Dorongan kuat Bai Ruotong yang tak terduga membuatku mundur beberapa langkah. Kakiku limbung tersandung cabang pohon di tanah.
Saat itu juga, kulihat kepala Cheng Jiangran yang diselimuti kabut darah menjatuhi Bai Ruotong dari atas. Kabut merah itu menyelubunginya tepat saat dia berusaha melarikan diri.
Dia akhirnya terlambat selangkah!
“Bai Ruotong!!” Teriakku melihat tubuhnya terjebak dalam kabut darah. Hatiku seperti terkoyak. Tak kusangka gadis bodoh ini rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkanku. Di detik-detik genting, yang dipikirkannya justru mendorongku menjauh ketimbang keselamatannya sendiri...
"Cheng Jiangran, bajingan!!" Saat ini seluruh pikiran saya dipenuhi amarah dan kesedihan. Saya bangkit cepat dari tanah, mengacungkan tangan kanan untuk membentuk mudra "Lóng Hŭ Qī Shè Yìn", lalu berteriak keras: "Qi tak tercerai, shen tak redup! Dalam keheningan Yang Satu terlahir! Lóng Hŭ Qī Shè Yìn, She!!" Setelah mantra selesai, saya merasakan aliran panas dahsyat dari dantian membanjiri tangan kanan.
Tangan kanan langsung terasa membara. Melirik sekilas, tangan yang membentuk mudra itu kini diselubungi cahaya kuning pucat. Berhasil!!
Dengan tekad bulat, saya menerjang kabut darah yang menyelimuti Bai Ruotong. Memandang kepala Cheng Jiangran yang melayang, saya mengumpulkan tenaga dari tanah lalu melompat ke arahnya, mengarahkan Lóng Hŭ Qī Shè Yìn ke kepalanya.
Cheng Jiangran juga melihat saya. Begitu menyadari cahaya pucat di tangan kanan yang mengarah ke kepalanya, dia segera meninggalkan Bai Ruotong. Kepalanya berputar membawa kabut darah itu kabur ke samping.
Lóng Hŭ Qī Shè Yìn ini pernah dia lihat saat pertarungan sebelumnya. Tahu jurus ini berbahaya, Cheng Jiangran langsung memilih menghindar tanpa sedikitpun niat untuk menyerang balik.
Aku saat ini menunduk melihat Bai Ruotong yang terbaring tak bergerak di tanah dengan tubuhnya berlumuran darah, amarah di kepalaku semakin membara. Dengan teriakan, aku menerjang ke arah kepala Cheng Jiangran yang melayang di udara.
Belajar dari pelajaran sebelumnya, dia selalu waspada. Setiap kali sebelum aku menyerang, dia selalu menghindar tepat waktu, bahkan sesekali menggunakan kabut darah di sekitar kepalanya untuk menyerangku. Aku pun harus terus mengelak sambil menyerang. Cheng Jiangran sekarang jelas sedang mengulur waktu, sama sekali tidak memberi kesempatan untukku menang!
Meski dadaku seperti hendak meledak karena marah, sisa logika dalam pikiran terus mengingatkanku:
Mengulur-ulur waktu dengan si keparat ini pasti bukan solusi. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sambil bertarung dengan Cheng Jiangran, otakku berpikir cepat. Jika ingin mengalahkannya dalam waktu singkat, hanya jurus Lóng Hŭ Qī Shè Yìn di tanganku yang bisa menghancurkannya. Tapi bagaimana caranya?
Tepat setelah Cheng Jiangran menghindari serangan ke-N-ku, tiba-tiba ada ide cemerlang di kepalaku. Aku menemukan cara untuk melawannya: kemenangan harus diraih dengan mengambil risiko!
Jika dia tidak mau memberi celah, maka aku yang akan membuat celah palsu! Saat dia memanfaatkan kesempatan untuk balas menyerang, saat itulah aku akan memberikan pukulan mematikan!
