Mendengar perkataan An Rushuang yang tiba-tiba ini, aku langsung bingung, lalu bertanya padanya: "Melupakanmu? Rushuang, aku... bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Tenang saja, kecuali aku mati, pasti tidak akan melupakanmu." Aku menjawab dengan serius sambil menatap An Rushuang.
An Rushuang tersenyum setelah mendengar ucapanku, bangkit dari platform latihan, menatap pohon birch di sampingnya dengan tatapan kosong. Setelah lama terdiam, baru berbisik pelan: "Semoga saja..."
"Rushuang, kenapa kamu hari ini?" Aku bertanya dengan bingung sambil memperhatikan An Rushuang yang terlihat menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
An Rushuang berkata padaku:
"Tidak ada, aku hanya melihatmu..."
"Shixiong!!"
Perkataan An Rushuang belum selesai, suara pria gemuk sudah terdengar dari kejauhan.
Aku menoleh dan melihatnya berlari ke arah sini. Jantungku berdebar, mengira Pria Bertopi datang, buru-buru menyambutnya: "Pria gemuk, ada apa?"
"Kamu... teleponmu." Pria gemuk itu menyodorkan ponselku.
Baru saja kuambil ponsel itu, si pria gemuk kembali ikut campur:
"Ada adik yang nelpon, suaranya merdu..."
"Pria gemuk, sudah cukup!!" Aku segera memotongnya. Dia tidak tahu An Rushuang ada di sampingku, juga belum pernah bertemu dengannya.
Melihatku kesal, pria gemuk itu pun diam berdiri.
Kulihat layar ponsel masih dalam panggilan, belum ditutup. Setelah kuperhatikan nama kontaknya: Fang Ziyan.
Kenapa dia tiba-tiba menelponku lagi?
Aku tidak langsung mengangkat telepon, melainkan menoleh ke belakang melihat An Rushuang. Ia berdiri di belakangku dengan ekspresi acuh tak acuh menatapku.
Tanpa pilihan lain, akhirnya kuangkat panggilan itu.
"Halo, Fang Ziyan, ada perlu apa?"
Suara Fang Ziyan segera terdengar dari seberang telepon:
"Shisan, sudah beberapa hari sekolah dimulai, kenapa kamu tidak pernah datang? Aku... aku agak khawatir, jadi menelepon untuk menanyakan kabarmu."
Setelah berpikir sejenak, kujawab: "Saat ini aku sedang membantu Shifu mengurus sesuatu di Kuil Tao, tidak sempat sekolah. Shifu sudah mengurus cuti sekolahku." Seperti pepatah 'sekali digigit ular, sepuluh tahun takut tali tambang', aku masih menyimpan keraguan terhadap Fang Ziyan ini sehingga tidak jujur sepenuhnya.
"Lalu kapan kamu akan kembali ke sekolah?" tanya Fang Ziyan lagi.
"Kira-kira, mungkin, barangkali 1 atau 2 bulan lagi," jawabku sambil mengelak. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu sampai kapan Master Gui akan melatihku.
Fang Ziyan terdiam sesaat setelah mendengar jawabanku, lalu melanjutkan: "Shisan, Leizi bertengkar lagi di sekolah..."
"Apa?! Dengan siapa dia berkelahi lagi?!" Aku segera bertanya. Sifat impulsifnya yang meledak-ledak itu, berapa kali lagi dia harus terluka sebelum bisa introspeksi?
"Masalahnya masih tentang Xia Linxuan. Dia bertengkar mulut dengan Liu Junming yang juga mengejar Xia Linxuan, lalu langsung berkelahi di dalam kelas," jelas Fang Ziyan.
Setelah mendengar perkataan Fang Ziyan, aku buru-buru bertanya: "Apakah Leizi baik-baik saja?" Alasan aku bertanya seperti ini bukan karena Leizi tidak bisa mengalahkan Liu Junming, melainkan karena Liu Junming punya pengaruh besar di seluruh sekolah dan banyak kenalan, baik dari dalam sekolah maupun dari luar. Kalau Leizi berkelahi dengannya, pasti akan kerepotan.
"Tidak apa-apa, cuma wajahnya agak bengkak dipukul, dan dapat hukuman disiplin dari sekolah..." Fang Ziyan memberitahuku.
"Sudah, aku mengerti. Tolong jaga dia di sekolah dan jangan biarkan dia bertindak gegabah. Kalau ada masalah langsung telepon aku," kataku pada Fang Ziyan.
Ekspresi Fang Ziyan langsung berubah setelah mendengar perkataanku, dia segera menyetujui:
"Baik, Shisan jangan khawatir. Aku pasti akan menjaganya dengan baik. Oh ya, nanti setelah kamu kembali sekolah, pelajaran yang ketinggalan selama ini akan aku bantu kamu kejar."
"Tidak usah, sungguh. Nilai akademikku sudah biasa-biasa saja, percuma juga les tambahan," jawabku cepat-cepat menolak.
"Kalau... kalau begitu, aku tidak ganggu kamu lagi. Istirahatlah lebih awal," kata Fang Ziyan padaku.
"Baik." Setelah mengiyakan, aku menutup telepon.
Pria gemuk itu melihatku menutup telepon, lalu bertanya: "Shixiong, kok aku merasa kamu agak kesal dengan adik di ujung telepon tadi? Aku masih jomblo nih. Kalau kamu benar-benar tidak tertarik, kasih saja nomor teleponnya ke aku dong?"
“Kamu jangan ngaco deh, dia kan seorang siswi, janganlah kau ganggu tunas harapan bangsa ini.” Aku berkata sambil menoleh ke tempat An Rushuang tadi berdiri, tapi dia sudah tidak ada di sana. Mungkin saat aku menelepon, dia sudah kembali ke dalam Giok.
