Para pria paruh baya itu saling pandang mendengar teriakanku. Salah seorang menunjukkan senyum mengerikan, tak buru-buru menyerang, malah memutar kepala memandang Yun Yan di sampingku dan Xiao Ran dengan mata penuh racun sambil mengaum: "Yun Yan, siapa mereka berdua?!"
Yun Yan di sampingku gemetar ketakutan mendengar teriakan pria itu. Suaranya bergetar saat menjawab: "Mere...mereka adalah..."
"Aku dasar adalah pamanmu! Sial!!" Potongku sebelum Yun Yan selesai. Tanpa ragu lagi, tubuhku bergerak cepat. Genggam erat Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks, kuterjang ke arah pria terdekat dengan langkah cepat.
"Melihat aku berlari ke arahnya, pria paruh baya itu baru tersadar dan mulai membungkuk untuk mengambil golok pembuka jalan dari tanah. Tapi sebelum sempat, aku sudah berada di bawah tubuhnya. Dengan mengayunkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di tanganku, aku menikam perutnya dengan keras."
"Pshh~!!" Setelah pisau masuk, aku secepat kilat menariknya kembali. Kaki kananku menghentak dada pria yang masih bengong itu hingga terjengkang ke tanah.
Melihat sekilas, darah segar mengucur deras dari perutnya. Matanya mulai memutar putih. Tubuhnya kejang-kejang di tanah - sudah pasti tak mungkin selamat.
"Dasar bajingan! Berani-beraninya macam-macam di sini!"
"Aku yang akan tebas kau duluan!"
Melihat satu rekan mereka tumbang, enam tujuh pria di sekitar api unggun langsung menyambar golok panjang dan pisau daging. Dengan gerakan serempak, mereka menerjangku siap menebas titik vital.
Menghadapi jumlah yang tak seimbang, aku memilih menghindar. Langkah qinggong menggeser tubuhku dari jangkauan senjata mereka.
"Swiitt, swiitt!" Dua desisan tajam melesat. Dua pria yang mengejarku tiba-tiba menjerit kesakitan lalu rubuh.
Xiao Ran yang baru saja turun tangan.
Dua mayat segar di tanah membuat grup itu terpaku. Mereka saling pandang dengan wajah pucat, kaki bagai tertanam di tempat.
Aku melihat ini adalah kesempatan emas, segera memutar badan, mengarahkan pisau belati ke dada salah satu pria paruh baya itu.
"Pshh~!" Pria itu tak sempat menghindar. Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di tanganku menancap dalam. Saat pisau tercabut, tubuhnya limbung lalu rubuh ke tanah, mati dengan mata masih membelalak.
"Dasar! Aku yang pertama akan membunuhmu!!" Teriak salah satu pria yang tersisa sambil melemparkan pedang panjang di tangannya ke arah Xiao Ran dengan sekuat tenaga!
Xiao Ran sedikit menolehkan badan, menghindar dengan mudah. Dalam gerakan yang sama, tangannya kembali bergerak cepat.
"Suu, suu!" Dua jarum panjang melesat dari tangan Xiao Ran. Dua pria lagi menjerit kesakitan sebelum ambruk tak bergerak.
Hanya dalam dua menit, tinggal satu yang masih berdiri. Melihat mayat-mayat berserakan, pria terakhir itu gemetar ketakutan. Aura menyeramkannya lenyap. Pedang tulang di tangannya jatuh berdebam sambil ia berlutut di depan Xiao Ran:
"Dua... dua Kakak, ampunilah nyawa hamba! Tadi hamba buta mata tak mengenal Gunung Tai. Mohon Kakak angkat tangan mulia, jangan... jangan bunuh hamba! Asal hamba bisa hidup, hamba rela melakukan apapun, apapun juga..."
Sambil terus berlutut, pria itu membenturkan keningnya ke tanah. "Braak! Braak! Braak!" Suara benturan keras bergema di lantai.
Melihat hal ini, Xiao Ran mengeluarkan kembali sebatang jarum panjang dari tubuhnya, memegangnya di tangan, lalu melangkah perlahan mendekati pria paruh baya itu. Sampai di hadapannya, ia menudingkan jarum panjangnya sambil bertanya: "Di desa ini, masih ada teman lain kalian?"
"Tidak... tidak ada, semuanya sudah mati..." Pria itu menggelengkan kepala.
Xiao Ran curiga, melanjutkan pertanyaan: "Semuanya mati? Yang bisa menggambar jimat itu bagaimana?"
"Dia juga..." Pria itu menunjuk ke arah mayat pria berjanggut lebat yang terbaring di tanah. Mengikuti arah telunjuknya, kulihat seorang lelaki berjanggut. Rupanya si pembuat jimat ini setengah matang, meski bisa menggambar jimat untuk melawan musuh, namun tidak memiliki latihan gerakan tubuh atau fisik sehingga berakhir seperti ini.
