"Aku hanya ingin menjengukmu. Meja belajarmu juga sudah kurapiikan. Sekalian mau tanya, perlu kubawakan makanan dari kantin?" Fang Ziyan menunduk dan berkata pelan.
Mendengar ini, hati saya merasa sangat bersalah. Kukatakan padanya: "Fang Ziyan, jangan terlalu baik padaku. Di sekolah kita banyak pria baik. Dengan kondisi sepertimu, mencari yang lebih pintar dan tampan dariku itu mudah sekali." Satu lobang satu wortel. Aku Zuo Shisan si jomblo ini sudah beruntung memiliki An Rushuang, pasti tidak boleh mengkhianatinya.
"Tapi mereka pasti tidak akan seperti kamu, yang rela mengorbankan nyawa sendiri untuk melindungiku." Fang Ziyan menatapku berkata.
Mendengar perkataan Fang Ziyan, aku teringat kembali momen ketika kami berdua menjaga peti batu ibu-anak penunggu berdarah itu. Segera kujelaskan padanya: "Fang Ziyan, tentang kejadian itu harus kujelaskan. Saat itu, siapapun yang berada di posisiku pasti akan melakukan hal sama. Sejujurnya, saat itu aku juga sangat ketakutan dan terus berharap kamu datang menyelamatkanku, hanya saja tidak sempat berteriak."
"Aku tidak peduli, semuanya sudah berlalu. Kamu bisa berkata apapun, tapi Fang Ziyan ini sudah memutuskan untuk memilihmu!" Kata Fang Ziyan sambil menatapku dengan wajah gelisah.
"Sudahlah, sampai di sini pembicaraan kita. Lagipula hatiku sudah ada yang menempati, yaitu An Rushuang. Mustahil aku bisa menyukai orang lain. Aku harus pergi makan sekarang, mereka semua sudah menungguku. Duluan ya." Ucapku sambil berlari keluar kelas seperti dikejar.
……
Saat tiba di Warung Mie Lao Chun, Leizi, Lao Huang dan Si Gigi Kelinci sudah memesan lauk dan bir. Kami berempat langsung menyantap hidangan dengan lahap.
Setelah kenyang, sambil menunggu Si Gigi Kelinci membayar di kasir, mataku tertarik pada lukisan Arhat Empat Lengan yang terpajang di balik meja depan.
Dulu pernah kubaca di "Pegangan Ilmu Taois Maoshan" tentang penjelasan feng shui. Arhat Empat Lengan tersebut sebenarnya digunakan untuk mengusir energi jahat dan menetralkan sial di rumah, sama sekali tidak cocok dipasang di restoran. Jika dipaksakan justru akan memberi efek sebaliknya.
"Melihat ini, aku segera mendekat dan bertanya pada Bu pemilik toko, "Bu, kapan lukisan itu dipasang di sini?"
Bu pemilik toko buru-buru menjawab, "Oh ini? Dua bulan lalu dikirim saudara lalu langsung dipasang. Ada masalah?"
"Bisnis warungmu selama dua bulan terakhir ini lebih sepi dari sebelumnya ya?" tanyaku.
Wajah Bu pemilik toko berubah terkejut, lalu memandangku curiga, "Pemuda, kamu... gimana bisa tahu?"
"Ini karena lukisan itu. Mungkin saudaramu tidak menjelaskan, Arhat Berkaki Empat ini untuk mengusir roh jahat dari rumah, bukan menarik rejeki. Lebih baik dipasang di rumah." Kujelaskan sambil menunjuk lukisan.
"Kok kamu bisa tahu banyak soal begini?" tanya Bu pemilik toko.
"Waktu kecil belajar dari Kakek..."
"Kalau gitu, tolong periksa bagian lain di tokoku yang perlu diubah! Makanan kalian hari ini gratis." Bu pemilik toko tersenyum ramah.
"Bayar tetap harus. Tapi kalau percaya, saya sarankan meja makan diatur di posisi Energi Kehidupan, Panjang Umur, atau Tian Yi. Ini bisa mendatangkan rejeki dan kemakmuran." Kujelaskan sambil menunjuk tiga titik tersebut dengan kaki.
Bu pemilik toko segera mengambil kapur tulis dan mulai menandai lantai.
“Terima kasih ya, pemuda, kalau bisnis toko kami benar-benar bisa membaik, kalian semua gratis makan di sini nanti!” kata Bu sambil mengantar kami berempat keluar dengan ramah.
Baru saja keluar, Lao Huang langsung menarik lenganku dan bertanya, “Aku bilang, Shisan, yang kau katakan tadi itu benar atau nggak? Pergi ke Kuil Tao beberapa bulan ini ternyata nggak sia-sia ya.”
Aku tersenyum dan berkata padanya, “Omongan kita nggak ada gunanya, dua bulan lagi kau tanya sendiri ke Bu pemilik toko, pasti langsung tahu kan?”
“Bener juga...” Lao Huang di samping mengangguk-angguk.
Saat kembali ke asrama, karena siang ada kelas Lao Geng, kami nggak bisa bolos. Kami hanya istirahat sebentar di asrama, lalu pergi kuliah siang itu.
Ini kan mata kuliah wajib, kalau nggak dapat SKS ya nggak bisa lulus. Sebenarnya kuliah itu intinya cuma ngumpulin SKS aja. SKS cukup? Lulus! SKS kurang? Ya tamat!
