Citra An Rushuang sebagai dewi dalam pandanganku semakin bertambah. Atau mungkin selama ini aku belum benar-benar mengenalnya? Keahlian kaligrafi, gaya tulisan, dan penguasaan kuas seperti ini mustahil diraih dalam waktu singkat!
Beberapa jam berikutnya kuhabiskan dengan memandangi An Rushuang menulis satu per satu karakter. Dengkuran Leizi dan Lao Huang agak mengganggu, kubuka aplikasi musik bukan Kugou di ponsel dan memutar musik instrumental lembut.
Meski menggunakan gaya Kaishu, sebagian besar karakter yang ditulisnya tidak bisa kukenali. An Rushuang jelas sedang meniru bentuk karakter kuno berdasarkan ingatannya sendiri, layaknya melukis labu dengan mencontoh tempayan.
Setelah lebih dari satu jam, An Rushuang akhirnya berhasil menulis seluruh isi buku "Xuanhuang Dijing". Ia lalu meregangkan badan, mengeringkan tinta di halaman terakhir dengan lembut, menutup buku itu, dan menyerahkannya padaku.
"Shisan, jangan sampai kau kehilangan ini. Aku menduga isi catatan dalam 'Xuanhuang Dijing' ini sangat berharga," kata An Rushuang padaku.
Kuambil buku itu sambil berkata, "Terima kasih. Kau lelah ya?"
An Rushuang mengangguk halus:
"Hmm..."
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Giok untuk istirahat," kataku menatapnya.
"Baik, kau juga tidur lebih awal." Tubuh An Rushuang berubah menjadi cahaya samar dan menyatu ke dalam giok.
Setelah An Rushuang kembali ke giok, dengan hati-hati kusimpan "Xuanhuang Dijing" yang ditulis tangannya ke dalam tas, bersanding dengan "Pegangan Ilmu Taois Maoshan" dan "Kumpulan Lengkap Fu Taoisme Maoshan".
Kubuka ponsel - jam sudah menunjukkan lewat pukul 2 pagi. Kulepas pakaian dan bersiap tidur. Meski besok pagi tidak ada kelas Lao Geng, kebiasaan bangun awal di Kuil Qingzhu masih melekat.
……
Kehidupan kampus kembali berjalan rutin. Saat kuliah wajib, aku praktik menggambar fu. Saat istirahat, aku berolahraga. Suatu kali saat sedang latihan menggambar fu di kelas, Lao Geng melihatku dan mencibir, "Dasar anak tak berguna! Nanti jadi semir sepatu keliling saja!"
Aku berkata dalam hati: Pandanganmu sempit, kamu ngerti apa kelinci semangka! Ilmu yang sedang kupelajari sekarang ini adalah untuk menjaga keseimbangan dunia Yin-Yang, mana mungkin kalian orang biasa bisa melihatnya?
Ucapan hatiku ini bukan merendahkan siapa pun, hanya sekadar hiburan diri sendiri. Sebenarnya di kedalaman hatiku, beban dan kekhawatiran sudah terlalu menumpuk.
Jujur saja kadang, setelah menghibur diri sendiri, aku merasa kesepian. Aku mulai meragukan apakah jalan Tao yang kupilih ini benar atau salah? Mungkin semua sudah ditakdirkan. Karena tak bisa mengubah masa kini dan masa lalu, maka harus kuubah masa depan. Aku tak rela manusia melupakan ilmu Tao, apalagi menerima kutukan Wu Bi San Que dalam takdir Tao...
Tapi mengapa sejak mempelajari Tao, hidupku berubah total? Aku terus-menerus menghadapi kematian, bertemu hantu jahat, dikhianati, disabotase, bahkan Kakek-Nenek yang paling kusayangi pun pergi dariku. Aku mulai terbiasa tersenyum palsu...
Sebenarnya tujuanku sangat sederhana: melindungi orang-orang yang kusayangi dari segala bahaya. Tak ingin kehilangan siapa pun lagi - keluarga, teman, sekelas, bahkan orang asing yang lewat sekalipun.
