Setelah mendengar ucapanku, cahaya redup di mata An Rushuang tiba-tiba bersinar. Itu adalah cahaya sukacita yang muncul dari kedalaman hatinya.
“Aku bisa melihat, An Rushuang setelah mendengar ucapanku tadi, matanya dan alisnya mulai terlihat rileks. Dia tidak mengatakan apapun padaku, hanya mengangguk dan berbisik lembut satu kata:”
“Baik.”
……
“Rushuang, kamu janji padaku, jangan pernah lagi mengatakan kata-kata seperti itu. Aku sakit hati mendengarnya. Aku tidak ingin kamu merasa tersakiti sedikitpun. Aku hanya menyukaimu, hanya ingin bersamamu seumur hidup. Posisimu di hatiku, tak bisa digantikan siapapun.” Aku menatap An Rushuang dengan serius.
“Baik, aku janji...” An Rushuang menatapku dengan mata yang mulai memerah.
Suasana sekitar tiba-tiba terasa "mesra". Kami saling memandang. Melihat pipi cantiknya yang mulai memerah, wajahku sendiri juga terasa panas membara...
“Shisan, mata... matamu sekarang sudah bagaimana?” An Rushuang pertama kali memecahkan keheningan yang canggung ini.
“Sudah jauh lebih baik, penglihatanku pulih. Sepertinya energi Yang dalam tubuhku mulai bertambah, seluruh tubuh terasa hangat. Mau aku coba bangun dari batu ini?” Tanyaku pada An Rushuang yang berdiri di samping.
An Rushuang mengangguk:
“Baik, pelan-pelan ya.”
Sesuai perkataannya, aku perlahan mencoba bangkit dari batu abu-abu ini. Meski ada sedikit pusing ringan, kali ini berbeda dengan sebelumnya - rasa tubuh terkuras dan lemas tak berdaya sudah hilang.
“Tidak apa-apa.” Kataku pada An Rushuang.
An Rushuang melihat aku bisa bangkit dari batu ini, wajahnya langsung cerah. Ia buru-buru berkata padaku: "Shisan, pelan-pelan coba turun dari batu ini."
"Baik." Aku mengiyakan, perlahan meluncur turun dari batu. Kedua kakiku menyentuh tanah. Tapi tepat saat aku berdiri, kaki langsung lemas. Seluruh tubuhku limbung dan terjatuh ke depan.
"Hati-hati!!" An Rushuang yang terus mengawasiku berteriak kaget. Ia menyodorkan lengannya, menyangga tubuhku yang hendak terjatuh.
Berkat sokongan An Rushuang, aku berhasil berdiri lagi. Perlahan kekuatan mulai kembali ke kedua kakiku.
"Shisan, kenapa?" tanya An Rushuang dengan cemas.
"N...nggak apa-apa. Cuma terlalu lama terbaring di batu tadi. Baru turun, kaki masih lemes." Kubuang tangan untuk menenangkannya.
"Beneran nggak apa-apa?" An Rushuang perlahan menarik kembali lengannya. Kucoba melangkah pelan. Meski kaki masih lemas dan mati rasa, setelah berjalan beberapa langkah, perlahan sensasi itu menghilang...
Mengelilingi gua yang tidak terlalu besar ini sebentar, tubuhku perlahan mulai pulih tenaga. Namun masih terasa sangat lelah, meskipun sudah memiliki energi Yang, jumlahnya tidak banyak. Saat ini aku seperti pasien yang baru sembuh dari sakit berat.
Aku berniat segera mulai duduk bersila untuk meditasi, melatih energi Yang dalam diri. Memikirkan ini, aku buru-buru menoleh ke An Rushuang: "Rushuang, aku akan meditasi menggunakan Teknik Pemurnian Diri untuk melatih energi Yang di Dantian. Pertama untuk menguji apakah tiga titik vital dalam tubuhku sudah benar-benar pulih. Kedua, memulihkan energi Yang dengan cepat."
"Baik, kau fokuslah berlatih. Aku akan menemanimu." An Rushuang langsung menyetujui. Dalam segala situasi dan waktu, dia selalu begini - setia mengikuti tanpa keluhan atau ketidakpuasan...
Jika mendapat istri seperti An Rushuang, hati takkan menyesal, suami takkan meminta lebih.
Di dalam gua ini, aku mencari tempat yang relatif bersih lalu duduk bersila memulai Teknik Pemurnian Diri untuk memulihkan energi Yang dalam tubuh dengan cepat.
Saat energi Yang yang tersisa di Dantian terkumpul, kukendalikan alirannya menyusuri seluruh tubuh. Kembali mengendap di Dantian bawah, energi Yang di sana perlahan bertambah banyak.
