Giok telah kembali, dendam kakek-nenek pun terbalaskan. Tiba-tiba, rasa lega yang tertahan muncul di hatiku. Aku tak bisa menahan diri untuk berteriak ke langit beberapa kali:
"Kakek! Nenek! Pergilah dengan tenang, aku sudah membalaskan dendam kalian!!" Aku berteriak, menjerit, air mata kembali mengalir. Sejak kecil aku berkali-kali membayangkan bagaimana harus menghadapi kepergian kakek-nenek. Hingga saat benar-benar mengalaminya, baru kusadar aku tak sekuat itu. Seiring waktu, kerinduan padanya semakin menggunung, tapi harus kubungkam dalam-dalam...
Tiba-tiba langit mendung, gerimis halus mulai turun. Kupalingkan kepala ke arah pria gemuk, melihatnya terbaring kaku di tanah tanpa gerakan.
Melihat pria gemuk dalam keadaan seperti ini, hatiku mulai gelisah, takut terjadi sesuatu padanya. Aku segera berlari ke arahnya. Begitu kakiku bergerak, tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan penglihatan berkunang-kunang, hampir terjatuh.
Kehilangan darah terlalu banyak! Aku teringat luka tembak di paha kananku. Ketika menunduk melihat, kaget bukan main. Seluruh paha kananku kini basah oleh darah berwarna merah gelap, genangan darah pun mengalir di lantai. Luka tembak di bagian atas paha masih terus mengucurkan darah.
Kok bisa sampai sekian banyak darah yang keluar? Apakah tadi peluru itu mengenai arteri di paha?! Pikiranku langsung kacau. Tidak bisa, harus segera menghentikan pendarahan!
Cepat-cepat aku melepas baju, menggunakan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks untuk merobek pakaian menjadi potongan-potongan kain. Kencangkan ikatan di atas luka dan pangkal paha bagian tengah bawah. Darah yang terus mengalir perlahan berkurang, untuk sementara berhasil dihentikan.
Dengan sisa kain, aku membalut luka secara sederhana, lalu berjalan pincang pelan-pelan mendekati pria gemuk itu.
"Pria gemuk, pria gemuk, pria gemuk..." Sampai di sampingnya, aku mengguncang bahunya berulang kali memanggil. Tapi pria gemuk sama sekali tidak bereaksi.
Aku langsung punya firasat buruk, jangan-jangan si sialan Cheng Jiangran sebelum mati sempat menyihir si gemuk pakai Ilmu Tumit? Mikir begitu, aku langsung angkat badan si gemuk dari lantai, cek detak jantung dan napasnya. Syukurlah masih ada, tarikan napasnya juga stabil.
"Gemuk, Gemuk?..." Aku panggil sambil tepuk-tepuk pipinya. Lihat masih belum sadar, aku tekan titik renzhong di bawah hidungnya dengan kencang.
"Huh, huh!~..." Si gemuk batuk beberapa kali. Dia bangkit sendiri dari lantai, kepala gede nya nyantul ke daguku. Dengan berat badan segitu, aku langsung terdorong sampai duduk di lantai.
"Goblog! Gemuk, kepala lu dari baja tank apa?!" Aku teriak ke si gemuk yang udah sadar. Mulutku terasa asin anyir, kayaknya kulit dalam bibir sobek.
Si gemuk duduk di lantai, melongo sebentar baru lihat sekeliling. Dengan panik dia nanya, "Shixiong, dua bajingan tadi mana?!!"
"Mati, di sana." Aku tunjuk ke arah mayat Cheng Jiangran. Tapi pas mataku melirik ke sana, tiba-tiba kulihat ada gumpalan asap hitam muncul dari tubuhnya, lalu lenyap seketika.
Melihat ini, hatiku berdebar kencang. Aku segera bangkit dan berjalan ke arah mayat Cheng Jiangran. Setelah mendekat, kuperhatikan dengan seksama namun tak menemukan asap hitam sama sekali. Bagian otak yang rusak Cheng Jiangran sudah hancur seperti semangka busuk, benar-benar mati sempurna.
Apakah tadi mataku yang berkunang-kunang?
"Shixiong, apa...apa mereka semua sudah kau bunuh?" Si Gendut yang baru saja bangun dari tanah itu menatap takjub ke arahku sambil menunjuk mayat Cheng Jiangran dan Lao Liu.
Aku mengangguk pelan:
"Ya, semuanya sudah kubunuh..."
Si Gendut mendekatiku. Matanya membelalak melihat kepala hancur Cheng Jiangran, "Masa sih? Sebelum pingsan tadi, rasanya kita sudah terjebak dan tak mungkin menang. Tapi...tapi perubahan situasinya terlalu cepat! Shixiong, jurus apa yang kau gunakan?"
Aku tersenyum tipis, menghindari pertanyaannya, "Kau punya alat penggali di mobil?"
Wajahnya berubah pucat. Setelah diam beberapa detik, ia terkesiap, "Shixiong, kau...kau ingin menghilangkan jejak mayat?"
"Benar. Aku mau menggali lubang di sekitar sini untuk mengubur mereka." Tatapanku mantap. Setelah balas dendam terlampiaskan, yang tersisa hanyalah pertimbangan logis. Di daerah terpencil tanpa CCTV ini, mustahil membuktikan pembunuhan kami sebagai tindakan defensif.