Aku menghela napas, tak mengerti mengapa An Rushuang tiba-tiba menanyakan hal-hal itu. Benar kata Master Qingfeng, hati wanita memang sulit ditebak seperti jarum di dasar laut...
Tiba-tiba di tengah kealpaanku, kulihat di atas podium latihan ada deretan tulisan yang disusun dari rumput ekor anjung. Hanya dua belas karakter:
“Manusia lupa di jalan ilmu Tao, ikan lupa di samudera luas.”
Tanpa perlu menebak, aku tahu dua belas karakter ini pasti ditinggalkan An Rushuang untukku. Mungkin dia menyusunnya dengan rumput ekor anjung saat aku sedang berlatih ilmu Tao. Tapi apa makna dari kalimat ini?
“Ikan lupa di samudera luas” masih bisa kupahami maksudnya. Tapi “manusia lupa di jalan ilmu Tao”, apa artinya?
Bagaimanapun juga aku tak bisa memecahkan teka-teki ini.
“Shixiong, sudah hampir tengah malam, pulang istirahat yuk?” Pria gemuk itu menatapku dan bertanya.
Kuperiksa ponsel, jam sudah menunjukkan lewat sepuluh malam. Aku mengangguk, lalu bersama pria gemuk itu kembali ke rumah, memasak air, mandi, lalu tidur.
Terbaring di tempat tidur, kalimat An Rushuang “Manusia lupa di jalan ilmu Tao, ikan lupa di samudera luas” terus berputar di kepalaku. Untuk apa dia meninggalkan pesan ini? Tidak, nanti aku harus menanyakannya langsung padanya.
Memikirkan hal ini, rasa kantuk pun menyerang. Aku langsung merebahkan diri dan tertidur hingga subuh. Keesokan paginya, tak lama setelah aku dan si pria gemuk selesai sarapan, Master Qingfeng dan Master Gui pun kembali. Setelah tiba, tanpa basa-basi Master Qingfeng langsung bergegas menuju kamar Master Lu.
Sementara Master Gui menghampiriku:
"Shisan, ikut aku ke belakang. Hari ini kita lanjutkan latihan kemarin."
"Master Gui, aku sudah merasakan keberadaan energi Yang dalam tubuhku." Aku menatap Master Gui.
Mendengar perkataanku, kaki Master Gui yang sedang melangkah tiba-tiba terhenti di udara. Ia menoleh dengan ekspresi terkejut dan tak percaya: "Shisan, kamu... apa yang baru saja kamu katakan?!"
"Aku bilang sudah merasakan energi Yang dalam tubuh. Saat latihan pernapasan kemarin malam, aku merasakan kekuatan tak kasat mata di Dantian. Master Gui, itu pasti energi Yang kan?" Tanyaku sambil menatapnya.
Wajah Master Gui berkedut tak terkendali. Kaki yang masih menggantung itu tiba-tiba diinjakkan ke tanah. Ia berbalik dan bertanya serius: "Shisan, apa yang kau katakan tadi benar? Jangan bohong! Benarkah kau sudah merasakan energi Yang di Dantian?!"
Aku mengangguk mantap: "Jika kekuatan tak kasat mata di Dantian itu adalah energi Yang, maka aku pasti sudah merasakannya."
"Duduk bersila sekarang juga! Peragakan di depan mataku!" desak Master Gui tak sabar.
“Baik.” Setelah menjawab, aku langsung duduk bersila di atas batu di bawah atap aula kuil Tao. Pertama-tama memperbaiki postur tubuh, membersihkan pikiran, mengatur pernapasan, lalu menurunkan qi ke Dantian. Seketika itu juga kurasakan kekuatan tak kasat mata itu menyedot habis qi yang baru kukumpulkan.
Di saat yang bersamaan, Master Gui berteriak kaget:
“Tian...”
“Ada apa?” Aku kaget mendengar teriakan tiba-tiba Master Gui, segera membuka mata dan menatapnya bertanya.
“Ti-Tidak apa. Bakatmu cukup memadai. Sekarang mari lanjutkan latihan berikutnya, ikut aku keluar.” Master Gui berjalan mendahului menuju pintu gerbang kuil.
Di perjalanan kutanyakan, “Master Gui, mau dibawa ke mana? Latihan apa berikutnya?”
“Sebentar lagi kau akan tahu.” Master Gui membawaku masuk ke dalam pegunungan Beijiu Shui yang terpencil.
……
Setelah masuk jauh ke dalam hutan, di sebuah lereng gunung Master Gui berhenti. Ia menunjuk puncak di kejauhan, “Shisan, kau lihat puncak itu?”
“Lihat.”
“Dari sekarang, kau punya satu jam. Aku akan menunggumu di puncak itu. Jika dalam satu jam belum sampai, jangan temui aku lagi.” Usai bicara, tubuh Master Gui melesat cepat menuju puncak gunung.
Meskipun tubuhnya sangat kekar, gerakannya tidak bisa dibilang lambat. Beberapa kali melompat dan dia sudah menghilang di Hutan Lebat di depan. Melihat ini, aku segera mengejarnya, berlari sekuat tenaga. Puncak gunung itu terlihat tidak terlalu jauh, tapi seperti kata pepatah, "Melihat gunung dekat tapi lari sampai kuda mati". Ditambah lagi lereng curam, aku sendiri tidak yakin apakah bisa sampai dalam satu jam.
Tapi sekarang hanya ada satu jalan di depanku. Aku harus melangkah, harus mengerahkan segala upaya, dan harus sampai dalam satu jam.