Setelah melirik mayat tersebut, Xiao Ran bertanya lagi: "Kalian bawa kemana orang-orang yang masih hidup?"
Mendengar ini, pria yang sedang berlutut itu seperti menemukan jerami penyelamat. Matanya berkilat tajam, buru-buru menjawab: "Aku antar kalian, bisakah kalian berjanji membebaskanku?"
"Kalau tidak mau mengantar pun tidak apa, sekarang juga aku akan membunuhmu." Suara Xiao Ran dingin membeku tanpa celah kompromi.
Ucapan penuh aura maut itu membuat pria paruh baya itu gemetar:
"Jangan, jangan bunuh aku! Aku... aku antar, sekarang juga aku antar kalian." Sambil gagap ia bangun terburu-buru dari tanah dan berjalan menuju belakang desa.
Xiao Ran menatapku sebentar, lalu menyusulnya.
Aku segera menoleh ke Yun Yan di sampingku dan berpesan: "Kita harus menyelamatkan sahabat sejati dulu. Kau jaga baik-baik para wanita itu, biarkan mereka tetap di sini, jangan ke mana-mana." Sambil mengatakan ini, aku menunjuk tiga wanita yang sebelumnya melayani para kanibal itu.
Yun Yan mengangguk mendengar perkataanku:
"Penyelamat, tenang saja. Kami semua bersaudari, pasti tidak akan membiarkan mereka kabur. Ngomong-ngomong, kalian sebenarnya siapa sih?"
"Penyelamat?" Aku mengulangi sebutan itu sambil menatap Yun Yan.
Yun Yan mengangguk mantap:
"Iya! Kalian berdua adalah penyelamat kami. Jika bukan karena kedatanganmu, kami para saudari ini pasti akan diperlakukan seperti binatang ternak seumur hidup. Menua tak berguna berarti ajal..."
Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya, tak berkomentar, lalu bergegas menyusul Xiao Ran.
Desa ini tidak terlalu luas. Tak lama setelah pria paruh baya itu memimpin kami berjalan, kami berhenti di depan sebuah rumah terkunci. "Di sini..." katanya sambil menunjuk pintu berkunci.
"Buka!" Aku melangkah mendekat dan menatapnya tajam.
Begitu gembok terbuka, kami mengikutinya masuk. Begitu melangkah, bau asam cuka yang menyengat langsung memenuhi hidung!
Saat pria paruh baya itu menyalakan beberapa lilin di dalam rumah, seluruh ruangan seketika terang. Aku melirik sekilas, melihat empat pria yang dirantai dengan rantai besi di dalam rumah. Hanya dengan sekali pandang, aku langsung tahu bahwa tidak ada pria gemuk di antara keempat orang itu.
Karena postur tubuh mereka semua tidak cocok dengan ciri-ciri si pria gemuk.
Melihat kedatangan kami, keempat pria itu menatap kami bertiga dengan wajah penuh ketakutan, tubuh mereka mulai gemetar. Salah seorang di antaranya berkata dengan suara bergetar: "Tolong... tolong lepaskan saya. Asal... asal kalian mau melepas saya, berapa pun uang akan saya berikan. Saya masih punya deposit lebih dari 20 juta di luar, asal kalian melepas saya, uang itu jadi milik kalian... Atau saya bisa bantu kalian mencari orang untuk dimakan di sini, asal kalian melepaskan saya, saya... saya janji pasti tepati..."
Mendengar perkataan orang itu, darahku langsung mendidih. Aku segera menoleh ke arah keempat pria yang dirantai itu:
"Bangsat! Tadi siapa sih cangkang kura-kura yang ngomong?!"
Begitu aku selesai bicara, salah seorang pria berambut belah tengah segera menanggapi: "Saya... saya. Asal kalian mau melepas, semua deposit saya untuk kalian, saya akan cari orang untuk kalian makan..." Pria berambut belah tengah itu menunjukkan ekspresi menjilat yang membuatku muak dan geram. Dasar manusia kacangan! Untung dia tidak lahir di era perang anti-Jepang, kalau tidak, pasti jadi pengkhianat!
Untuk menyelamatkan nyawa sendiri, bisa menghalalkan segala cara, bisa merengek-rengek, tapi malah mau mencelakakan orang lain. Sampah macam ini, kalau bukan dia yang mati, siapa lagi?!!
Jadi setelah memikirkan ini, aku segera bertanya keras kepada tiga pria yang tersisa yang belum bicara: "Hei, kalian bertiga mau bertahan hidup?!"
Ketiga pria itu mendengar ucapanku, tertegun sejenak lalu wajah mereka berbinar, serentak mengangguk keras:
"Mau, mau..."
"Aku mau!"
"Mau ya? Kalau gitu pukuli tempurung kura-kura itu sampai mati! Hajar sampai berasap!!" Kataku sambil menunjuk ke arah pria berambut potongan tengah tadi.
