Malam yang sunyi, pria gemuk mengemudi membawaku melaju kencang. Tak lama kami tiba di kota Dongdian, berhenti di lampu merah sebuah persimpangan.
"Shixiong, teknik mengemudiku lumayan kan? Kecepatan ini hampir menyamai _Fast & Furious_," ujar pria gemuk sambil membuka jendela dan menyalakan rokok.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. _Fast & Furious_? Kurasa jika dia pernah naik mobil Zhao Man, setelah turun pasti jalannya masih terasa mengambang...
Setelah lampu hijau, pria gemuk mengarahkan mobil ke penginapan terdekat.
"Ngomong-ngomong shixiong, bagaimana kalau kau menginap di rumahku saja? Lagipula rumahku kosong dan jaraknya dekat," katanya.
Aku mengangguk setelah berpikir: "Baiklah, ke rumahmu saja." Aku memang tidak terlalu suka menginap di penginapan.
"Oke!" Pria gemuk membelokkan mobil ke arah rumahnya.
Setelah sekitar sepuluh menit berkendara, kami memasuki kompleks perumahan Beihai Jiayuan dan parkir di bawah sebuah gedung.
Setelah turun, dia membawaku langsung ke lantai dua. Begitu pintu terbuka, baru kusadari kekacauan di rumahnya melampaui sekadar kata "berantakan".
Lantai yang tak jelas kapan terakhir disapu, meja ruang tamu dan sofa dipenuhi barang-barang tak beraturan. Puluhan botol minuman keras menumpuk di sudut ruangan.
"Aku bilang pria gemuk, kok aku merasa istrimu kabur dengan orang lain itu bukan salah dia ya?" Aku memandangi ruangan ini sambil bertanya pada si pria gemuk.
Pria gemuk menggaruk kepalanya, menendang koran di lantai ke samping, lalu berkata dengan agak malu padaku: "Aku... ini kan karena tertekan sama dia, jadi sangat tertekan, sangat tak berdaya, makanya kamar juga malas dibersihin..."
Mendengar penjelasan lemah si pria gemuk, aku mendekat dan menatapnya: "Sudah, kamu ambilkan pel dan sapu, aku bantu bersihin rumah ini dulu. Kalau begini terus aku juga nggak bisa tidur."
"Oke, aku ambil." Pria gemuk langsung berlari ke kamar mandi.
Aku mencari sofa yang masih bisa diduduki, lalu duduk.
Pas baru duduk, ponselku berdering. Kuambil dan lihat - itu telepon dari Leizi.
"Halo, Leizi." Aku mengangkat telepon.
"San Ge, kamu... kemana saja selama ini?" Suara Leizi di telepon terdengar panik.
Aku menghela nafas, bingung harus jelasin gimana, akhirnya bilang: "Pernah ke Guizhou."
"Kakek dan nenekmu sudah meninggal, kamu tahu kan?" Leizi tidak banyak tanya, hanya berbisik memberitahu kabar meninggalnya kakek-nenekku.
"Hmm..." Aku mengiyakan.
"Kamu baik-baik saja?" Leizi bertanya khawatir.
"Nggak, nggak apa-apa..." Aku berusaha menahan diri untuk tidak memikirkan masa lalu, tidak memikirkan kakek dan nenekku.
“Kalau begitu, tidak apa-apa. San Ge, kamu juga jangan terlalu sedih. Oh ya, aku dengar penduduk desa bilang kakek dan nenekmu meninggal tiba-tiba, sepertinya karena menyinggung sesuatu yang tidak bersih, sebenarnya bagaimana ceritanya?” tanya Leizi.
Aku merenung sejenak, akhirnya memutuskan untuk tidak memberitahu Leizi tentang pamannya Cheng Jiangran yang membunuh kakek dan nenekku. Karena hal ini hanya akan menambah tekanan mental baginya tanpa manfaat. Aku menarik napas dalam-dalam lalu berkata melalui telepon: "Guruku akan membantuku menyelidiki ini. Oh ya Leizi, jangan lagi menerima permintaan bantuan sembarangan dari orang. Ada harta yang tidak boleh kita kejar." Kuperingatkan Leizi, khawatir dia akan mengulangi insiden rumah duka.
