Memandang Xiao Ran yang terbaring tak bergerak di lantai, semakin lama semakin sakit hati yang luar biasa. Dari tas ransel, kuambil foto Master Lu yang bernoda darah. Setelah kulihat lebih seksama, baru kusadari foto ini ternyata hasil jepretan diam-diam Xiao Ran.
Dalam foto itu, Master Lu sedang bersila bermeditasi di tengah hutan bambu Gunung Naga Harimau. Xiao Ran mengabadikan momen ini secara diam-diam. Kumasukkan kembali foto Master Lu ini ke dalam saku baju di dada Xiao Ran.
Perlahan kubopong tubuhnya dari lantai giok, lalu kugendong di punggung. Kulemparkan pandangan ke seluruh ruangan istana ini. Aku ingin menemukan roh yin Xiao Ran, menyegelnya, lalu membawa jenazahnya keluar dari sini. Sekali-kali tidak boleh membiarkan rohnya terperangkap abadi di istana ini!
Tapi setelah menyisir seluruh istana dengan cermat, sama sekali tidak kudapati bayangan roh yin Xiao Ran!
Seharusnya tidak, di sini kan Tanah Enam Yin, Xiao Ran mati di tempat ini, pasti hantu yin-nya terperangkap di sini dan tidak bisa kabur. Tapi kenapa aku tidak melihatnya? Memikirkan ini, aku kembali mengamati dengan seksama, tetap saja tidak terlihat apa-apa.
Hasil ini membuat secercah harapan yang baru saja mati di hatiku tumbuh seperti rumput setelah hujan musim semi!
Mungkinkah... mungkinkah Xiao Ran sampai sekarang belum mati?!
Memikirkan ini, jantungku berdebar kencang. Segera aku menurunkan Xiao Ran dari punggungku dengan hati-hati, membaringkannya di lantai batu giok. Kucoba lagi merasakan nafas dan detak jantungnya - masih tidak ada, seluruh tubuhnya juga dingin membeku.
Aku sudah mencoba melakukan kompresi jantung beberapa kali pada Xiao Ran, tapi dia tetap terbaring tanpa reaksi. Ini membuatku bingung, sebenarnya Xiao Ran sudah mati atau belum?
Jika katanya dia sudah mati, kenapa hantu yin-nya tidak keluar dari tubuh? Jika katanya belum mati, kenapa tidak ada tanda kehidupan sama sekali? Tidak ada nafas, detak jantung, maupun suhu tubuh.
Ah, lebih baik kutahan dulu dalam hati. Yang penting sekarang harus segera membawa Xiao Ran kabur dari Tanah Enam Yin ini. Di luar sana ada energi Yang, hanya dengan begitu Xiao Ran punya harapan untuk bertahan hidup.
Semakin lama berlama-lama di sini, semakin tidak baik. Lagipula aku juga ingin segera keluar dari tempat ini.
Setelah memikirkan hal ini, aku kembali menggendong Xiao Ran dari tanah dan berjalan menuju pintu batu yang kulewati saat melarikan diri sebelumnya. Sesampainya di depan pintu batu, aku melanjutkan instruksi Xiao Ran sebelumnya dengan mencari batu bata kedua dan menginjaknya sekuat tenaga menggunakan kaki kiri.
Tapi kali ini berbeda dari sebelumnya. Setelah kuinjak perangkap itu, pintu batu di depanku sama sekali tidak menunjukkan reaksi sedikit pun!
Melihat ini, hati saya menjadi dingin. Kukinjak lagi beberapa kali, namun hasilnya tetap sama.
Apa pintu batu ini cuma sekali pakai atau perangkatnya rusak? Dasar nasib sialku ini!
Karena pintu batu ini tidak terbuka, aku memutuskan mencoba peruntungan di pintu batu lain. Dengan tergesa, kubawa Xiao Ran berbalik menuju pintu batu di seberang.
Di tengah perjalanan, mataku menangkap sosok ular naga yang sebelumnya terbunuh dan tergeletak tak bergerak di tanah. Melihatnya lagi, tiba-tiba muncul pikiran dalam benakku:
Jika ular naga ini sudah menjadi makhluk gaib, mungkinkah ada "Neidan" di dalam tubuhnya?
Sejak kecil, kakek sering bercerita padaku bahwa hewan berumur panjang pasti memiliki "mutuara dalam tubuh", terutama makhluk air seperti naga, ikan, kura-kura, dan kerang. Mutiara halus bulat yang mereka suka telan dan keluarkan di bawah bulan itu sebenarnya manifestasi energi spiritual yang terkumpul selama ribuan tahun, sebuah sifat bawaan alami makhluk-makhluk tersebut.
Ini adalah benda bagus, bahkan bisa menyelamatkan nyawa orang jika ada. Xiao Ran saat ini setengah hidup, mungkin bisa diselamatkan dari gerbang kematian jika memakannya. Jangan sampai terbuang percuma.
Memikirkan ini, aku mengeluarkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks dari tas ransel, lalu berjalan mendekati ular naga itu.