Memikirkan ini, aku dalam hati diam-diam bertekad. Begitulah caranya. Setelah memantapkan niat, aku mulai terus-menerus melancarkan serangan gencar ke arah Cheng Jiangran. Akhirnya, di bawah serangkaian seranganku yang tak henti ini, Cheng Jiangran mulai kewalahan. Aku memanfaatkan momen ini dengan sengaja menyandung kaki kiriku sendiri ke kaki kanan, membuat seluruh tubuhku seolah tersandung batu di tanah. Dengan teriakan keras, aku terjatuh ke tanah.
Saat terjatuh, mataku menyapu sekilas Cheng Jiangran. Melihat kejadian ini, matanya berkilat dingin. Kepalanya yang melayang di atas kepalaku berputar cepat, membawa kabut darah yang lebat langsung menyergapku.
Inilah kesempatan! Melihat ini, aku menyangga tubuh dengan satu tangan di tanah. Kaki yang menapak dan satu lengan kusentakkan sekuat tenaga, melompat dari tanah untuk menghindari kabut darah serangan Cheng Jiangran. Di udara, kumanfaatkan celah yang ada, ayunkan tangan kanan dengan segenap tenaga menghantam keras kepala Cheng Jiangran.
"Prak!!" Saat telapak tangan kananku menghantam kepala Cheng Jiangran, ia tak sempat menghindar. Tengkoraknya remuk seketika, percikan merah darah dan putih otak berhamburan, mengotori lengan dan tanganku.
Setelah kepala besar Cheng Jiangran hancur oleh jurus Lóng Hŭ Qī Shè Yìn di tangan kananku, aku tak buru-buru pergi. Berdiri di tempat, kukeluarkan Fu Pengusir Enam Jia dari tas ransel, kugenggam erat siap menunggu.
Benar, tak lama kemudian, bayangan hitam samar-samar perlahan muncul dari tengkorak Cheng Jiangran yang remuk. Bayangan hitam ini ternyata adalah hantu yin Cheng Jiangran. Tanpa ragu, segera kuempelkan Fu Pengusil Enam Ding Enam Jia yang kugenggam ke arah hantu yin tersebut.
Begitu Fu Pengusil Enam Ding Enam Jia menempel pada hantu yin, bayangan yang baru terbentuk itu pun berangsur-angsur menghilang hingga lenyap sepenuhnya...
Sejak saat itu, Cheng Jiangran si keparat terkutuk itu benar-benar hancur lebur, rohnya tercerai-berai tak tersisa!!
Sebenarnya setelah seseorang meninggal, semua kejahatan yang pernah dilakukannya semasa hidup sudah tak ada hubungannya lagi dengan dunia Yang. Kematian mengakhiri segalanya, hantu yin akan dibawa dan diadili di alam baka. Kecuali jika mereka melanggar aturan dua dunia Yin-Yang dengan kembali ke dunia Yang secara ilegal (atau dalam kondisi tertentu dimana hantu tak bisa masuk alam baka), barulah Aliran Longhu berhak membasminya. Tindakanku tadi jelas melanggar perjanjian dua dunia, dan pasti akan menghadapi pengadilan dari petugas neraka Yin Si. Tapi sama sekali tak kusesali!
Melihat hantu yin Cheng Jiangran lenyap selamanya dari dua dunia Yin-Yang, segera kuberlari menghampiri Bai Ruotong yang terbaring lemah di tanah.
Berlari ke sampingnya, aku segera mengulurkan tangan dan perlahan membantu Bai Ruotong bangkit dari tanah. Kugoyang-goyangkan kepalanya dengan lembut sambil berteriak: "Bai Ruotong, Bai Ruotong, bagaimana keadaanmu? Bangun, Bai Ruotong..."
Pada saat itu, Bai Ruotong perlahan membuka matanya setelah kugoyang-goyangkan terus. Ekspresi kesakitan di wajahnya berubah menjadi senyum tipis saat melihatku: "San... San Ge..." Suaranya lemah bagai benang halus.
"Jangan bicara! Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Tidak! Aku akan membawamu ke Dokter Hantu Yang Zhentian, dia pasti bisa menyembuhkanmu!!" Aku segera merogoh ponsel dari saku untuk menelepon pria gemuk agar segera menjemput kami.
