanya kalau aku datang, pasti mereka menyapa. Ada apa hari ini?
Mengingat mimpi buruk sebelumnya, dadaku sesak. Firasat buruk menyelimuti. Kusecepatnya berlari ke rumah Kakek.
"Saat aku berlari ke depan rumah Kakek, tiba-tiba kulihat pintu gerbang rumahnya terkunci rapat, bahkan ditempeli kertas putih!"
Melihat pemandangan ini, hampir saja aku kolaps. Rasanya seperti ada pisau yang menusuk jantungku.
Tidak mungkin, tidak mungkin... Kakek-Nenek tidak mungkin...
Aku tak berani melanjutkan pikiran ini. Seketika aku memanjat tembok masuk. Halaman sunyi senyap, saat kuangkat kepala, kulihat tirai kematian putih bergantungan di depan rumah! Kain panjang itu berkibar ditiup angin, seolah memberitahuku kabar duka Kakek dan Nenek...
Saat itu juga kepalaku serasa meledak, jantungku hampa bagai dikosongkan. Pandanganku gelap, tubuhku limbung beberapa langkah ke depan, hampir pingsan.
"Cucu keluarga Zuo, kenapa baru pulang sekarang?!" Tiba-tiba suara kakek tua terdengar dari atas tembok sebelah kiri.
Kubalikkan kepala, ternyata Paman Cheng tetangga sebelah. Cepat kusergah, "Paman Cheng, di mana Kakek dan Nenekku?"
"Baru sekarang kamu bertanya? Hari pemakaman mereka pun kamu tidak muncul. Susah payah mereka membesarkanmu sejak kecil, mudah-mudahan?! Tidak pernah kulihat cucu tidak berbakti sepertimu!!!" Suara Paman Cheng semakin meninggi.
Saat mendengar kata-kata Paman Cheng itu, seketika... dadaku terasa terkoyak.
Dunia serasa berputar, langit runtuh menimpa. Tubuhku gemetar tak terkendali, pikiran membeku pada kalimat Paman Cheng: "Hari pemakaman mereka pun kamu tidak muncul".
“Aku... Kakek dan nenekku benar-benar sudah meninggal?”
Tidak percaya, aku tidak percaya... Mereka tidak mungkin mati. Aku berteriak keras, merangkak keluar tembok, lalu berlari secepatnya ke kompleks makam di ujung desa!
Saat tiba di kompleks makam, dari kejauhan kulihat dua gundukan tanah baru yang dipenuhi bunga. Menahan air mata dan memegangi dada, aku perlahan mendekat. Pada nisan di depan dua makam baru itu terukir dua nama:
“Zuo Youming... Li Guizhi...”
Setelah membaca jelas dua nama di nisan itu, hatiku seperti ditusuk belati. Saat itulah aku menyadari betapa tak tertahankannya beban terberat dalam hidup...