"San Ge, tenang saja. Sekarang kalau ada nomor tak dikenal yang menelepon, aku tidak angkat." Leizi berjanji dengan tegas padaku.
"Bagus. Masih ada hal lain?" tanyaku.
"Oh ya, kita sebentar lagi masuk sekolah." kata Leizi padaku.
Mendengar perkataannya, aku buru-buru melihat waktu di ponsel. Hari ini sudah 27 Agustus. Tinggal tiga hari lagi masuk sekolah. Memang harus mulai mempersiapkan diri.
"Benar, tinggal tiga hari. Waktu berlalu begitu cepat." Kukembalikan ponsel ke telinga sambil berbicara pada Leizi.
"Hah! Hari-hari indah akhirnya akan berakhir. Jurang yang tak berujung akan segera tiba." Leizi menghela napas di ujung telepon.
Mendengar keluhannya, aku malah bingung harus berkata apa. Sebenarnya liburan musim panas ini bagiku tak berbeda dengan jurang.
Hampir dua bulan liburan ini, berapa kali aku menghadapi hidup dan mati? Mungkin sendiri sudah tidak ingat...
Menutup telepon, pria gemuk itu sudah meletakkan sapu dan pel di sampingku.
"Shixiong, aku akan ke toko kelontong di bawah untuk membeli pel baru, yang ini sudah tidak bagus." Pria gemuk itu langsung turun lewat tangga sambil berkata.
Aku mengambil sapu dan bersiap membersihkan, tapi tiba-tiba ponselku berdering lagi, menerima sebuah SMS.
Meletakkan sapu, kuambil ponsel dan melihat SMS itu dikirim oleh Bai Ruotong.
Setelah membukanya, isi pesannya: "San Ge, rumahku belum sempat disewa, harta langsung hilang. Kamu sekarang di mana?"
Melihat SMS dari Bai Ruotong ini, aku segera meneleponnya kembali.
Berdering beberapa kali, Bai Ruotong mengangkat.
"Halo, San Ge..."
"Hartamu hilang?" tanyaku.
"Hmm..." Bai Ruotong mengiyakan.
"Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi.
"Sebentar... Aku di seberang perumahan Taman Beihai." jawab Bai Ruotong.
Kebetulan sekali?
Aku segera berkata melalui telepon: "Tunggu di gerbang utama Perumahan Beihai, aku segera turun." Setelah mengatakannya, aku menutup telepon dan bergegas ke gerbang perumahan.
Baru sampai dekat gerbang, kulihat seorang gadis berdiri di sebelah pos penjaga. Setelah mendekat, ternyata Bai Ruotong.
Melihat kedatanganku, dia menyapaku: "San Ge, kamu datang?"
"Iya. Kalau hartamu hilang, bagaimana dengan biaya sekolah yang kuberikan?" Kutanya sambil mendekatinya.
Bai Ruotong menggelengkan kepalanya dengan lembut dan berkata padaku, "Uang itu semuanya sudah kusimpan di kartu ATM. Aku hanya membawa sekitar seribu yuan untuk menyewa rumah. Tapi belum sempat menemukan rumah yang cocok, dompetku sudah hilang."
Mendengar perkataannya, hatiku pun lega. Yang penting uang sekolah tidak hilang. Segera kukeluarkan uang hasil "pemerasan" dari pria mesum tadi, kuambil dua ribu yuan dan kuberikan padanya.
"Kamu pakai dulu ini, cari tempat menginap."
Bai Ruotong tidak menerima uang itu. Dengan suara pelan dia berkata, "Aku... KTP-ku juga ikut hilang di dompet itu..."
Seketika aku tersadar. Tanpa KTP, meski diberi uang dia tetap tidak bisa menginap di penginapan. Di area kota ini tidak ada penginapan kecil milik pribadi. Lagipula, KTP-ku juga tidak kubawa. Ini memang merepotkan.
