Dalam kondisi setengah sadar, kurasakan tubuhku seakan diinvasi ribuan ulat berapi. Mereka merayap ke seluruh tubuh sebelum akhirnya berkumpul di dahi, dada, dan Dantian - semakin panas...
Perasaan ini berlangsung selama lebih dari sepuluh menit sebelum perlahan menghilang. Aku baru mulai merasakan hawa dingin yang meresap dari batu di bawah tubuhku.
Dalam keadaan setengah sadar, mataku terbuka sebagian. Pandanganku kabur, tapi perlahan kudengar suara An Rushuang yang memanggilku di samping.
"Shisan, Shisan, apakah kau sudah bangun?……"
Meski terus mendengar An Rushuang memanggil, mataku tetap tak bisa terbuka sepenuhnya. Pandangan kabur seperti kabut air, putih kabur di mana-mana.
Seiring pulihnya kesadaranku, keadaan mataku yang tak bisa membuka dan tak melihat apapun membuat hatiku berdesir – jangan-jangan aku… aku buta?!
Begitu pikiran ini muncul, rasa gelisah langsung menyergap. Segera kusampaikan pada An Rushuang: "Rushuang, mataku tak bisa membuka. Aku tak melihat apapun……"
An Rushuang yang duduk di sampingku langsung meraih tanganku. Ia segera bertanya pada Qiu Shasha: "Qiu Shasha, Shisan sudah sadar tapi matanya tak bisa melihat. Ini bagaimana?"
Tak lama kemudian, suara Qiu Shasha terdengar: "Tenang, itu efek air mata hantu yang jadi medium tadi menutupi matanya. Sebentar lagi akan sembuh sendiri."
"Mendengar perkataan Qiu Shasha ini, aku langsung merasa legawa, untung tidak ada masalah. Kalau tidak, tiba-tiba kedua mataku buta seperti ini, aku benar-benar tidak sanggup menerimanya."
"Shisan, jangan takut. Sebentar lagi akan membaik. Sekarang juga tidak ada masalah. Aku di sini menemanimu mengobrol, ya?" An Rushuang memegang tanganku dengan lembut, berbicara pelan di sampingku.
"Bagus. Ngomong-ngomong Rushuang, di zaman Dinasti Tang kalian pakai uang apa untuk berbelanja? Koin tembaga?" Aku mengajukan pertanyaan acak yang terlintas di pikiran.
"Banyak jenisnya. Misalnya Fengquan Bao, Kaiyuan Tongbao, Qianyuan Zhongbao, Deyi Yuanbao, Shuntian Yuanbao, Dali Yuanbao, Jianzhong Tongbao, Kaitong Xuanbao, dll. Tapi di zaman saya, yang umum adalah tiga jenis ini: Kaiyuan Tongbao, Qianyuan Zhongbao, dan Jianzhong Yuanbao." An Rushuang menjelaskan padaku.
"Kalau di zaman itu orang yang pakai perak atau emas, bagaimana mereka memberi kembalian? Masa harus bawa timbangan terus-menerus untuk menimbang berapa tahil perak pecahan itu?" Aku mengajukan pertanyaan yang sejak kecil menonton film silat belum pernah kupahami. Sebenarnya aku selalu bingung, kenapa orang zaman dulu bisa langsung mengeluarkan perak pecahan di penginapan, lalu pelayan bisa langsung memberi kembalian?
“An Rushuang, setelah mendengar pertanyaanku ini, kemudian berkata padaku: "Sebenarnya, di zaman kami, sangat sedikit orang yang menggunakan perak. Kebanyakan orang menggunakan keping tembaga. Shisan, coba bayangkan, kalau setiap orang harus membayar makan dengan perak, berapa banyak perak yang dibutuhkan? Lagipula sulit menentukan kemurnian dan berat perak. Penukaran uang juga akan menimbulkan masalah. Menurutku serpihan perak itu beratnya 1 liang 3 qian, sedangkan menurutmu 1 liang 5 qian. Jika terus bertengkar seperti ini, bukankah bisa membuat orang mati kelelahan? Jadi di zaman kami, penggunaan perak benar-benar sangat langka. 1.000 keping tembaga sudah cukup untuk beberapa bulan. Ngapain setiap hari membawa-bawa serpihan perak kemana-mana? Lagian tidak banyak orang yang bisa menukarkannya." An Rushuang menjelaskan dengan sangat detail padaku. Ucapannya ini menjawab kebingungan yang kumiliki sejak kecil akibat menonton film silat.
"Lalu apa yang biasa kalian lakukan sehari-hari? Di zaman kalian kan tidak ada listrik maupun internet, pasti membosankan ya?" Aku yang terbaring di atas batu terus bertanya pada An Rushuang. Saat ini, mataku perlahan mulai bisa melihat benda-benda secara samar-samar. Perkiraanku, tidak lama lagi penglihatanku akan pulih sepenuhnya.
