Apa sebenarnya makna lirik dalam nyanyian ini? Apakah An Rushuang sudah mengenaliku sebelumnya? Ataukah orang yang dia tunggu dalam lirik itu adalah orang lain?
Memikirkan ini, perasaan tak berdaya yang luar biasa menyergapku. Baru sekarang aku benar-benar menyadari betapa pentingnya posisi An Rushuang di dalam hatiku.
Jangan berpikir macam-macam! Mungkin ini hanya sekadar lagu biasa.
Aku menegur diriku sendiri, lalu berjalan menuju gubuk itu.
An Rushuang yang duduk di pagar kayu mendengar langkah kakiku, menoleh ke arahku. Saat dia berbalik, kulihat wajah cantiknya yang dipenuhi bekas air mata...
Hati ini tiba-tiba terasa sangat sedih.
"Rushuang, maaf, maaf, aku salah paham..." Aku mendekat, tak tahu harus berkata apa, akhirnya langsung meminta maaf.
Mendengar ucapanku, An Rushuang malah membalikkan badan, mengusap bekas air mata di wajahnya.
"Ini bukan salahmu. Sebenarnya aku sudah curiga ada yang tidak beres padamu, jadi sengaja pura-pura pergi karena marah. Ingin tahu siapa yang membunuh Kakek-Nenekmu. Tapi tak kusangka, pria bertopi bambu itu tiba-tiba muncul menyelamatkanmu." An Rushuang membelakangiku, berbicara pelan.
"Jadi kamu datang ke sini?" Tanyaku sambil menatapnya.
An Rushuang mengangguk, sepertinya tidak terkejut bahwa aku berhasil menemukan tempat ini.
“Kamu tidak takut pria yang memakai topi bambu itu akan BUNUH aku?” Aku menatap An Rushuang sengaja bertanya padanya, ingin meredakan posisi canggung antara kami saat ini.
“Jika ia ingin membunuhmu, pasti tidak akan menyerang untuk menyelamatkanmu.” An Rushuang berkata dengan nada yakin.
“Siapa sebenarnya pria berjubah hitam bertopi bambu itu? Mengapa ia mau begitu membantu kita?” Aku menatap An Rushuang sambil bertanya dengan bingung.
An Rushuang menggelengkan kepala pelan, “Belum tentu. Bisa jadi anggota dari Aliran Longhu-mu, atau mungkin daoshi dari sekte lain.”
“Tapi sebelum pergi, pria itu bilang: 'Mungkin saat kita bertemu lagi, kita sudah jadi musuh.' Aku masih tak paham maksud ucapannya ini.” Tiba-tiba aku teringat perkataan Pria Bertopi itu sebelum pergi, lalu menceritakannya pada An Rushuang agar membantuku menganalisis.
“Setelah mendengar, An Rushuang juga mengerutkan alis indahnya, merenung sejenak, lalu menghela napas pelan dengan pasrah berkata padaku: ‘Sebenarnya, aku juga tidak mengerti ucapan itu. Sebenarnya sampai sekarang aku masih terus berpikir, siapa sebenarnya yang memberikan Kutukan Hantu Yin itu padamu.’”
“Pria bertopi bambu itu memberitahuku bahwa orang yang memberiku Kutukan Hantu Yin adalah seseorang yang paling dekat denganmu.”
“Orang terdekatmu? Lalu siapa itu?” Wajah An Rushuang penuh kebingungan dan keterkejutan setelah mendengar.
“Ah! Sudahlah, kalau tidak bisa memahaminya jangan dipikirkan lagi. Semakin dipikirkan hanya akan semakin membingungkan. Ke depannya aku harus lebih berhati-hati. Waktu akan mengungkap semua kebenaran...” Aku berjalan mendekati An Rushuang sambil bertanya: “Rushuang, apakah kamu sudah memaafkanku?”
An Rushuang mengangkat kepalanya, tatapannya yang aneh tertangkap olehku:
“Aku sama sekali tidak pernah menyalahkanmu.”
Mendengar perkataan An Rushuang, rasa bersalah dan penyesalan dalam hati kembali membuncah...
Aku terdiam. Dalam kesunyian itu, saat aku ragu apakah akan menanyakan makna lirik lagu yang baru saja dinyanyikannya, tiba-tiba An Rushuang bertanya: “Shisan, jawablah dengan jujur. Selain karena kutukan hantu yin, pernahkah dalam hatimu muncul sedikit saja keraguan padaku? Sekecil apapun itu.”
Mendengar pertanyaannya, aku langsung membeku. Aku merenung dalam hati: Pernahkah aku meragukannya?
Jawabannya jelas: Pernah. Setidaknya sebelum hari ini. Aku tahu keraguan ini muncul karena ketidakmatangan jiwaku yang mudah terpengaruh perkataan orang lain.
Tidak ingin membohonginya, aku menjawab jujur:
“Pernah.”
Setelah mendengar ucapanku, ekspresi An Rushuang menunjukkan kesakitan sejenak. Ia menatapku serius dan berkata, "Shisan, aku tidak takut apapun. Bahkan jika rohku tercerai-berai sekalipun. Tapi yang paling kutakuti adalah kamu. Ketika kamu meraguiku. Tahukah kamu, betapa sakitnya dicurigai oleh orang yang paling kamu pedulikan?"