Sebenarnya waktu kuliah, kecuali beberapa kutu buku, kebanyakan mahasiswa sibuk main ponsel, tiduran, baca novel. Dosen ngajar di depan, hampir nggak ada yang memperhatikan.
Aku juga nggak fokus belajar. Manfaatin waktu kuliah buat latihan menggambar jimat pakai buku teks. Habis kuliah langsung makan, latihan di lapangan belakang, terus balik ke kamar duduk bersila latihan energi Yang.
Malam itu, setelah selesai latihan energi Yang terakhir, Leizi, Lao Huang dan si Gigi Kelinci di asrama udah tidur semua. Tapi aku masih merasa energiku penuh banget.
Bersiap melanjutkan latihan energi Yang dalam tubuhnya, tapi tepat di saat ini An Rushuang tiba-tiba keluar dari liontin giok, duduk di pinggiran kasurku.
“Shisan, apakah jika aku terus tidak keluar, kamu tidak berniat mencari aku sama sekali?” An Rushuang masih mengenakan pakaian putih bak salju itu, duduk di sampingku, menatapku dengan suara lembut bertanya.
“Tidak, akhir-akhir ini aku sibuk sekolah. Meski ada waktu di siang hari tapi kamu tidak bisa keluar. Sejak malam tiba, seperti yang kamu lihat, aku terus berlatih. Selain itu... aku takut jika terlalu sering mencarimu, kamu akan bosan...” Aku menjawab sambil menatap An Rushuang.
"Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin aku bosan denganmu, sungguh konyol! Oh ya Shisan, saat Yin Shuai Bai Wuchang mencarimu untuk meminta kitab kuno 《Xuan Huang Di Jing》 itu, aku sudah merasa pasti ada rahasia besar dalam kitab tersebut. Makanya alam baka mengutus Yin Shuai Bai Wuchang secara langsung - mereka takut terjadi kesalahan dalam prosesnya. Ini membuktikan betapa pentingnya kitab 《Xuan Huang Di Jing》 bagi neraka."
Aku mengangguk, setuju dengan pendapat An Rushuang. Meskipun 《Xuan Huang Di Jing》 itu kami temukan di dalam peti mati bawah sumur kuno bersama Master Qingfeng, tapi seperti peribahasa "di bawah atap orang harus menunduk", terpaksa kami menyerahkannya. Barang yang susah payah dicari, diberikan begitu saja. Mengatakan tidak ada penyesalan sama sekali tentu bohong.
“Ah, sebenarnya bahkan jika ada rahasia di buku 《Xuan Huang Di Jing》 itu, kita tetap tidak mungkin mengetahuinya.” Aku melihat An Rushuang dengan wajah kecewa berkata.
“Nggak pasti begitu.” An Rushuang tersenyum misterius sambil menatapku.
“Hah? Maksudmu apa?” Setelah mendengar perkataan An Rushuang, aku tak langsung paham dengan makna tersirat dalam ucapannya.
“Shisan, bukannya sebelumnya kamu pernah memperlihatkan buku 《Xuan Huang Di Jing》 padaku? Aku sudah menghafal seluruh isinya. Sekarang aku bisa menuliskannya kapan saja.” An Rushuang menunjuk kepalanya dengan lembut.
“Ya ampun! Rushuang, kamu... ingatanmu luar biasa!” Aku terkejut mendengarnya. Otaknya lebih hebat dari komputer. Tapi di saat yang sama, sebuah ide muncul di kepalaku untuk meminta bantuannya.
“Ngomong-ngomong Rushuang, bisa nggak kamu menghafal semua materi pelajaranku? Nanti waktu ujian, kasih tahu jawabannya gimana?” tanyaku padanya.
“Mimpi kali! Aku nggak mau bantu kamu nyontek. Eh Shisan, cariin kertas dan pulpen. Aku akan menuliskan isi 《Xuan Huang Di Jing》 untukmu semalaman ini.”
“Oke, tunggu sebentar.” Kumenyalakan lampu meja dan mengambil buku diary serta pulpen dari meja belajar.
“Shisan, ada kuas kaligrafi? Aku nggak terbiasa pakai ini...”
“Ada, ada.” Kukeluarkan kuas kaligrafi dari tas yang biasa dipakai untuk menggambar jimat, mencucinya bersih, lalu memberikannya bersama tinta pada An Rushuang.
Setelah menerima kuas itu, An Rushuang mencelupkannya ke tinta lalu duduk tegak di depan meja dan mulai menulis dengan penuh konsentrasi.
Aku mengambil kursi dan duduk di samping An Rushuang, memandangnya diam-diam saat menulis. Ketika melihat tulisan di kertasnya, dia sudah menulis satu baris kalimat. Aku pernah berlatih kaligrafi dengan kuas beberapa waktu, langsung mengenali gaya Kaishu yang ditulisnya. Namun setelah memperhatikan lebih detail, hatiku berdesir.
Tulisan An Rushuang meninggalkan kesan mendalam. Kekuatan goresan yang seimbang, keindahan yang anggun, awal tarikan kuas yang lembut menyambung, tekanan akhir yang penuh tenaga - bagaikan karya legendaris Ouyang Xun dan Yan Zhenqing. Setiap karakter seolah bermekaran dan hidup di bawah kuasnya. Aku terpana, tak percaya bisa terhipnotis oleh tulisan tangan seseorang.
