Meski terlihat kikuk, lintah raksasa itu bergerak cukup cepat dengan gerakan menggeliat kiri-kanan. Sambil mengutuk dalam hati si tua licik Qingfeng, aku bingung harus bagaimana menghadapi monster besar ini. Semua jurus andalanku seakan lenyap.
Tidak ada pilihan lain. Ku cabut Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks, siap berjuang mati-matian melawan makhluk ini.
Baru saja ku genggam senjata itu, malang tak berbau. Karena tergesa-gesa, kakiku terpeleset di batu licin. Sebelum sempat bangun, suara mendesing tajam sudah terdengar dari belakang.
Kulihat Master Qingfeng menusuk perut lintah raksasa dengan pedang kayunya. Saat pedang persik itu dicabut, cairan kuning pucat menyembur keluar. Begitu menyentuh batu pualam, cairan itu mengeluarkan asap putih beracun.
Jelas bahwa lendir kuning ini memiliki korosivitas yang sangat kuat. Untung tadi aku tidak gegabah mendekat dan memotongnya dengan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks, kalau tidak, yang berasap sekarang pasti aku.
Rupanya Master Qingfeng tadi ingin aku mengalihkan perhatian lintah raksasa itu agar dia bisa menyergap dari belakang.
Kuangkat pandanganku ke Master Qingfeng. Pedang Kayu Persik di tangannya sekarang juga terkena lendir kuning, sebagian besar sudah membusuk dengan asap putih mengepul. Saking kesakitan, wajahnya menyeringai nyaris menangis. Tampaknya pedang ini bukanlah kayu persik biasa, kalau tidak Master Qingfeng tidak akan sedemikian sedihnya.
"Cepat lihat! Luka lintah itu mulai menyembuh." Suara An Rushuang mengingatkan kami berdua.
Saat kuperhatikan lintah itu, lukanya yang terkena pedang tadi sudah tidak mengeluarkan lendir lagi, malah mulai menyatu dengan kecepatan yang bisa terlihat mata telanjang.
Aku tahu lintah punya kemampuan regenerasi, tapi kecepatan penyembuhan secepat ini membuatku merinding. Bagaimana caranya melawan?!
"Lintah paling takut garam. Kalian bawa garam?" An Rushuang menatapku dan Master Qingfeng.
"Tak ada garam. Pakai api." Master Qingfeng mengeluarkan benda putih padat dari sakunya, menyalakannya dengan korek api, lalu melemparkannya ke lintah raksasa itu.
"Nyala api jatuh di tubuh lintah itu, seluruh badannya berguling, langsung memadamkan api. Makhluk ini benar-benar sudah menjadi siluman."
Setelah memadamkan api, lintah itu memutar kepalanya dan menyemburkan lendir kuning dari bagian depan tubuhnya, menyemprot tajam ke arah Master Qingfeng.
Melihat ini, Master Qingfeng tak peduli lagi dengan wibawanya. Tubuhnya terjungkai ke kanan dan jatuh ke tanah, nyaris terhindar dari semburan.
"Shisan, berikan pisau belatimu padaku." An Rushuang melayang turun dari udara, menatapku.
"Untuk apa? Kamu kan tidak bisa melawan lintah itu sekarang." Kataku pada An Rushuang.
"Tenang, dia tidak bisa melukaiku." An Rushuang mengulurkan tangannya padaku sambil bicara.
Setelah ragu sebentar, akhirnya kuserahkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks padanya.
Begitu menerimanya, An Rushuang langsung melayang menuju lintah raksasa itu. Di udara, dia mengamati lintah yang menggeliat di tanah sejenak, lalu menyambar begitu menemukan target.
Pisau menghunjam tepat di tengah punggung lintah. Begitu berhasil, An Rushuang segera mencabut Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks lalu melesat ke udara. Lintah raksasa itu berguling-guling tak berhenti, mulutnya mengeluarkan teriakan aneh "Creek... creek... creek!"
Tampaknya serangan An Rushuang tadi mengenai titik vital lintah raksasa itu.
Lintah raksasa itu awalnya masih terus menggeliat, tetapi tak lama kemudian tubuhnya berguling dan terkapar dengan perut menghadap ke atas di atas batu hijau, tak bergerak sama sekali. Aku menduga ia belum mati, delapan puluh persen makhluk ini pura-pura mati.
Ada dua kemungkinan hewan pura-pura mati: pertama untuk mengelabui predator yang tidak memakan bangkai, kedua untuk memancing lawan mendekat lalu menyerang. Lintah raksasa yang sebesar ini pasti sudah menjadi makhluk gaib, pastinya memiliki kecerdasan tertentu. Jadi kepura-puraannya yang paling mungkin adalah memancingku dan Master Qingfeng untuk mendekat. Sayangnya ia salah perhitungan, secerdas apa pun hewan, tetap tak bisa menandingi manusia.
