Bai Ruotong mendengar ucapanku, sudut bibirnya naik sedikit dan berbisik lembut: "San Ge, terima kasih. Setelah aku pergi, akan kuberikan sesuatu yang mungkin bisa membantu kalian mencari Fenghuang Dan (Empedu Phoenix) untuk menghidupkan kembali Kakak Rushuang. Aku tulus mendoakan kalian..."
Begitu Bai Ruotong selesai bicara, tiba-tiba kurasakan tubuhnya yang terbaring di lenganku bergetar halus. Cahaya di matanya perlahan memudar, kelopak mata tertutup perlahan, kepalanya terkulai, rambut indahnya ikut terjuntai tanpa gerakan.
Jantungku berdebar kencang, aku berteriak: "Bai Ruotong! Bai Ruotong!" Tanganku segera meraba denyut nadi di pergelangan tangannya - sudah berhenti. Dadaku serasa terhimpit, jemariku menyentuh hidungnya - nafasnya pun tiada...
Tiba-tiba tubuh Bai Ruotong mulai memudar dan berangsur menghilang. Perlahan berubah dari manusia menjadi rubah putih bersih seluruh tubuhnya. Kutatap rubah dengan darah mengering di sudut mulutnya ini, jantungku kembali terasa diremas. Dia... selamanya tak akan bangun lagi...
Aku duduk diam di tempat sambil menunggu, menanti hantu yin Bai Ruotong keluar dari tubuhnya, bersiap mengantarnya untuk terakhir kali agar cepat bereinkarnasi.
Tapi yang muncul bukanlah hantu yin Bai Ruotong. Mayat rubah putihnya justru mulai menghilang sedikit demi sedikit. Setelah seluruhnya lenyap, di tanah hanya tersisa genangan darah dan sebiji mutiara putih jernih. Dengan tangan gemetar, kuambil mutiara itu dari genangan darah dan kugenggam erat.
Saat menggenggam mutiara itu, tiba-tiba seolah kudengar suara Bai Ruotong:
"Aku percaya Jalan, juga percaya Takdir. Takdir dan Jalan... bukan milikku..."
Suara serangga malam mulai terdengar di sekeliling hutan... sekali, dua kali, sunyi namun tenang. Di bulan-bulan panas musim panas ini, desiran mereka justru membawa hawa dingin bagai musim dingin, membuat bulu kudukku meremang...
Awan hitam masih menyelimuti bulan tanpa menyisakan secercah cahaya. Kilat menyambar panjang, menerangi padang luas bagaikan mata Langit yang tiba-tiba terbuka.
Apakah Langit benar-benar akan membuka matanya?
Ku tersenyum getir, mengejek diri sendiri. Satu lagi nyawa yang melayang demi menyelamatkanku! Semua ini karena apa?! Karena takdir kelahiranku yang bisa mematikan orang?! Atau karena Wu Bi San Que dari jalan Tao?!!
Saat itu aku tak tahan lagi mendongak dan mengaum, di langit mulai turun hujan rintik-rintik. Aku tak peduli titik-titik air yang menghujam tubuhku, hanya duduk lesu di tanah, memandang kosong noda darah Bai Ruotong di tanah yang perlahan tersapu air hujan...
Entah berapa lama, tangan seseorang menyentuh lembut bahuku. Tak ada kata yang terucap, hanya sentuhan itu yang tetap menempel.
Perlahan kupalingkan kepala. An Rushuang-lah yang datang.
Matanya menatapku penuh kelembutan, pengertian, bahkan kelapangan. Semua kelebihan seorang wanita terpancar dari dirinya pada saat itu.
"Rushuang, kau... sejak kapan kau datang?" tanyaku padanya.
"Sudah lama..." jawab An Rushuang dengan tenang.
"Dia seharusnya tidak mati! Andai dia tak mengenalku, pasti tak akan berakhir begini. Rushuang, katakan padaku mengapa semua orang di sekitarku harus mati karenaku? MENGAPA?!" Teriakku sambil menatapnya, memperlakukannya layaknya tempat curahan hati. Mataku masih basah, entah oleh air mata atau hujan.
An Rushuang setelah mendengar perkataanku, perlahan berjongkok dan bersandar di sampingku sambil berkata: "Shisan, meskipun Bai Ruotong tewas demi menyelamatkanmu, coba pikir sebaliknya—dengan membunuh Cheng Jiangran yang suka merugikan orang, kau secara tidak langsung telah menyelamatkan banyak nyawa. Sebagai perempuan, pengetahuanku terbatas, tapi aku mengerti prinsip Yin-Yang. Segala hal di dunia ini pasti memiliki sisi Yang (terang) dan Yin (gelap). Tidak ada yang mutlak benar, juga tidak ada yang mutbat salah."
Mendengar kata-kata An Rushuang, hatiku masih terasa tersekat. Memandangnya kubertanya: "Rushuang, dia seharusnya tidak mati. Semua ini karena aku..."
