Mendengar perkataan pria gemuk itu, aku segera meraba leherku. Sensasi menyengat yang ekstrem langsung menyebar, seolah jari-jariku bukan lagi daging tapi jarum baja yang menusuk tulang saat bersentuhan.
Bai Ruotong mendekat dan melihat leherku, lalu berteriak kaget: “Hantu mencekik manusia!”
Teriakan Bai Ruotong ini membuatku panik sekaligus penasaran. Bagaimana mungkin mahasiswi yang selalu kupandang tak tahu apa-apa ini bisa mengenali fenomena hantu mencekik manusia? Perubahannya yang terlalu drastis semakin menguatkan kecurigaanku bahwa ada yang tak beres dengannya.
Tapi yang masih mengganjal di benakku adalah: Kapan tepatnya hantu kecil ini mulai menempel di punggungku?
Aku menunduk dan melirik ke bahu. Di kedua sisi leher, terdapat cap tangan hitam seukuran anak kecil 2-3 tahun, seperti tato berwarna sangat gelap. Aku bisa merasakan dengan jelas adanya hantu kecil di punggungku yang terus menatapku.
Tapi sebelumnya, mengapa aku sama sekali tidak merasakannya? Bahkan setitik hawa dingin menusuk pun tak kusadari?
Mungkinkah hantu kecil di tubuhku ini adalah arwah bayi mati yang keluar dari guci tadi?
Tapi sekarang bukan saatnya bertanya, melainkan bertindak. Mungkin di Desa Bai tidak hanya ada satu bayi mati yang tersembunyi dalam guci. Pikiran ini membuatku segera berkata pada pria gemuk itu, "Cepat lepas bajumu!"
Tanpa ragu, pria gemuk itu melepas seluruh baju atasnya. Aku menyipitkan mata - di dadanya terdapat dua cap tangan hitam berukuran mirip milikku. Bedanya, cap tangan di tubuhku ada di sekitar leher, sedangkan miliknya di dada.
Pria gemuk itu juga melihat cap tangan hitam itu. Wajahnya pucat ketakutan, "Shixiong, aku juga kena. Cap tangan hitam ini... apa artinya?"
Aku diam. Tatapanku tertuju pada dua cap tangan di dada pria gemuk itu. Perlahan tapi pasti, kedua cap tangan itu mulai merayap naik ke arah lehernya!
Artinya, cap tangan hitam di tubuhku dan pria gemuk ini akan secara perlahan mencekik leher kami seiring waktu. Jika tidak dicari solusi, akhir kami berdua adalah mati dicekir oleh cap tangan hantu itu!!
Memikirkan ini, rasa dingin menyelimuti hatiku. Aku segera menoleh ke arah Bai Ruotong.
Melihatku menatapnya, Bai Ruotong secara refleks melindungi dadanya dengan kedua tangan. Dengan gugup dia berkata padaku dan pria gemuk: "San Ge, Aku... aku tidak mau melepas baju..."
Karena Bai Ruotong adalah perempuan, aku tak bisa memaksanya melepas baju. Akhirnya kuusulkan: "Begini saja, singkapkan bagian bahu bajumu untuk kulihat." Sebenarnya aku ingin memastikan apakah dia juga terkena cap tangan hitam seperti kami. Jika ada, berarti kami bertiga berada di perahu yang sama. Jika tidak, kemungkinan besar kedatangannya membawa kami ke Desa Bai hari ini adalah sebuah skenario.
Bai Ruotong ragu sejenak sebelum mengangguk. Dengan wajah memerah dia berkata: "Baiklah, tapi hanya untukmu saja."
Pria gemuk di samping menyeringai:
"Diajak lihat pun aku nggak mau."
Aku mengangguk, mendekat dan mengintip leher bajunya yang disingkap. Kulit Bai Ruotong seputih giok, bersih dan mulus. Mataku menyapu seluruh bagian yang terbuka, bahkan sempat melirik dadanya yang montok. Selain bra putih, tak ada cap tangan hitam di kulitnya yang terbuka.
Melihat ini, sambil menarik kembali pandanganku, hatiku langsung jatuh. Apakah Bai Ruotong benar-benar ingin mencelakai kami dengan membawa aku dan pria gemuk ke sini? Tapi kalau dia ingin mencelakai kami, mengapa tadi dia menyuruh kami lari?
"Mengapa tidak ada cap tangan hitam di tubuhmu?" Aku menatap Bai Ruotong dengan suara dingin.
Bai Ruotong menunduk setelah mendengar pertanyaanku, seakan ragu-ragu. Saat dia menunduk, pandanganku menyapu ke belakang dan tiba-tiba menyadari rumah-rumah genteng putih di sekitar kami telah lenyap! Yang tersisa hanyalah gundukan-gundukan kuburan tua yang dipenuhi rumput liar!!
Saat mengoleskan air mata sapi tadi, perhatian dan pikiranku sepenuhnya terfokus pada cap tangan hitam di tubuh kami bertiga, sampai baru sekarang menyadari perubahan pemandangan sekitar.