An Rushuang kembali melayang mendekat, mengembalikan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks sambil berbisik: "Shisan, hati-hati, lintah itu kemungkinan besar sedang pura-pura mati."
Aku menerima Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks sambil mengangguk: "Aku tahu, makhluk sebesar ini pasti punya latar belakang tertentu." Sambil berbicara, kuperiksa pisau belati itu - sama sekali tidak ada lendir kuning yang menempel, apalagi terkikis. Benar-benar benda pusaka yang luar biasa.
Hingga saat ini, lintah raksasa yang terkapar itu masih tak bergerak. Perutnya berwarna hijau gelap kehitaman, di balik perut itu terlihat sesuatu yang terus menggeliat-geliat di dalam perutnya, membuat bulu kudukku merinding.
“Shifu, kurasa dia sedang... gimana caranya? Kamu yang maju atau kamu yang maju atau kamu yang maju?” Aku menatap Master Qingfeng yang berada di kejauhan dan bertanya, tanpa mengucapkan kata "pura-pura mati" karena takut lintah raksasa ini benar-benar mengerti bahasa manusia.
“Dasar anak kurang ajar! Kau selalu mengharapkan yang buruk untukku! Biarkan dia pura-pura mati di situ. Tugas kita turun ke sumur hari ini sudah selesai, tak perlu mati-matian melawan binatang sialan ini.” Master Qingfeng berkata sambil berjalan memutar menghindari lintah itu, mendekati aku dan An Rushuang.
Perkataan Master Qingfeng memang benar. Tujuan kita turun ke sumur hari ini hanya satu, yaitu memberantas Hanba si zombie. Sekarang Hanba sudah musnah, tak perlu mempertaruhkan nyawa melawan lintah raksasa ini.
“Lalu... bagaimana dengan peti mati itu?” Tanyaku pada Master Qingfeng yang sedang mendekat.
“Kamu jaga lintah besar itu. Aku akan membukanya. Di dalam peti mati kayu ini, sembilan dari sepuluh kemungkinan ada jamur mayat yang cocok untuk istrimu.” Master Qingfeng menyerahkan senternya padaku, lalu mengeluarkan pisau belati dari pinggangnya. Dengan senjata di tangan, dia berjalan menuju peti mati tersebut.
Tidak tahu apakah Master Qingfeng sebelumnya pernah bekerja sebagai perampok makam. Dia memegang pisau belati dan berjalan ke peti mati kayu gelap itu. Pertama-tama menyalakan lilin untuk penerangan, lalu menggunakan pisau belati di tangannya untuk membuka paku peti mati dengan gerakan yang sangat terampil. Tutup peti mati pun perlahan didorong terbuka oleh Master Qingfeng.
Sambil mengawasi lintah raksasa yang sedang pura-pura mati itu, aku menoleh ke arah Master Qingfeng. Saat itu, An Rushuang menghampiri dan berkata, "Shisan, jika ingin melihat, pergilah. Aku akan mengawasi lintah itu untuk kalian."
"Baik." Jawabku. Membawa senter, aku segera berlari ke arah Master Qingfeng. Dalam hati, selain rasa penasaran dan cemas, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa di dalam peti mati kayu gelap itu mungkin tidak ada jamur mayat yang dibutuhkan An Rushuang.
Ketika aku sampai, Master Qingfeng sudah membuka tutup peti mati sepenuhnya. Setelah menarik napas dalam, aku segera melihat ke dalam peti itu.
Di dalam peti mati, yang terlihat adalah kerangka manusia yang sudah mengering. Pakaiannya sudah lapuk, namun dari sisa-sisa kain masih bisa dikenali bahwa almarhum ini dulunya seorang daoshi. Di samping kerangka tersebut terdapat pedang kayu dan sapu debu ritual. Setelah diperhatikan lebih dekat, di bawah tengkoraknya terdapat sebuah buku dengan sampul biru.
Tapi semua ini bukan yang paling kusoroti. Yang paling kubicirkan adalah jamur mayat. Aku segera menyorotkan senter ke bawah peti mati. Benar saja, di atas Peti mati kayu di antara kedua kaki rangka itu, ada sekeping jamur mayat sebesar bola pingpong.
Meski merasa sedikit kecewa melihat ukurannya yang kecil, setidaknya ini bisa sedikit membantu An Rushuang menambah Energi Yin.
Memikirkan itu, aku segera mengulurkan tangan untuk mengambil jamur mayat kecil itu. Tapi tiba-tiba Master Qingfeng menarik lenganku dengan wajah serius, "Jangan disentuh dulu!!"