"Bagaimana kalau ikut ke lantai atas dulu? Nanti kuminta temanku membantu memesan kamar di penginapan sekitar untukmu malam ini." Aku teringat si pria gemuk, berencana memintanya meminjamkan KTP-nya untuk Bai Ruotong.
Bai Ruotong mengangguk, mengikutiku menuju lantai atas tempat pria gemuk itu.
Begitu masuk, pria gemuk yang baru membeli pel terperanjat melihatku membawa Bai Ruotong. Bai Ruotong juga tertegun melihat kondisi kamar pria gemuk itu...
"Saudara seperguruan, kau... kalian benar-benar jadi?" Pria gemuk itu menatapku dengan ekspresi penuh kekaguman. Dia tentu mengenal Bai Ruotong. Saat aku dan Master Qingfeng menghadapi nenek tukang santet itu dulu, dia dan Bai Ruotong sama-sama hadir.
"Jangan asal ngomong. Dompetnya hilang. Punya KTP tidak? Bantu dia buka kamar." Tanyaku pada pria gemuk itu.
Mendengar ucapanku, entah sengaja atau tidak, pria gemuk itu menepuk pahanya sendiri: "Saudara, KTPku baru hilang bulan lalu. Aku juga tidak buru-buru, proses penggantian di kantor polisi butuh dua bulan."
Aku menatapnya tajam: "Bicara jujur!"
"Demi langit dan bumi, saudara! Masa aku bohong? Apa aku ini orang kayak gitu?" Ekspresi pria gemuk itu lebih menderita daripada Dou E yang legenda.
Aku menghela napas, menoleh ke Bai Ruotong: "Bagaimana kalau kau menginap di sini saja?"
Bai Ruotong tidak bicara, hanya mengangguk.
"Pria gemuk, ada kasur cadangan tidak?" Tanyaku padanya.
"Ada, aku... aku bersihkan dulu." Dia berlari ke sebuah kamar dan mulai membereskannya.
Bai Ruotong diam-diam mengambil sapu dan mulai membersihkan ruangan.
Melihat ini, aku sebagai lelaki juga tak bisa diam. Segera kubantu.
Sekitar lebih dari setengah jam kemudian, aku, Bai Ruotong dan si pria gemuk berhasil merapikan "sarang babi"-nya ini.
Setelah menuangkan air untukku dan Bai Ruotong, pria gemuk itu duduk di sofa sambil berkata dengan nada bercanda: "Kukira, Adik Bai ini memang ahli merapikan. Baru sebentar saja stasiun pengumpulan sampahku ini sudah berubah menjadi hotel bintang lima."
Bai Ruotong tersenyum dan berkata pada pria gemuk: "Ngomong-ngomong Sobat Gendut, aku mau pinjam komputermu. Besok aku harus buru-buru pulang kampung untuk mengurus ulang KTP, mau cek jadwal kereta besok jam berapa."
"Baik." Pria gemuk setuju lalu masuk ke rumah membukakan komputer untuk Bai Ruotong.
Aku pun ikut masuk. Saat hendak mendekat dan bertanya apakah kartu ATM-nya hilang, tiba-tiba kulihat Bai Ruotong sedang menatap folder di desktop berjudul "Suara Alam, Jangan Pernah Dibuka".
Rasa penasaran alami gadis ini langsung muncul. Bai Ruotong menggerakkan mouse dan membuka folder bernama "Suara Alam, Jangan Dibuka" dengan dua kali ketukan. N file video berjudul "Perang Ao Tu Man" muncul di dalamnya. Melihat ini, aku langsung punya firasat buruk dan berusaha menghentikan Bai Ruotong.
Tapi sebelum sempat berbicara, Bai Ruotong sudah membuka salah satu video. Gambar di layar dan suara dari speaker membuat pipinya memerah, membeku di tempat dengan wajah kebingungan.
Aku juga membatu di tempat. Apa sih pria gendut itu tidak punya akal? Takut orang tidak tahu dia suka nonton film dewasa? Kok bisa menyimpan barang-barang begini di folder desktop...
