Setelah kami pergi dari rumahku dengan mobil, langit mulai gelap. Senja di kejauhan merah membara seperti api...
"Senja indah tak terhingga, sayang menjelang malam. Shixiong, tujuan berikutnya kita ke mana?" Setelah keluar dari perumahan, pria gemuk itu menghela napas lalu bertanya padaku.
Aku berpikir sejenak lalu berkata padanya: "Sobat Gendut, tolong antarkan ke toko ponsel dulu. Aku mau ganti charger." Rencananya aku akan mengisi daya ponsel dulu, lalu menelepon Si Bekas Luka untuk mengembalikan dompetnya.
"Oke! Tapi aku jadi supir pribadimu nih," canda pria gemuk itu sambil mengemudikan mobil menuju toko ponsel terdekat.
Saat tiba di toko ponsel, baru kusadari hari ini akhir pekan. Banyak pelajar yang sedang membeli ponsel di sini.
Setelah mencari sebuah konter, aku bertanya tentang charger ponsel cukup lama. Tak satu pun pramuniaga yang meladeniku, malah pelanggan yang datang belakangan langsung dilayani. Melihatku terus diabaikan, pria gemuk di belakangku memasukkan tangan ke saku sambil batuk-batuk kecil, lalu mendekat dengan gaya sok keren: "Hei, Mbak, tolong keluarkan iPhone 6-nya untuk saya lihat."
Begitu pria gemuk itu bicara, langsung ada pramuniaga yang mendekat. Dia mengeluarkan iPhone 6 dari etalase dan menyerahkannya ke pria gemuk.
Setelah memegang ponsel itu sebentar, pria gemuk bertanya: "Mbak, bisa tolong ambilkan charger ponsel juga? Saya mau lihat."
Pria gemuk itu menerima charger dari pramuniaga lalu mengembalikan ponselnya:
"Bungkus saja chargernya. Saya cuma mau beli charger..."
Mendengar ini, wajah pramuniaga itu langsung berubah. Meski tetap membungkus charger, dia bergumam pelan dengan wajah masam:
"Hantu miskin! Buang-buang waktu saja."
Pria gemuk itu tak ambil pusing. Setelah menerima invoice, dia sengaja memancing lagi: "Mbak, kalau beli charger di sini dapat pulsa gak? Kalau nggak, hadiahin minyak kedelai juga boleh..."
"Pergi sana!..." Pramuniaga itu sudah dibuat setengah mati oleh ulahnya...
Setelah keluar dari toko ponsel membawa charger, ternyata di luar sudah gelap gulita dan lampu jalan mulai menyala. Sambil berjalan, aku berkata pada pria gemuk di sebelah, "Sobat Gendut, kamu keterlaluan! Nona kecil tadi hampir pingsan karena ulahmu."
Pria gemuk itu menyeringai:
"Aku tidak suka orang seperti itu. Pelanggan adalah raja, baik kita beli ponsel atau charger, mereka harus perlakukan sama. Ini namanya diskriminasi! Kalau bukan mereka yang kubikin kesal, siapa lagi?" Katanya dengan wajah sok benar.
"Sudahlah, Sobat. Kita harus cari tempat untuk mengecas dulu. Aku masih belum tahu ini masalah charger atau ponselnya," kataku padanya.
Pria gemuk itu langsung menunjuk ke depan, "Shixiong, di depan ada kafe dengan WiFi dan colokan listrik. Ayo kita kesana. Eh, jangan panggil aku Sobat Gendut, panggil saja 'si gemuk'."
Dia langsung mengajakku berjalan menuju kafe tersebut.
Sebenarnya panggilan kami memang aneh. Karena usia, aku memanggilnya 'Sobat Gendut', tapi menurut senioritas dan waktu jadi murid, dia harus memanggilku 'shixiong'. Tapi kalau dia mau dipanggil 'si gemuk', ya sudah...
"Setelah masuk ke kafe, aku dan pria gemuk duduk di sudut dekat jendela. Kami memesan kopi masing-masing. Lalu aku mencolokkan ponsel ke charger. Benar saja, tak lama kemudian layar ponsel menyala. Ternyata ponselnya tidak bermasalah, yang rusak memang chargernya."
"Untung ponsel ini tidak apa-apa. Kalau tidak, iPhone 6 yang baru dibelikan wanita muda itu untukku dan Leizi rusak sebelum sempat dipakai, pasti aku akan sangat menyesal."
"Selamat siang, Tuan. Ini kopi pesanan Anda. Apakah ada yang lain yang bisa saya layani?" Seorang pelayan wanita meletakkan kopi di depan kami sambil tersenyum ramah.
"Terima kasih, tidak perlu," jawabku sopan.
"Baik, semoga harimu menyenangkan."
