Sepanjang perjalanan kugunakan waktu seefisien mungkin. Kadang kupetik buah liar yang kulewati, kumasukkan ke tas ransel lalu terus berjalan.
Baru ketika benar-benar lelah, kuberhenti. Duduk di tempat, makan buah liar, istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.
Meskipun perjalanan ini sangat sulit, untungnya masih berjalan lancar tanpa insiden. Setelah berjalan hampir seharian, selain burung dan serangga, bahkan satu pun hewan liar tidak kujumpai.
Begitulah, aku terus berjalan sepanjang hari. Saat hari mulai gelap, aku mencari tempat terbuka di sekitarku. Karena tidak ada tenda, aku berniat menyalakan api unggun di sini untuk mengeringkan pakaian. Hanya menunggu malam tiba, An Rushuang akan keluar dari Giok dan mengantarku pergi.
Tepat saat api unggun menyala dan pakaian serta sepatuku baru saja kering, langit pun berangsur gelap. Tak lama kemudian, cahaya putih samar terpancar dari liontan giok di leherku. An Rushuang segera terbang keluar dari dalam giok.
"Hmm... Shisan, ada aroma apa di sekitar sini?" Setelah keluar dari giok, An Rushuang mengendus-endus dengan hidung mungilnya sambil menatapku penuh tanya.
"Ah... Itu, ikan asin di tas ranselku sudah kadaluwarsa dan busuk... Kubakar di api unggun..." Aku menjelaskan sambil diam-diam mengenakan kembali sepatu dan kaus kaki di depan kakiku.
Sungguh aneh. Biasanya kakiku tidak berbau seperti ini. Apa yang terjadi hari ini? Mungkin karena terlalu lama berjalan di alam liar?
“Oh……” Setelah mendengar perkataanku, An Rushuang tidak bertanya lebih lanjut. Ia mendekatiku dan berkata, “Duduklah di sini beristirahat. Sebentar lagi aku akan membawamu terbang keluar dari hutan lebat ini.”
“Jaraknya masih jauh sekali, apa kamu tidak capek?” Tanyaku pada An Rushuang dengan rasa khawatir.
An Rushuang menggelengkan kepala pelan, suaranya penuh keyakinan, “Tidak. Tenang saja, tidak masalah.”
“Baik kalau begitu.” Setelah mendapat jawaban pasti darinya, aku langsung berdiri dan berkata, “Aku tidak perlu istirahat. Apa kita berangkat sekarang?”
“Boleh!” An Rushuang mengangguk lalu bertanya, “Ngomong-ngomong Shisan, kamu mau aku peluk atau pigang?”
Pertanyaannya membuatku tersentak. Sebagai pria sejati, rasanya memalukan jika harus dipangku atau digendong istri sendiri. Pipiku terasa panas.
An Rushuang yang membaca kegelisahanku langsung menghampiri. Ia memelukku erat dari belakang. Tiba-tiba tubuhku terasa ringan, melayang ke udara bersama An Rushuang yang terbang cepat ke arah selatan.
Ini adalah pengalaman kedua kalinya 'terbang' seperti ini. Pertama kali terjadi di rumah Tukang Kayu Cheng, saat aku, Leizi, dan kakek berusaha mengusir hantu perempuan yang merasuki tubuhnya. Saat itu An Rushuang tiba-tiba muncul dan menyelamatkuku di udara dengan energi Yin-nya.
Menunduk melihat pepohonan di bawah kaki, mendongak memandang bintang-bintang di langit, lalu melirik pemandangan malam di depan. Setelah An Rushuang mengangkatku ke udara, mataku tak henti-hentinya memandang ke segala arah.
Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah terasa nyaman yang tak terucapkan.
"Shisan, kamu takut ketinggian?" tanya An Rushuang sambil menatapku.
"Lumayan, tidak terlalu takut." Jawabku. Sebenarnya karena An Rushuang ada di sampingku. Keberadaannya membuatku tenang di mana pun.
"Baguslah." An Rushuang semakin erat memelukku.
Baru sekarang kusadari punggungku menempel erat di dada An Rushuang. Sensasi lembut dan nyaman itu segera menyebar ke seluruh tubuhku...
Zuo Shisan! Jangan berpikir macam-macam! Jangan! Jangan!... Aku terus mengingatkan diri sendiri. Tapi psikologi manusia memang rumit - semakin dilarang memikirkan sesuatu, semakin tak terkendali.
Sama sekali tak bisa dikontrol.