"Apalagi, Paman Kedua Leizi, Cheng Jiangran, di Tiongkok sudah dianggap sebagai mayat. Lao Liu si pencuri makam tidak perlu disebut lagi, dalam profesinya ini bahkan jika ada beberapa teman pun hanya akan menganggapnya mati di dalam makam. Mereka sama sekali tidak akan melaporkan kehilangannya ke polisi."
"Tapi, ini juga pertama kalinya dalam hidupku aku membunuh orang dengan tanganku sendiri, dan langsung dua sekaligus. Setelah kesenangan balas dendam berlalu, sebenarnya hatiku tidak nyaman, bahkan ada rasa panik dan takut. Perasaan membunuh sama sekali tidak enak, benar-benar tidak enak, meskipun Cheng Jiangran dan Lao Liu pantas dihukum seribu kali mati."
Setelah mendengar perkataanku, pria gemuk itu menggelengkan kepala:
"Alat untuk menggali lubang memang tidak ada di mobilku. Tapi ada dua sekop segitiga yang dulu kupakai saat bekerja di proyek konstruksi, masih bisa digunakan."
"Baik, ambilkan." Kataku.
"Bagaimana dengan kakimu?" Pria gemuk itu bertanya dengan khawatir melihat kaki kananku yang berlumuran darah.
"Tidak apa-apa. Darah sudah berhenti. Cepat ambilkan sekop itu, kita kuburkan mereka lalu segera pulang. Oh ya, pinjamkan korek apimu." Kataku pada pria gemuk itu.
Pria gemuk itu mengeluarkan korek api dari saku dan menyerahkannya padaku. "Aku akan mengambilnya sekarang. Tunggu sebentar." Katanya sambil berlari ke mobil di samping.
Aku mengambil korek api dan mencari jerami kering serta kayu kering di sekitar, kemudian menyalakannya perlahan. Aku tidak tega meletakkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di atas api, jadi menunggu pria gemuk membawa sekop segitiganya. Setelah sekop itu dipanaskan di atas api, kuambil sebatang ranting kering dan menggigitnya kuat-kuat dengan mulut. Rencananya menggunakan panas sekop untuk membakar luka terlebih dahulu. Bagaimanapun ini cara tercepat untuk menghentikan pendarahan dan mencegah infeksi.
Tiba-tiba pria gemuk itu mengulurkan tangan menghalangiku:
"Shixiong, jangan buru-buru. Lihat itu apa?"
Mengikuti arah telunjuknya, kulihat sarang lebah tergantung di dahan pohon tak jauh di belakangku.
"Sarang lebah?" Aku menoleh memandangnya dengan bingung.
Pria gemuk mengangguk:
"Shixiong, jangan pakai cara bodoh menyiksa diri sendiri. Madu dalam sarang itu bisa menghentikan pendarahan, mengurangi bengkak, membunuh bakteri, sekaligus mencegah radang. Terutama sangat efektif untuk luka tembak. Ini informasi dari temanku yang pernah jadi pasukan pengintai."
"Lalu bagaimana kau akan mengambil sarang itu?" tanyaku padanya.
"Lihat saja. Sejak kecil aku sudah jago mengambil sarang lebah, profesional 20 tahun." Setelah berkata demikian, dia berjalan mendekati sarang lebah tersebut.
"Aku juga nggak tahu si pria gemuk pake cara apa, bisa manjat pohon pake tangan kosong. Ga lama kemudian dia turun sambil jalan ke arahku, di tangannya ada sepotong kecil sarang lebah warna kuning-putih."
"Lo nggak kena sengat?" Aku memandangi pria gemuk yang mendekat sambil bertanya. Jujur aja, dia emang punya skill.
Pria gemuk mencibirkan bibir:
"Bercanda, lo cepetan olesin." Dia menyodorkan potongan sarang lebah itu padaku.
Setelah mengambilnya, aku peras madu di dalamnya dan oleskan merata di luka di pahaku. Awalnya agak perih, kayak waktu dikasih antiseptik. Luka mulai terasa panas, sakitnya berkurang. Darah berhenti mengalir. Madu liar ini memang manjur.
"Shixiong, lo nggak usah berdiri. Duduk aja di situ, istirahatlah. Aku yang gali sendiri. Tanah di sini lembek dan gembur, paling cuma dua jam." Pria gemuk itu cari tempat agak tersembunyi lalu mulai menggali.
Aku iseng lihat sekeliling. Di bawah batang pohon mati ada tanaman mirip ginseng. Sekilas langsung kukenal - itu Ginseng Halus yang Bai Ruotong kasih. Tadi pas berantem sama Cheng Jiangran dan Lao Liu, sempet kececer di sini. Untung ketemu, kalo nggak sayang banget.
Aku perlahan berjalan mendekat, berjongkok hendak mengambil ginseng itu tiba-tiba menyadari akar ginseng itu telah menyusup separuh ke dalam tanah. Aku menggeleng-gelengkan kepala, memang kabarnya ginseng punya nyawa, baru sebentar sudah berakar lagi.