Aku segera menjawab perkataannya, "Rushuang, aku berjanji padamu. Mulai sekarang aku tak akan pernah lagi meraguimu. Sampai kapanpun."
An Rushuang tidak mempersulitku. Mendengar jawabanku, ia menatap mataku dan berbisik lembut, "Ya, aku percaya padamu..."
Perkataannya membuat hatiku sedikit lega. Aku pun bersandar di sebelahnya, duduk bersama di balok kayu itu.
"Shisan, masih sedihkah hatimu?" tanya An Rushuang penuh kekhawatiran.
"Hmm..." Aku mengangguk. Bayangan masa lalu bersama Kakek-Nenek kembali membayangi pikiranku. Rasa sakit yang kukira sudah terkubur tiba-tiba datang bergelombang, semakin dahsyat. Aku tak bisa menghindar, tenggelam dalam kepedihan yang membuatku sesak nafas...
Tiba-tiba pipiku terasa panas. Baru kusadari air mata ini kembali mengalir. Entah sudah berapa kali hari ini aku menangis. Yang kusadari, mulai hari ini ada bagian dalam hatiku yang tak akan pernah lagi diterangi mentari.
An Rushuang yang duduk di sampingku mengulurkan tangan menghapus air mataku, menghibur: "Shisan, jangan menangis lagi. Aku tahu kau sedih, kecewa, tapi hari-hari ke depan harus tetap dijalani. Realita takkan berhenti hanya karena kau kehilangan seseorang. Kalau ingin menangis, menangislah sepuasnya. Tapi setelahnya, kuatkan dirimu, bertahan hidup dengan baik, jangan buat kepergian mereka jadi tak tenang."
Aku langsung memeluk An Rushuang erat-erat sambil terisak: "Rushuang, terima kasih..."
……
"Shisan, apa kau sudah lebih baik? Sekarang aku harus pergi..." kata An Rushuang yang masih dalam pelukanku.
Mendengar itu, dadaku sesak. Buru-buru bertanya: "Pergi? Mau ke mana? Aku tak mau kau meninggalkanku."
An Rushuang tersenyum lembut:
"Bodoh. Maksudku pergi adalah kembali ke dalam Giok ini. Sudah terlalu lama aku keluar."
Baru sadar, kulepaskan pelukan. "Aku hampir lupa hal ini. Cepatlah kembali ke dalam Giok."
"Ngomong-ngomong, kau harus janji padaku: jangan cari Cheng Jiangran untuk balas dendam sekarang. Jika kau pergi, itu sama saja bunuh diri. Cheng Jiangran takkan lama lagi hidupnya," pesan An Rushuang khawatir aku nekat mencari Cheng Jiangran.
"Aku tahu. Orangtuaku... apakah mereka akan baik-baik saja?" Tanyaku cemas mengingat Ayahku dan Ibu.
“Tenang saja, Cheng Jiangran sekarang sendiri saja susah menyelamatkan diri, sudah membunuh orang dengan ilmu hitam, Aliran Longhu dan Tim Investigasi Paranormal pasti akan mencarinya. Kutebak dia sudah lama kabur dari Shandong. Jangan khawatir, jangan pergi kemana-mana, pulang saja ke Kuil Qingzhu, tanya Shifumu Master Qingfeng langkah apa yang harus diambil selanjutnya.” Setelah mengatakan itu, An Rushuang menghilang seketika masuk ke dalam Giok.
Setelah An Rushuang pergi, barulah aku teringat kalau tadi lupa menanyakan arti lagu yang dinyanyikannya di awal. Sudahlah, tunggu saja dia keluar lagi dari Giok nanti baru ditanya.
Sambil berpikir, aku langsung bangkit dari pagar kayu di gubuk, kembali ke kompleks makam melihat Kakek dan Nenek sejenak, lalu bergegas menuju Kuil Qingzhu di malam hari.
Saat tiba di Kuil Qingzhu, hari sudah lewat tengah malam. Langit mulai semburat merah. Pertama kuperiksa Master Lu di ruang kerja Master Qingfeng, menemukannya masih terbaring diam di ranjang kayu. Kembali ke kamarku, kuambil ponsel dan mencoba mengisi dayanya lagi. Tapi sayang, ponsel tetap tidak bereaksi, mungkin memang rusak.
Kulempar ponsel ke samping. Serangan kantuk yang hebat tiba-tiba melanda. Malas mandi, langsung saja kubaringkan diri di kasur dan tertidur lelap.
……
Pagi harinya, saat belum juga bangun, dalam keadaan setengah sadar kurasakan hidungku dicubit seseorang. Seketika itu juga aku terbatuk-batuk bangun dari tempat tidur.
Membuka mata, wajang Master Qingfeng yang dipenuhi janggut kasar langsung menghadang di depanku.
Belum sempat aku berbicara, Master Qingfeng sudah mulai berkata padaku: "Shisan, tubuh Shibomu tiba-tiba mendapat tambahan satu hun. Beritahu aku, sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang menemukan hun untuknya?"