"Tidak menarik? Ah tidak juga. Sejak kecil, waktu untukku sendiri sangat sedikit. Pada usia lima tahun aku sudah mulai belajar Gu Zheng, Weiqi, kaligrafi, dan lukisan tradisional. Jadwal harianku selalu padat, bahkan untuk bermain sebentar dengan anjing di halaman rumah pun harus menghitung waktu. Seiring bertambah usia, aku mulai belajar seni mengelola rumah tangga, membantu suami dan mendidik anak. 'Cantik tanpa genit, anggun tanpa dingin, berpendidikan dan tahu sopan santun, menahan ekspresi'—itu adalah standar penilaian gadis belum menikah di era kami." An Rushuang berbicara padaku dengan serius kalimat demi kalimat.
"Astaga, harus belajar sebanyak itu? Bukankah itu sangat melelahkan? Sampai tidak ada waktu untuk jalan-jalan." Mendengar perkataan An Rushuang, hatiku tak tega membayangkan kehidupannya. Hidup seperti itu, jika aku yang mengalaminya, pasti akan menyiksaku sampai mati.
"Jalan-jalan? Mustahil. Keluar rumah sekali saja sangat sulit bagiku." An Rushuang menatapku.
"Apa? Mengapa?!" Perkataan An Rushuang ini membuatku terkejut. Ini keterlaluan. Jika gadis ini lahir di zaman kuno, hidupnya hampir sama dengan tahanan rumah zaman sekarang.
"Era kami sangat feodal. Reputasi perempuan sangat penting. Jika ada gadis yang sering keluar rumah dan terlihat di publik, akan dianggap tidak sopan. Tiga ketaatan dan empat kebajikan, tersenyum tanpa memperlihatkan gigi, berjalan dengan menunduk—pada masa itu, perempuan dianggap cantik dengan cara seperti itu." An Rushuang menjelaskan.
"Mendengar perkataan An Rushuang, aku mengangguk dan melanjutkan: 'Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan ini aku paham. Yang dimaksud 'Tiga Kepatuhan' adalah: Sebelum menikah patuh pada ayah, setelah menikah patuh pada suami, jika suami meninggal patuh pada anak. 'Empat Kebajikan' adalah: Moralitas, penampilan, tutur kata, dan cara mengatur rumah tangga. Benar kan?" Saat berbicara, aku melirik ke arah An Rushuang dan menyadari penglihatanku mulai bisa membedakan rupanya dengan jelas. Tampaknya mataku sudah hampir pulih.
An Rushuang mengangguk padaku:
"Shisan, kau benar..."
"Tapi wanita di zaman kita sekarang juga punya Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan versi baru. Rushuang, tahukah kau apa itu?" Aku menatap An Rushuang sambil bertanya.
Mendengar pertanyaanku, An Rushuang segera menjawab: "Aku benar-benar tidak tahu. Coba jelaskan."
"Tiga Kepatuhan wanita modern: Tidak pernah lemah lembut, tidak pernah perhatian, tidak pernah masuk akal. Empat Kebajikan: Tidak boleh dikritik, tidak boleh dipukul, tidak boleh dimarahi, tidak boleh diusik..." Aku menjelaskan sambil menatap An Rushuang.
Mendengar ini, An Rushuang tak bisa menahan tawa kecilnya. Melihat senyum manisnya yang memesona, hatiku ikut berbunga-bunga. Senyumnya bagai mampu menghapus segala keresahan.
Persis di saat itu, Qiu Shasha yang baru saja datang dari mulut gua berkata pada kami: "Sekarang aku sudah membantu menyelamatkan Shisan. Di sini sudah tak ada lagi urusanku. Aku tidak akan jadi lampu listrik. Silakan kalian berdua ngobrol... ngobrol saja berduaan..." Sebelum sempat kami menjawab, dengan gerakan gesit ia melesat keluar gua seperti angin.
“Hei, Qiu Shasha……” Melihat sosok Qiu Shasha yang menghilang di mulut gua, aku hanya bisa menelan kembali kata-kata yang tersisa. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi hal-hal yang Qiu Shasha lakukan untukku, mungkinkah hanya dengan satu kata "terima kasih" bisa menggambarkan semuanya?
“Sifat Qiu Shasha semakin terburu-buru, perginya sangat cepat.” Aku melihat An Rushuang sambil berkata.
An Rushuang terus menatap ke arah Qiu Shasha yang menjauh. Setelah lama, barulah dia menghela napas tipis dan menoleh padaku: “Mungkin bukan sifatnya yang terburu-buru, tapi dia takut jika berjalan terlalu lambat, air matanya akan terlihat oleh kita...”
Saat mendengar perkataan An Rushuang ini, tubuhku kaku seketika. Aku terdiam di tempat, tak tahu harus berkata apa. Aku tidak ingin dan tidak berani memikirkan makna kata-kata An Rushuang ini, hanya bisa membaringkan diri di batu, menutup rapat kedua mata, mengosongkan pikiran, dan menghela napas panjang...
“Shisan, jika aku tidak bisa terlahir kembali sebagai manusia, aku bisa menerimamu memiliki wanita lain.” An Rushuang tiba-tiba mengucapkan kalimat ini tanpa alasan yang jelas.
“Tidak, aku sendiri tidak bisa menerima...” Aku menggelengkan kepala dengan sangat serius sambil menatap An Rushuang.