"Setiap kali melakukan ini, membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Aku mengulanginya tiga kali berturut-turut. Energi Yang dalam tubuhku sudah pulih sekitar 70-80%, baru kusimpan. Setelah membuka mata, luar gua sudah mulai terang. Tampaknya hari ini cuaca cerah lagi, saatnya untuk kembali."
Sambil berpikir begitu, perlahan aku bangkit dari tanah, membersihkan debu di baju. Suara An Rushuang terdengar dari belakangku:
"Shisan, apa kondisimu sudah membaik?" Suaranya terdengar lelah.
Mendengar pertanyaannya, aku tidak langsung menjawab. Pertama-tama menoleh memandangnya. Meski wajah cantiknya masih tersenyum tipis, tapi dari kedalaman matanya kulihat bayangan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
"Rushuang, kamu lelah ya?" Kutatap An Rushuang sambil bertanya. Meski dia hantu dengan level 100 tahun, tapi merawatku siang-malam tanpa henti, selalu mendampingi dengan penuh perhatian - bahkan level 500 tahun pun pasti akan kelelahan.
Yang paling penting, di siang hari yang seharusnya bukan waktu munculnya, An Rushuang tetap tidak meninggalkanku. Meski sinar matahari tidak masuk ke gua, tetap saja berpengaruh padanya.
"Tidak, aku tidak lelah." An Rushuang menggelengkan kepala dengan keras kepala.
"Jangan memaksakan diri. Sekarang kembalilah ke Giok untuk istirahat. Aku juga akan bersiap-siap untuk menembus Hutan Lebat dan pulang hari ini." Kataku pada An Rushuang.
“Aku tidak tega membiarkanmu pergi sendirian. Bagaimana kalau kau tunggu sampai malam, aku akan langsung membawamu terbang keluar dari hutan lebat ini.” An Rushuang memandangku dengan cemas.
Aku berpikir sejenak, akhirnya mengajukan solusi kompromi: meminta An Rushuang kembali ke dalam giok untuk beristirahat terlebih dahulu, sementara aku akan membereskan barang dan melanjutkan perjalanan. Berjalan sejauh mungkin di siang hari, lalu malam harinya biarkan An Rushuang yang membawaku keluar.
Meski masih khawatir, di bawah desakan kerasku, An Rushuang akhirnya mengangguk dan terbang kembali ke dalam giok untuk beristirahat.
Melihat An Rushuang telah kembali ke dalam giok, hatiku pun lega. Segera kusiapkan tas ranselku, melirik terakhir kali ke gua penyelamat nyawaku dan batu besar berwarna abu-abu itu, lalu berbalik dan melangkah mantap keluar dari mulut gua.
Keluar dari gua, tak ada jalan di kiri-kanan. Hanya vegetasi yang agak jarang di depan yang masih bisa dilalui. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyusuri area tersebut.
Tak berjalan lama, aku menemukan anak sungai mengalir. Pertama kuhampiri untuk membasuh muka, lalu mengisi botol minum sampai penuh. Setelah itu, bangkit berdiri dan bersiap mencari arah untuk melanjutkan perjalanan.
Jika ingin keluar dari pegunungan dan hutan lebat ini, aku harus berjalan ke arah selatan. Jadi hal terpenting saat ini adalah menentukan arah dengan tepat.
Tapi di tengah hutan rapat ini, pepohonan dan semak tumbuh begitu lebat. Semua penjuru terlihat sama. Tanpa kompas penunjuk arah, sangat sulit membedakan orientasi.
1. Tapi bagi anak desa sepertiku yang tumbuh di kaki gunung dan sering bermain sendirian di hutan, hal ini terlalu mudah. Banyak sekali cara yang bisa digunakan. Semua ini kupelajari dari para pencari jamu dan pemburu di desa.
Meski metode tradisional, tapi akurat. Beberapa cara sederhana di antaranya adalah:
1. Di Hutan Lebat, sisi selatan batu biasanya kering sedangkan sisi utara lembab dan sering berlumut. 2. Pohon persik dan pohon pinus mengeluarkan lebih banyak getah di sisi selatan. 3. Lingkaran tahun pada tunggul pohon, bagian yang menghadap selatan lebih renggang sedangkan utara lebih rapat. 4. Salju di celah gunung atau batu yang sulit mencair selalu berada di sisi utara. 5. Sarang semut biasanya di sisi selatan pohon besar dengan mulut sarang menghadap selatan. Dan lain-lain...
Semua metode ini adalah warisan turun-temurun dari nenek moyang kami orang desa. Jika kalian bisa mengukirnya dalam hati, mungkin suatu saat bisa menyelamatkan nyawamu.
Dengan cara paling tradisional, kutemukan arah selatan lalu berjalan membungkuk ke sana...