Mendekati ular naga itu, pertama-tama aku meletakkan Xiao Ran dengan lembut dari punggungku. Melihat tubuh raksasa sepanjang lebih dari 10 meter ini, aku bingung harus mulai dari mana?
"Dari belakang kepala saja," hatiku memutuskan. Aku berjalan ke kepala ular naga itu, lalu membalikkan badan dan menunggangi tubuhnya. Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di tanganku menusuk keras ke tubuhnya, tapi tak bisa membelah. Kulit ularnya terlalu tebal dengan sisik kokoh, harus dilakukan perlahan.
Dengan sabar, aku mulai mengiris kulit ular sedikit demi sedikit, meraba-raba dagingnya mencari inti energi ular naga ini.
Usaha tak mengkhianati hasil. Setelah bekerja lebih dari satu jam, akhirnya kutemukan "inti energi" sebesar bola pingpong berwarna putih di dalam tubuh ular naga ini.
Pertama kuambil benda itu, membersihkan darah yang menempel. Setelah diperhatikan dengan seksama, "inti energi" ini ternyata mirip dengan yang dimiliki Bai Ruotong setelah berubah wujud.
Sudahlah, saat ini seperti kuda mati yang diobati sebagai kuda hidup, mari kita coba saja. Setelah berpikir begitu, aku segera membuka mulut Xiao Ran dan memasukkan inti ular naga yang sudah dibersihkan ini ke dalam mulutnya.
Duduk di samping Xiao Ran beberapa saat, tubuhnya tetap tak menunjukkan perubahan sama sekali. Pernapasan, detak jantung, suhu rendah—semuanya masih belum pulih.
Mungkinkah inti ular naga ini tidak bisa menyelamatkan orang? Atau cara yang kugunakan salah? Lebih baik tidak dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa terus tinggal di sini. Aku harus mencari cara membawa Xiao Ran keluar dari Tanah Enam Yin ini.
Setelah memutuskan demikian, aku berdiri dari lantai dengan hati-hati menggendong Xiao Ran di punggungku, lalu berjalan kembali menuju pintu batu di seberang.
Sampai di depan pintu batu, aku masih menggunakan metode sebelumnya untuk membuka mekanisme perangkapnya: menemukan batu kedua di bawah pintu, lalu menginjaknya dengan kaki.
Sayangnya setelah batu itu kuinjak, pintu batu tetap tak bergerak sama sekali. Sungguh khayalan kosong! Harus ada cara lain untuk kabur dari sini!
Tepat saat aku menarik kembali kakinya, batu bata di lantai tiba-tiba mengeluarkan subrak "Krak!!" Seluruh ruangan mulai bergetar hebat! Debu dan bebatuan berjatuhan dari langit-langit.
Perubahan mendadak ini membuatku kaget setengah mati! Ini gempa bumi atau apa?!
Belum sempat aku bereaksi, tiba-tiba lantai batu giok di bawah kakiku berguncang hebat. Kaki langsung melayang, tubuhku terjungkal keras ke dalam lubang yang terbuka di lantai!
Awalnya aku memang membopong Xiao Ran di punggung, pusat gravitasi sudah tidak stabil. Jatuh terbalik ini membuat kepalaku menghunjam ke arah tanah.
Situasi ini membuat hatiku serasa membeku. Habislah! Kali ini pasti mati. Jatuh seperti ini, kepala bisa masuk ke dalam leher atau pecah berkeping!
Tepat saat aku hampir menghantam tanah, bayangan putih muncul tiba-tiba. Sosok itu memelukku erat, memperlambat jatuhnya tubuhku dan Xiao Ran, lalu mendaratkan kami perlahan ke tanah.
Belum sempat kulihat siapa, aroma khas anggrek lembut milik An Rushuang sudah memenuhi hidungku!
An Rushuang yang datang!!
"Ru... Rushuang, b-benar kamu?" Suaraku gemetar menatap ke atas. Sepasang mata phoenix nan indah bertatapan denganku. Siapa lagi kalau bukan An Rushuang?!!
"Shisan, maafkan aku... Aku tak bisa membantumu selama ini..." Begitu melihatku, kalimat pertama An Rushuang adalah permintaan maaf.
Saat tubuhku dan Xiao Ran mendarat perlahan, ia dengan lembut menahanku. Tangannya perlahan melepaskan pelukannya, menjaga jarak. Gerakan kecil ini membuat dadaku berdesir.
Seolah ada tembok tak terlihat yang tiba-tiba memisahkan An Rushuang dariku!
Aku dan dia saling bertatapan, entah mengapa aku tak tahu harus menanyakan apa padanya. Atau mungkin aku tidak berani bertanya, karena aku takut—takut jawaban yang diberikan An Rushuang akan menghancurkan duniamu sepenuhnya!!
Melihat istri hantu yang telah menemaniku hampir sepuluh tahun ini, menatap wajahnya yang cantik memesona, menyaksikan sosoknya yang anggun... Tiba-tiba penglihatanku... mulai kabur...
Setelah lama terdiam, akhirnya aku menelan ludah. Dengan tekad bulat, kubuka bibirku yang terasa kering sambil memandang An Rushuang: "Rushuang, kemana... kemana saja kamu selama ini?"