"Lihat... lihat pelayanan mereka! Senyum manisnya, suara merdunya. Mana mungkin pelanggan tidak senang? Pemilik toko ponsel itu memang kurang kesadaran. Bisnis sekarang kalau pelayanannya buruk, cepat atau lambat pasti bangkrut." Pria gemuk itu mulai berkomentar lagi sambil menyeruput kopi.
Aku mulai curiga berat istrinya bukan kabur dengan pria tampan, delapan puluh persen kemungkinan kabur karena kebanyakan omongannya...
Setelah beberapa saat diisi daya, kubuka ponsel itu. Begitu menyala, ya ampun! Dering SMS terus bermunculan, setidaknya ada puluhan pesan.
Pria gemuk di sebelahku terkekeh, "Bos Zuo yang terhormat, bisnismu bernilai puluhan juta? Sibuk sekali urusannya?"
Aku melirik pria gemuk itu, tak menghiraukannya. Aku mulai membaca SMS satu per satu. Di antaranya, puluhan SMS dari orangtuaku dan Leizi yang meneleponku. Pasti mereka ingin memberitahu kabar kakek-nenekku yang meninggal. Setelah menyaring pesan-pesanan itu, ada dua panggilan dari Master Qingfeng yang juga kusaring.
Gulir ke bawah lagi, kulihat Fang Ziyan telah meneleponku beberapa kali dan mengirim dua pesan.
Kubuka pesan pertama: "Zuo Shisan, sedang apa kamu?"
Pesan kedua: "Zuo Shisan, kenapa kamu tidak mengangkat teleponku? Aku merindukanmu..."
Saat membaca pesan kedua, seluruh tubuhku langsung mati rasa. Fang Ziyan ini sedang main drama apa lagi?
Setelah berpikir lama, kuputuskan untuk tidak membalas. Lebih baik menghindari masalah. Kuhapus pesan Fang Ziyan lalu mencari nomor Si Bekas Luka di ponsel dan meneleponnya.
Tak lama berdering, Si Bekas Luka mengangkat:
"Wei, adik Shisan! Kami sudah dengar kabar kakek-nenekmu. Tenang, dasar! Aku pasti takkan biarkan si bajingan itu kabur!! Kamu--"
"Bukan itu maksudku, Kakak Yue. Aku menelepon bukan karena urusan kakek-nenekku," potongku.
"Lalu?" tanya Si Bekas Luka.
"Dompet yang Kakak lempar ke aku di makam kuno dulu, masih ingat?" tanyaku lewat telepon.
"Oh, oh! Sekarang aku ingat," jawab Si Bekas Luka.
"Kakak ada waktu untuk mengambilnya sekarang?" tanyaku.
“Kayanya nggak bisa. Aku lagi sibuk beberapa waktu ke depan, dompetnya kamu simpan dulu aja. Habis kamu masuk kuliah nanti, kalo ada waktu aku ke kampusmu cari kamu.” Si Bekas Luka bicara lewat telepon. Dari suaranya jelas aku sedang di dalam mobil yang entah mau ke mana.
“Oke, gitu aja dulu.” Aku langsung nutup telepon.
Setelah meletakkan ponsel, pria gemuk di depanku kali ini tidak seperti biasanya tidak mengambil inisiatif untuk berbicara. Pas aku heran, waktu angkat kepala kok malah ketemu matanya lagi melototin ruang VIP di belakangku lewat celah pintu.
Penasaran, aku ikut arah pandangannya. Dari celah ruang VIP itu kulihat sepasang pria-wanita lagi berbuat mesum. Jijik banget ngeliatnya. Dasar pasangan nggak tau malu, mau ngapa-ngapaan kok nggak cari tempat lain. Kalo gitu mah mending next time langsung di jalanan aja sekalian. Apa bedanya dengan hewan?
Balik badan, si gemuk malah masih asyik menonton. Dikit lagi kepala gembrotnya mau nyelonong masuk.
“Dik, si serigala berbulu domba. Udah puas liatnya?”
Pria gemuk itu malah sok serius bilang, “Bukan gitu shixiong. Kamu nggak ngerasa wanita di ruang VIP itu aneh?”
“Aneh? Gimana maksudnya?” Aku bingung menanggapi omongannya.
Dia mengedipkan mata memberi kode, lalu berbisik, “Coba shixiong perhatiin baik-baik. Kok aku ngerasa sepatu yang dipakai cewek itu bentuknya aneh banget ya?!”
Mendengar perkataan pria gemuk itu, aku segera menoleh dan melihat. Setelah diamati, di kaki wanita itu terdapat sepasang sepatu kain merah tua yang dihiasi sulaman phoenix. Di bagian depan sepatu terdapat sulaman bunga teratai dengan tangga menuju surga di bawahnya!
Begitu melihat ini, aku langsung terkejut!
Banyak orang kota mungkin tidak tahu makna sepatu ini, tapi aku langsung mengenalinya - sepatu kain yang dipakai wanita itu jelas merupakan sepatu kematian untuk jenazah!!