"Shisan, kenapa? Nafasmu semakin berat. Benarkah tidak takut ketinggian?" An Rushuang menunduk memandangku dengan curiga.
"Ti... tidak apa-apa. Sungguh tidak takut. Hidungku agak tersumbat..." Aku mengarang alasan.
"Baiklah." An Rushuang menurunkan ketinggian, terbang rapat di atas puncak-puncak pohon hutan lebat.
“Dengan demikian, sepanjang perjalanan aku terus berusaha menenangkan pikiran yang kacau, terombang-ambing antara keinginan untuk tidak memikirkan hal-hal aneh dan kegelisahan yang tak terbendung. Aku sama sekali lupa mengagumi pemandangan langka di langit malam ini.”
“Tak tahu berapa lama waktu berlalu, tiba-tiba An Rushuang menunduk dan berkata padaku: "Shisan, lihatlah ke depan! Kita sudah sampai."”
“Mendengar perkataan An Rushuang, aku baru tersadar. Mengangkat kepala dan memandang ke depan, ternyata An Rushuang sudah membawaku terbang melewati hutan lebat sebelumnya. Di sepanjang jalan setapak di depan, terlihat parit pertahanan mengelilingi kota yang dipenuhi gemerlap lampu!”
“Melihat kerlipan lampu-lampu itu, aku menghela napas lega. Akhirnya kita kembali!”
“"Rushuang, turunkan aku di jalan setapak itu. Aku bisa jalan kaki sendiri. Kalau ada yang melihatmu lalu memotret dan mengunggahnya ke Weibo atau WeChat, kita bakal jadi viral seketika," kataku pada An Rushuang.”
“"Hah? Weibo WeChat itu apa?" An Rushuang bertanya dengan wajah bingung.”
“"Err... Bagaimana menjelaskannya? Sejenis alat untuk mengobrol, berteman, dan melihat berita menarik," jawabku dengan samar.”
“"Oh, begitu. Shisan, aku akan menurunkanmu di persimpangan depan. Lebih dari itu sudah ada orang," kata An Rushuang.”
“"Baik."”
……
“Setelah An Rushuang menurunkanku dari udara, dia tidak masuk kembali ke Giok. Malah ikut turun dan menemani aku berjalan di jalan ini menuju kota di depan.”
Sepanjang perjalanan, aku dan An Rushuang saling bercakap. Dia menceritakan hal-hal menyenangkan dari zamannya, sementara aku membagikan kejadian seru di era kami.
Meski An Rushuang telah ada di dunia selama ribuan tahun dan menemani aku lebih dari sembilan tahun, pemahamannya tentang dunia modern masih terbatas. Pengetahuan yang didapat hanya melalui penglihatan mata memang jauh kalah dibanding informasi dari internet.
Meski jarak ke kota depan cukup jauh, kehadiran An Rushuang yang terus menemani mengobrol membuat perjalanan terasa singkat. Dengan canda tawa, kami tiba di sungai pertahanan kota. Melewati jembatan batu, aku mengajaknya memasuki metropolis modern ini.
Jika ingatanku benar, ini pertama kalinya dalam sembilan tahun pernikahan kami, aku mengajak An Rushuang jalan-jalan di kota modern seperti ini.
An Rushuang tampak gembira. Dengan menampakkan wujudnya, dia terus menunjuk ke berbagai tempat sambil bertanya: "Ini apa?" "Itu apa?" Aku pun dengan sabar menjelaskan sambil tersenyum.
Aku masih bingung kota ini termasuk wilayah Xiangxi mana, tapi jelas ini kota besar yang sangat megah, jauh lebih mentereng dibanding Dongdian tempat kami.
An Rushuang berlari mengelilingi pohon kamper yang dipenuhi lampu warna-warni di pinggir jalan. Di depan, dia terpana melihat lapak-lapak kecil di pasar malam yang menjual berbagai mainan unik.
Pada saat ini, sifat kekanak-kanakan An Rushuang mulai terlihat di hadapanku. Sepanjang jalan aku mengikutinya dengan erat, melihatnya bermain begitu gembira, bibirku tak sengaja meregang ke atas.
Untungnya saat ini An Rushuang hanya menampakkan wujudnya di hadapanku sendiri. Jika dia muncul di tengah keramaian pasar malam ini, kurasa sepanjang jalan pasti banyak yang akan mendekatinya untuk mengajak ngobrol.
"Shisan, lihat mereka sedang apa?!" Tiba-tiba An Rushuang berlari ke sampingku, menunjuk dua orang di depan dengan penuh keheranan dalam suaranya.