Tapi mengapa di dunia ini ada begitu banyak orang atau hantu yang selalu ingin menyakiti orang lain? Lin Sen dan putranya Lin Muxin bahkan membunuh seorang buruh migran tak bersalah untuk menjebakku. Rubah tua di balik Bai Ruotong juga telah menewaskan banyak nyawa demi meningkatkan latihan spiritualnya dengan cepat. Belum lagi siluman ular yang ingin membahayakan seluruh keluargaku, arwah jenderal Jepang Xiangtian, serta hantu jahat yang masih tersegel dengan ribuan tahun latihan spiritual bersembunyi di belakangnya - yang terus berusaha kembali ke dunia manusia dan menguasai langit-bumi...
Apakah nyawa mereka sendiri lebih berharga daripada nyawa orang lain? Mungkin di mata mereka, nyawa orang lain benar-benar tak berharga seperti rumput liar.
……
Waktu terus berlalu dalam lamunanku yang tak karuan ini. Tanpa kusadari, aku sudah kembali ke sekolah selama lebih dari seminggu. Perlahan aku mulai terbiasa dengan kehidupan sekolah. Kadang aku berpikir untuk tetap di sekolah beberapa hari lagi, lalu minta izin pada Si Bekas Luka, kemudian pergi mencari Fenghuang Dan untuk menghidupkan kembali An Rushuang, buah Qiqiaolinglong, serta air suci Luohe. Tentu saja aku juga harus mencari hun nyawa Master Lu.
Dengan rencana ini, siang hari aku kuliah sambil menggambar jimat, kadang kabur kelas untuk makan-minum bersama Leizi, Lao Huang, dan Si Gigi Kelinci. Malam hari tak pernah kulewatkan untuk latihan. Meski selama ini Fang Ziyan masih sering mencariku.
Sampai saat ini, aku masih tak mengerti, mengapa Fang Ziyan begitu terobsesi padaku? Apakah benar seperti pepatah lama: yang tak tergapai selamanya menggoda?
Setelah kutungkalikan berkali-kali, perlahan dia mulai jarang mencariku. Tepat saat kukira Fang Ziyan akan mulai menyukai teman lain, malam itu sepulang kelas malam, SMS darinya tiba lagi.
Kubuka ponsel dan membaca pesannya. Kali ini isinya berbeda. Fang Ziyan menulis: "Zuo Shisan, jam 10 malam nanti setelah kelas, aku akan menunggumu di tepi danau taman belakang sekolah. Terakhir kalinya kutanyakan - jika kau tak datang, akan kunantimu semalaman."
Awalnya kuberniat mengabaikannya. Tapi melihat kalimat terakhir, akhirnya kuputuskan datang. Seperti katanya dalam SMS: kita perlu bicara jelas agar tak saling ganggu lagi.
Kukemas barang-barang, pamit pada Leizi dan teman sekamar bahwa aku akan pulang agak malam, lalu bergegas menuju taman belakang sekolah.
Cuaca hari ini suram. Saat kumasuki taman luas yang sepi itu, gerimis tipis mulai membasahi bumi.
"Pada saat ini, tiba-tiba An Rushuang muncul dari Giok dengan wajah panik dan berkata padaku: "Shisan, aku akan keluar sebentar. Tunggu aku di sini, aku segera kembali."
"Kamu mau ke mana?" Tanyaku sambil menatap An Rushuang.
"Hanya di sekitar sini, tidak jauh. Tenang saja, aku akan segera kembali." Jawab An Rushuang padaku.
"Baik, hati-hati. Aku akan menunggumu di tepi danau depan." Aku mengangguk setuju.
"Mm." Setelah mendapat persetujuanku, tubuh An Rushuang berubah menjadi cahaya pucat dan melesat ke kejauhan.
Memandang An Rushuang yang menghilang di kejauhan, aku tak tahu apa yang dia temukan. Hanya merasa ekspresinya sangat tegang. Apa gerangan yang membuatnya begitu gugup dan tergesa-gesa?
Sudahlah, tak usah dipikirkan dulu. Nanti kutanyakan saat dia kembali. Sambil berpikir begitu, aku berjalan menuju danau tempat janji dengan Fang Ziyan.
