Saat aku dan pria gemuk mendekati Lin Muxin yang terbaring tak bergerak di tanah, kulihat energi Yang putih di tubuhnya telah menghilang sepenuhnya. Tanpa perlu menguji, aku tahu sekarang Lin Muxin sudah menjadi mayat.
Melihat Lin Muxin yang terbaring dengan mata tertutup, berbagai perasaan campur aduk menyergapku. Haihh... Beberapa bulan lalu kami masih sesama siswa. Meski hubungan kami tidak harmonis, tak kusangka dalam beberapa bulan saja begitu banyak hal terjadi, bahkan dia mati di hadapanku.
Ketidakpastian dunia dan sifat manusia yang berubah seperti awan selalu membuatku tak siap. Jika ada pilihan, aku lebih memilih tak pernah mengenalnya sama sekali.
Namun sampai sekarang aku masih tak mengerti, seberapa besar dendam ayah-anak Lin Muxin dan Lin Sen ini terhadapku? Daripada hidup tenang di Jepang, mereka lebih memilih mempelajari ilmu hitam dan kembali ke China untuk mencabut nyawaku.
“Coba pikir, sebelumnya mereka bersekongkol dengan kantor polisi, mengancam Fang Ziyan, bersama-sama menjebakku, terus berusaha membawaku ke tanah kematian. Seharusnya aku bisa memperkirakan, orang-orang pendendam seperti mereka mana mungkin melepaskanku begitu saja?”
“Mungkin bagi mereka, keberadaanku yang masih hidup di dunia ini sudah merupakan siksaan tersendiri.”
“Ada sebab, pasti akan ada akibat. Semua ini sepertinya sudah lama ditakdirkan.”
Aku melirik terakhir kali ke arah “teman sekelas” masa lalu itu, menghela napas pelan lalu berbalik badan bersama pria gemuk menuju tempat Lin Sen.
Saat ini langit mulai semburat merah. Ketika kami mendekati lokasi Lin Sen tadi, dari kejauhan sudah kulihat noda darah merah menyala mengalir dari kedua tangan dan kakinya.
Lin Sen bersandar di semak-semak kering dengan kepala tertunduk, tak jelas apakah masih hidup atau sudah mati.
Berlari kecil mendekat, aku sengaja tidak memusatkan energi Yang untuk memeriksa kondisi vitalnya karena melihat perutnya masih bergerak naik turun mengikuti tarikan nafas.
Berdiri di hadapannya, aku berjongkok lalu mengulurkan jari telunjuk perlahan ke titik renzhong di bawah hidungnya, kemudian menekan kuat-kuat.
Tak lama, tubuh Lin Sen berkedut disusul batuk-batuk keras beberapa kali sebelum matanya perlahan terbuka...
Begitu melihat wajahku di depannya, dia langsung membeku dengan ekspresi terkejut yang luar biasa:
“Ko... Kok bisa kamu?!...”
"Saya melihat kondisi Lin Sen seperti ini, dalam hati berpikir sebelumnya mungkin dia mengira setelah dia bangun, aku pasti sudah dibunuh oleh Xiangtian si keparat tua itu. Tapi hasilnya di luar dugaan, makanya dia terkejut sampai begini."
Saya tersenyum, menatap Lin Sen sambil mengangguk:
"Aku..."
Mata Lin Sen tiba-tiba menunjukkan kepanikan dan ketakutan. Setelah lama, baru dia sadar diri. Ingin berusaha bangun dari tanah, tapi ternyata kaki dan tangannya tak bisa digerakkan.
"Jangan buang tenaga. Otot tangan dan kakimu sudah kupotong." Saya mengingatkan Lin Sen. Di tempat dingin dengan iklim dataran tinggi begini, luka sulit terdeteksi dan rasa sakit pun tak terasa.
Lin Sen baru menunduk melihat tangan dan kakinya setelah mendengar ucapanku. Lalu dia mengumpat: "Zuo Shisan, Goblog kau! Kalau berani..."
"Tok!!" Tangan saya menyambar wajah Lin Sen dengan tamparan keras!
"Aku paling benci orang menghina keluargaku. Coba kau ulangi?!!" Saya membelalakan mata ke arahnya dengan suara dingin penuh amarah.
Lin Sen menatapku, membuka mulut lalu menelan kata-katanya kembali. Diam terpaku di tanah...
Melihat keadaannya, saya bertanya dengan dingin: "Katakan, di mana tempat persembunyian hantu yin Jepang bernama Xiangtian itu? Apa rencana selanjutnya dia?"
“Aku tidak tahu...” Lin Sen menjawab tegas setelah mendengar perkataanku.
“Tidak tahu?” Aku menatap Lin Sen dan mengulangi pertanyaanku.
“TIDAK! TAHU! SEKALIPUN TAHU AKU TAKKAN BILANG, MATI PUN TAKKAN KUBERITAHU!!” Lin Sen berteriak keras padaku.
Aku mengangguk:
“Tidak mau bicara?! Baik!” Setelah berkata demikian, aku menyambar Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks dari tas, menggenggamnya erat, lalu menikamnya ke paha Lin Sen!