Namun tiba-tiba Bai Ruotong mengulurkan tangan dan menggenggam lenganku dengan lemah:
"San Ge, tidak perlu. Aku tahu kondisi tubuhku sendiri... Organ-organ dalamku sudah hancur. Sekarang bahkan dewa pun tak bisa menyelamatkanku... Hah... Hah!..." Batuknya yang keras menyemburkan darah segar bercampur gumpalan daging berdarah!
Saat itu juga, air mataku tak terbendung lagi. Aku menatapnya dengan perasaan hancur.
"Tidak apa, Bai Ruotong jangan menakuti dirimu sendiri, Yang Zhentian adalah Dokter Hantu, pasti bisa menyelamatkan nyawamu, pasti bisa!!"
"San Ge, kamu... kamu tidak perlu menghiburku lagi, aku hanya ingin mengatakan beberapa kata yang tersimpan di hatiku sebelum pergi, apa kamu tidak mau mendengarkan?" Bai Ruotong menatapku dengan suara lembut.
"Baik, baik, aku dengar, kamu bicara, kamu bicara..." Aku mengangguk gemetar, berusaha menahan tangis sambil menatap Bai Ruotong.
"San... San Ge, sebenarnya... aku ingin memberitahumu sebelum jiwaku benar-benar hilang... Aku pernah mencintaimu, mungkin cinta, mungkin benar-benar menganggapmu sebagai kakak. Aku juga pernah berpikir untuk meninggalkanmu, berharap tidak akan mengganggumu lagi, tidak ingin membuatmu sulit dan sedih. Tapi aku takut tidak bisa, tapi... tapi sekarang aku benar-benar berhasil. Mulai hari ini, aku tidak akan pernah mengganggumu lagi... Aku pernah diam-diam mencintaimu tanpa tujuan, menahan malu dan siksaan cemburu. Sekarang akhirnya aku akan bebas, semoga langit benar-benar melindungimu dan Kakak Rushuang, bisa... bisa bersama selamanya..."
Bai Ruotong menatapku sementara air matanya mengalir perlahan di pipi pucat tanpa darah. Tetesan air matanya jatuh di tanganku seperti setetes air mendidih yang panas membara, membuat seluruh tubuhku bergetar!
“Bai Ruotong, kamu benar-benar bodoh. Aku tidak layak menerima pengorbananmu sebanyak ini, tidak layak, tidak layak!……” Aku menunduk memandangi Bai Ruotong yang semakin lemah, matanya setengah terbuka. Hatiku seperti ditusuk belati, namun hanya bisa menatap pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bai Ruotong tersenyum lemah sambil menggelengkan kepala, berbisik pelan: "Kakak Rushuang selalu bisa melindungimu dari badai, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Dulu saat bersamamu, aku hanya bisa menyaksikanmu terus-menerus menghadapi hidup dan mati, sementara aku tak berdaya... Jadi aku ingin... Setelah aku pergi, di dunia lain nanti akan terus mendoakanmu diam-diam, berharap kamu dan Kakak Rushuang selalu selamat... San Ge, kamu pasti akan melupakanku, kan?"
"Tidak, tidak akan..." Aku mengusap air mata dengan tangan gemetar, mengguncang kepala sambil memandanginya.
"San Ge... Kamu harus melupakanku. Pernah ada yang bilang padaku, ingatan itu seperti salju di bawah terik matahari. Tak peduli berapa lama bisa bertahan, akhirnya akan meleleh oleh mentari, menetes habis satu demi satu dalam aliran waktu. Benar kan? San Ge, katakan kalau perkataan itu benar. Katakan kamu pasti akan melupakanku. Hanya begitu aku bisa pergi dengan tenang..." Tatapannya yang tak berdaya menusukku, penuh permohonan.
Pada detik itu, seolah kudengar seluruh dunia berderak runtuh.
“Benar, kalimat itu benar... Aku akan melupakanmu, aku pasti akan melupakanmu...” Aku mengucapkan kata melupakan, tapi air mata mengalir di wajahku.
Apa itu melupakan?
Hanya dua karakter sederhana...