Benar saja, kulihat Fang Ziyan sedang duduk di bangku batu tepi danau. Melihat kedatanganku, dia segera bangkit dan mendekat.
Entah mengapa, hari ini Fang Ziyan berpakaian sangat seksi bahkan agak terbuka. Atasan lengan pendek berleher rendah, celana pendek super mini yang nyaris tak layak disebut celana. Rambutnya yang biasanya tergerai kini dikepang rapi. Biasanya dia tak pernah berpakaian seranjang ini.
Ada apa ini sebenarnya?
"Fang Ziyan, pertengahan malam begini kamu minta aku ke sini untuk membahas apa?" Kutanya duluan karena dia diam terus.
“Zuo Shisan, aku hanya ingin bertanya sekali lagi, sebenarnya apa posisiku di hatimu?” Fang Ziyan menatapku dan bertanya.
“Teman sekelas, atau teman biasa.” Jawabku dengan tegas.
Wajah Fang Ziyan berubah pucat mendengar jawabanku, lalu dia melanjutkan, “Apakah kamu tidak pernah, sedikit pun, menyukaiku?”
“Tidak. Aku hanya tidak membencimu. Soal suka, benar-benar tidak ada. Lagipula di hatiku sudah ada seseorang, dan ini tidak akan pernah berubah.” Hari ini aku sengaja datang untuk menjelaskan semuanya pada Fang Ziyan, sehingga jawabanku sangat tegas. Masalah seperti ini sebaiknya diselesaikan malam ini juga.
“Baik! Baik! Zuo Shisan, aku membencimu!” Air mata Fang Ziyan mulai menetes perlahan sambil menatapku.
Aku menekan rasa iba dan kasihan dalam hati. Saat ini aku sangat paham, jika hari ini aku tidak tegas pada Fang Ziyan, maka yang akan terluka pasti An Rushuang. Aku tidak boleh mengkhianatinya, sama sekali tidak boleh.
“Zuo Shisan, aku akan belajar melupakanmu.” Setelah lama terdiam, Fang Ziyan berbicara sambil menatapku.
“Hmm.” Aku tidak tahu harus menjawab apa, hanya mengeluarkan suara dengusan.
“Kalau begitu temani aku menghabiskan bir ini, setelah ini kita akan seperti orang asing.” Fang Ziyan berjalan ke bangku batu, mengeluarkan dua botol bir dan memberikan salah satunya padaku.
“Lakukan!” Aku menyahut, menerima bir itu. Tapi sebelum minum, aku masih menjaga kewaspadaan. Melihat segel bir masih utuh tanpa bekas dibuka, akhirnya lega. Langsung menggigit tutupnya dengan mulut, bersulang dengan Fang Ziyan lalu meneguknya. Saat ini aku hanya ingin cepat-cepat memutuskan hubungan dengannya.
Bukan aku terlalu curiga, tapi sudah terlalu sering dikibuli orang...
Setelah menghabiskan bir, kutatap Fang Ziyan: "Sekarang semua sudah kujelaskan, bir juga sudah diminum. Boleh aku pulang kan? Kalau nggak segera pergi, hujan ini bisa makin deras."
Fang Ziyan tiba-tiba tersenyum manis padaku. Alih-alih menjawab, mulutnya mengucapkan rangkaian bahasa aneh dan kaku yang sama sekali tak kupahami.
Tiba-tiba, mendengar suara Fang Ziyan itu, hatiku mulai merasa tertarik pada wanita di depan mata ini. Semakin kulihat semakin menarik, bahkan keinginan untuk memilikinya seketika membara dalam dadaku. Api nafsu pun menyala-nyala dari dasar hati.
"Zuo Shisan, hari ini aku milikmu." Usai berkata demikian, Fang Ziyan langsung menerjang dan memelukku erat-erat.
Saat ini kepalaku kosong, hanya tersisa dua kata:
YUWANG!
Seketika kubanting tubuh Fang Ziyan ke hamparan rumput, tangan langsung meraih kancing baju di dadanya!