Di antara gundukan kuburan itu, api hantu kehijauan bergelantungan di sekeliling. Seluruh pemandangan membuatku limbung, butuh beberapa detik sebelum akhirnya kuraih kerah baju Bai Ruotong sambil berteriak: "Bai Ruotong! Dasar kau, cepat katakan ini tempat kuburan apa?!"
"San Ge... Aku... Aku minta maaf. Kalian cepat lari! Desa Keluarga Bai itu tidak ada! Semua di sini bukan manusia! Aku yang mencelakakan kalian, maafkan..." Setelah mendengarnya, kugigit gigi sambil menatapnya: "Lalu kau sebenarnya apa?!"
Bai Ruotong berbisik, menggigit bibirnya, lalu mengucapkan satu kata padaku:
"Siluman..."
Mendengar perkataannya ini, aku mundur beberapa langkah, tetap tidak percaya bahwa gadis pemalu, keras kepala namun mandiri yang kulihat selama ini ternyata adalah siluman yang sudah mencapai pencerahan!!
Sedangkan aku, sejak awal sampai akhir, telah ditipunya dengan sempurna. Sekarang kusadari, sejak pertemuan pertama itu sudah merupakan jebakan. Hanya karena kurang pengalaman, dengan mudahnya aku mempercayai orang lain.
Tapi, kalau Bai Ruotong benar-benar siluman, mengapa meski sudah mengolesi air mata sapi, aku tetap tak bisa melihat wujud asli dan energi Yin di tubuhnya?
Pria gemuk itu mendekat dan bertanya, "Shixiong, sebenarnya kau melihat apa? Kuburan macam apa? Kok aku tidak melihat?"
Aku memberikan air mata sapi dan daun Pohon Liǔ ke pria gemuk itu. Setelah mengoleskannya, dia melihat sekeliling dan hampir terjatuh ketakutan, "Shixiong, ini... ini tempat apa?!"
"San Ge, kalian cepat pergi! Nanti benar-benar terlambat." Bai Ruotong menengadah melihat langit yang sudah gelap, mendesak kami dengan panik.
"Pria gemuk, ayo pergi!!" Aku tak lagi ragu. Orang bijak tak melawan saat kondisi tak menguntungkan. Aku segera mengajaknya pergi.
Tapi Bai Ruotong tiba-tiba menggenggam tanganku:
"Bawa ini. Setelah kabur, ini bisa menghilangkan tanda tangan hantu di tubuh kalian." Dia mengeluarkan mutiara biru transparan dari sakunya dan menaruhnya di telapak tanganku.
“Kamu melepaskan kami, lalu bagaimana denganmu?” Aku teringat hal ini tiba-tiba, menatap Bai Ruotong bertanya.
Bai Ruotong menggelengkan kepala:
“Tidak mungkin, Nenek Desa tidak akan berbuat apa-apa padaku, kalian cepat lari!!”
“Hmph! Ruotong, bagaimana Sang Dewa memperlakukanmu? Kau malah mengkhianatiku demi dua pria busuk ini?!!” Dari belakangku, tiba-tiba datang hembusan angin dingin, suara menusuk ini menyertai angin mistis tersebut.
Mendengar suara ini, aku tahu Nenek Desa itu telah datang!!
Sambil menoleh, aku mengeluarkan Kotak Sinabar dari tas ransel, sekaligus melemparkan sekantong ketan ke pria gemuk untuk berjaga-jaga.
“Nenek, aku tahu Nenek selalu baik padaku, tapi aku benar-benar tak ingin menyakiti orang lagi, sungguh...” Bai Ruotong memohon dengan sedih pada Nenek Desa berkerut itu.
“Tak ingin?! Jangan lupa dirimu apa?! Bagaimana ibumu mati? Kulit luarnya sekarang menempel pada manusia yang mirip sekali denganmu! Manusia tak ada yang baik, membunuh mereka wajar!” Tongkat Nenek Desa menghujam keras ke tanah, langsung menancap dalam di tanah.
Melihat ini, jantungku berdebar-debar. Nenek Desa ini sebenarnya siapa? Tenaga yang dikeluarkannya luar biasa besar.
“Nenek, lepaskan mereka berdua, ya? Asal Nenek lepaskan, ke depannya aku akan menuruti semua perkataanmu...”
“Lepaskan mereka? Apakah kau menyukai anak itu yang punya Yin Yang Yan?! Kalau begitu dia harus mati!!” Nenek desa itu matanya berkilat dingin, memandang ke arahku dengan tatapan penuh kebencian.
Melihat situasi ini tak bisa tidak bertindak, aku segera mengambil inisiatif menyerang. Kuambil kotak sinabar dan berlari ke arah nenek desa itu.
Tapi baru saja kakiku melangkah, leherku tiba-tiba tercekik kuat oleh sepasang tangan tak kasat mata. Cengkihannya begitu keras membuatku sulit bernapas!
Tanpa pikir panjang, segera kubuka kotak sinabar dan menaburkan segenggam bubuk merah itu ke leherku sendiri.