"Bai Ruotong memang telah pergi, tapi dia pergi tanpa penyesalan. Dia telah mengungkapkan semua isi hatinya, dan kau juga telah memenuhi permintaannya. Jadi kepergiannya tidak meninggalkan kekecewaan..." An Rushuang berkata lembut sambil menatapku.
Justru kata-katanya membuat hatiku semakin sakit. Seperti binatang yang terluka—bisa lari ke gua atau sudut gelap untuk menjilati lukanya sendiri, bertahan dan menunggu sembuh. Tapi begitu dapat hiburan yang hangat, malah tak tahan...
"Shisan, ada apa?" Suara An Rushuang penuh kecemasan saat menatapku yang lama terdiam.
“Ti...tidak apa-apa. Ngomong-ngomong Rushuang, kamu tidak marah kan?” Baru pada saat ini aku tersadar, menatap An Rushuang dan bertanya.
An Rushuang hanya menggelengkan kepala lembut ke arahku:
"Tidak..."
"Mengapa setelah Bai Ruotong meninggal, aku bahkan tidak bisa melihat hun-nya sekalipun?!" Tiba-tiba aku teringat sesuatu, menatap An Rushuang di sampingku dan bertanya.
An Rushuang terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaanku, lalu berkata: "Aku juga tidak yakin. Hanya bisa menduga hun-nya mungkin telah menjelma menjadi mutiara putih di genggamanmu itu."
Mendengar penjelasannya, perlahan kubuka genggaman tangan yang mencengkeram erat mutiara putih itu. Noda darah Bai Ruotong masih melekat di permukaannya. Melihat ini, dadaku sesak tak tertahankan, segera kusimpan mutiara itu ke dalam tas ransel.
Aku tak berani menghadapi kenyataan ini. Jika boleh lari, aku akan memilih kabur. Bukan karena pengecut, tapi karena beberapa penderitaan terlalu pedih, terlalu tak tertahankan.
"Shisan, kita harus pulang..." An Rushuang menatap langit yang terus menerus menghujani kami. Meski hujan tidak deras, bahkan tak sampai membasahi pakaian, angin dingin mulai berhembus di sekeliling - dingin yang menusuk tulang...
Tiba-tiba aku teringat Fang Ziyan yang ditikam Cheng Jiangran, lalu bertanya pada An Rushuang: "Rushuang, bagaimana kabar Fang Ziyan?"
"Tidak apa, aku sudah meminta seorang teman sekolahmu untuk menelepon ambulans dan mengantarnya ke rumah sakit. Aku ikut sampai mendengar dokter mengatakan tidak ada bahaya nyawa, baru kemudian datang mencarimu." An Rushuang berkata padaku.
Aku memandang An Rushuang sambil mengangguk, lalu menoleh terakhir kali ke tempat Bai Ruotong sebelumnya terjatuh. Berbalik badan, aku segera membawa An Rushuang kembali ke sekolah.
Di tengah hujan saat kembali ke sekolah, aku bertekad dalam hati: Besok akan menghubungi Si Bekas Luka untuk meminta cuti panjang tak terbatas. Aku tak ingin tinggal di sekolah lagi. Aku ingin pergi ke Pegunungan Salju Kunlun, menjelajahi makam terkutuk di Tanah Yin, mencari Legenda Air Suci Luohe untuk membantu An Rushuang bereinkarnasi sebagai manusia. Aku juga harus membantu Master Lu mencari helai roh terakhirnya, melacak persembunyian Xiangtian yang mengendalikan semua ini dari belakang layar. Tentu saja, aku juga harus mengungkap misteri jenazah perempuan di peti mati kayu Dinasti Shang yang mirip sekali dengan Bai Ruotong.
Jangan dikira aku melupakan pengkhianat Sekte Mao Shan, orang yang memberiku kutukan penarik jiwa itu, keluarga Lin yang selalu ingin mencabut nyawaku - Lin Muxin dan ayahnya, serta Siluman Ular yang mengganggu ketenangan keluargaku sejak kecil. Semua ini telah berakar dalam di relung hatiku bagai bekas besi panas yang takkan terhapus...
Sambil terus merenung, tanpa sadar aku sudah sampai di sekolah. Untuk menghindari masalah, aku tidak memanggil penjaga gerbang, tapi langsung memanjat tembok dari luar.
Saat aku kembali ke asrama, Leizi, Lao Huang, dan Si Gigi Kelinci tidur pulas seperti babi mati. Kira-kira meski ada gempa beneran, mereka takkan terbangun.
Duduk di kasurku, perasaanku benar-benar hancur. Pikiran dipenuhi tatapan Bai Ruotong sebelum mati dan ucapannya padaku...
Menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran itu, aku melepas baju dan melihat jam di ponsel. Sudah lewat pukul 3 dini hari.
Terbaring di kasur, aku bolak-balik tak bisa tidur. Pikiran kacau sampai akhirnya tertidur lemas saat fajar menyingsing...