“Aaa~~!! Aaah!!...” Lin Sen menjerit kesakitan sambil menggigil tak terkendali.
“Mau bicara?” tanyaku sambil menatapnya.
“Tidak... tidak...” Lin Sen mengangkat kepala, matanya merah berdarah menatapku tajam.
Mendengar jawabannya, aku memutar pisau di dalam daging pahanya dengan kasar!
“AAAAHHH!!!” Teriakan Lin Sen semakin menjadi, tubuhnya berguncang hebat...
“Kau mau bicara atau tidak?!” desakku lagi.
“Dasar aku TIDAK MAU! Zuo Shisan, kalau berani... bunuh saja aku! Sekali pun mati takkan kuberi tahu!” Lin Sen meludahi tubuhku setelah berteriak.
Aku terkejut mendengarnya: Goblog! Dasar kelinci sialan! Kapan Lin Sen jadi seberani ini? Rela mati daripada menyerah?!!
"Pemandangan di depan mata ini, jika dilihat orang yang tidak tahu situasi, mungkin mengira aku adalah iblis haus darah yang suka membunuh. Sebaliknya, sikap Lin Sen yang pantang menyerah itu justru mirip sekali dengan tokoh protagonis penegak keadilan dalam cerita..."
Dasar semuanya jadi kacau balau!
"Shixiong, kamu tidak becus, biar aku yang urus!" Pria gemuk itu mendekatiku sambil berkata.
Aku mengangkat kepala dengan ragu memandangnya. "Kamu bisa?"
"Lihat saja nanti! Bantu pegang dia." Pria gemuk itu mulai melepas ikat pinggangnya.
Melihat gaya si gemuk, aku langsung paham maksudnya. "Hei Gemuk, jangan sampai kencingmu mengenai tubuhku ya..." kuingatkan.
Lin Sen yang duduk di tanah juga melihat aksi pelepasan ikat pinggang. Alih-alih menyerah, dia malah tertawa terbahak-bahak.
Dari situ aku tahu ide si gemuk tidak efektif. Keparat ini sudah seperti babi mati tak takut air panas - dia bahkan tidak takut mati, apalagi sekadar kencing di wajahnya?
"Sudah Gemuk, jangan buka celana. Pergi kencing di sisi lain." Kuhentikan gerakannya.
Si gemuk sendiri akhirnya menyadarai hal itu. Sambil mengancingkan celananya, dia berbisik, "Shixiong, sekarang gimana? Daripada buang waktu, mending kita habisi saja dia." Nada suaranya sengaja dikeraskan di akhir kalimat - seolah untukku, tapi sebenarnya untuk menakuti Lin Sen si keparat itu.
Setelah mendengar perkataan pria gemuk itu, aku menoleh melihat Lin Sen yang duduk di depanku dalam keadaan setengah mati. Saat ini aku juga merasa bingung, entah mengapa, setelah pergi ke Jepang, mulut Lin Sen sepertinya dirajut dengan resleting, sama sekali tidak bisa kubuka.
Benar! Tiba-tiba, ide cemerlang muncul di pikiranku, aku menemukan cara untuk membuatnya berbicara!
Yaitu dengan membuatnya merasakan sakit di selangkangan!!
Seperti diketahui, di dunia ini ada dua jenis rasa sakit yang paling sulit ditahan: pertama adalah persalinan wanita. Kedua adalah saat pria ditendang keras di selangkangan.
Jika pernah dapat prank atau bertengkar sampai ditendang di selangkangan, pasti tahu bahwa rasa sakit seperti ditendang di buah zakar itu bisa membuat orang tidak bisa bicara, sulit bernapas bahkan tidak bisa bernapas. Seluruh tubuh mati rasa disertai kejang melingkar, parahnya bisa menyebabkan shock, pingsan, bahkan kematian...
Memikirkan ini, aku langsung berdiri, dengan senyum dingin menatap Lin Sen yang duduk di lantai: "Lin Sen, kutanyakan terakhir kali, kau benar-benar tidak mau bicara?"
Lin Sen mendengar ucapanku hanya mendengus, sama sekali tidak menghiraukanku.
Melihat reaksinya, aku tidak ragu lagi. Aku mengangkat kaki dan menendang keras selangkangannya!
Saat tendanganku mengenai selangkangan Lin Sen, terdengar jeritan melengking, menyayat hati, seperti suara babi disembelih yang keluar dari mulutnya, tak kunjung berhenti...
Aku berdiri di tempat, menunggu cukup lama sebelum Lin Sen perlahan pulih. Melihatnya sudah agak membaik, aku melanjutkan, "Masih belum mau bicara? Kalau begitu aku tendang lagi!" Sambil berkata demikian, aku berpura-pura akan mengangkat kaki untuk menendangnya lagi.
"Jangan... jangan, aku bicara, aku akan mengaku semuanya!" Lin Sen menggelengkan kepala ketakutan melihatku hendak menendang bagian sensitifnya lagi.
Mendengar pengakuannya, aku tersenyum sinis, "Ah tidak perlu, aku sangat menghargai semangat pantang menyerahmu. Ayo, Pria Gemuk, renggangkan kakinya! Biar kuberi kesempatan menjadi pahlawan..."
