"Dasar p****n! Aku tidak bercanda!" Aku berdiri dan bersama pria gemuk itu mencari tempat yang agak bersih untuk duduk.
Pria gemuk itu duduk di sampingku, menyalakan sebatang rokok sambil penasaran: "Shixiong, kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?"
Aku menghela napas: "Aku baru saja bermimpi tentang An Rushuang..."
Pria gemuk itu mengangguk:
"Aku tahu, tadi kamu terus memanggil namanya."
"Dalam mimpi itu tiba-tiba dia berubah menjadi nenek-nenek, bertanya apakah aku masih akan menyukainya jika kehilangan kecantikan." Aku menceritakan seluruh mimpinya.
Pria gemuk itu tersenyum:
"Shixiong, ini cuma mimpi. Kenapa dipikirkan begitu serius?"
Aku menggeleng: "Tidak, ini lebih dari sekadar mimpi. Ini mencerminkan kegelisahan terdalam hatiku. Aku ingin memberi jawaban untuk diriku sendiri, dan untuk An Rushuang."
Pria gemuk menarik napas dalam-dalam dari rokoknya, lalu menghembuskannya, sebelum bertanya padaku: "Menurutmu sendiri, bagian mana dari An Rushuang yang kau sukai? Hanya kecantikannya saja?"
"Bukan. Kelembutannya, perhatiannya, pengertiannya, kebijaksanaannya, kebaikan hatinya, ketidakegoisannya, kearifannya, kesetiaannya yang menungguku selama seribu tahun, bahkan setiap gerak-geriknya... semuanya sangat memikatku..." Aku menatap pria gemuk itu sambil berkata. Sejak aku mulai berbicara, bahkan aku sendiri terkejut bisa merangkum begitu banyak kelebihan An Rushuang dalam waktu sesingkat ini.
Memang benar, kelebihan yang dimilikinya begitu banyak, sampai-sampai membuatku merasa tak pantas...
"Nah, kan." Pria gemuk itu memasang ekspresi sok bijak setelah mendengar ucapanku, lalu melanjutkan: "Shixiong, meski aku ini orang kasar, tapi dalam hal perasaan aku lebih paham daripada kau si ayam jantan yang masih perjaka ini..."
"Sudah sana pergi!" Kutdorong tubuh pria gemuk itu.
Pria gemuk itu terkekeh, melemparkan puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ia berdiri lalu menunduk memandangiku: "Sudah, Shixiong. Kau bisa merenung sendiri di sini. Aku tidak akan menemanimu. Pulang tidur..." Sambil berkata demikian, ia berbalik dan pergi tidur di tumpukan jerami kering.
Aku sendiri duduk diam di tanah, menatap langit malam. Setiap kali melihat bintang sendirian, selalu teringat malam ketika An Rushuang menemaniku memandangi bintang-bintang.
Menatap bintang-bintang di langit, tangan menggenggam giok, seolah Rushuang masih menemani di sampingku...
"Ada yang sering bilang: Tidak ada pria yang tidak suka wanita cantik. Shisan, menurutmu pernyataan ini benar?" Tiba-tiba suara Xiao Ran terdengar dari belakangku.
Kuputar badan dan melihat Xiao Ran yang tak kusadari sudah bangun, sedang berjalan mendekatiku.
"Xiao Ran, kenapa kau bangun?"
Xiao Ran berjalan mendekatiku, duduk sambil menatapku: "Begitu bangun jadi tak bisa tidur lagi... Ngomong-ngomong, percakapanmu dengan si pria gemuk tadi semua kudengar. Kau belum jawab pertanyaanku."
Memandang Xiao Ran, sejenak aku bingung harus menjawab bagaimana, karena seorang diri tak bisa mewakili semua pria dengan karakter berbeda di dunia ini.
Melihatku diam, Xiao Ran melanjutkan: "Sebenarnya pernyataan itu benar. Aku juga suka wanita cantik. Tak ada pria yang tidak suka wanita cantik. Tapi jika seorang wanita cantik namun semena-mena, suka marah-marah, kewaspadaan berlebihan, mulut kotor, selain menghitung-hitung ini mengolok-olok itu, bahkan selingkuh dan bermain dengan banyak pria—Shisan, jika dia wanitamu, kau suka wanita seperti ini? Meski sangat cantik sekalipun?" Xiao Ran bertanya padaku.
Kugelengkan kepala tegas:
"Pasti tidak suka!"
“Bukankah begitu? Jika kau bilang suka, itu juga pura-pura mencari jodoh. Tapi An Rushuang berbeda. Dia tidak hanya cantik, tapi juga punya hati yang indah. Walau aku tak terlalu mengenalnya, seperti katamu: dia lembut, setia, pengertian, jarang marah, dan hatinya penuh cinta. Seseorang yang memiliki cinta, meski wajahnya tak cantik, tetap akan bersinar karena kualitas dalamannya melebihi penampilan luarnya. Setelah lama berinteraksi, pria mana pun akan menyukai wanita seperti ini, dan cintanya semakin dalam.” Xiao Ran menatapku berkata demikian.
Mendengar perkataan Xiao Ran, tiba-tiba aku seolah memahami sesuatu...
“Aku ingat suatu kali di kawasan wisata Gunung Naga Harimau, ada wanita anggun nan cantik dan pria tampan berjalan bersama sambil tertawa. Tiba-tiba, wanita cantik itu meludahi bunga indah di seberangnya. Dia malah tertawa: 'Lihat, betapa hebatnya aku, tepat mengenai kuncupnya.' Bunga yang semula indah langsung kehilangan pesona. Wanita yang tampak cantik ini tiba-tiba membuatku mual. Bukan hanya aku, siapa pun yang punya tata krama pasti akan mencibirnya, meski wajahnya secantik apapun...” Xiao Ran tersenyum menceritakan padaku.
Aku menoleh memandang Xiao Ran. Aku benar-benar tak menyangka, pria yang biasanya pendiam ini ternyata memiliki hati yang begitu peka. Setiap kata yang diucapkannya padaku tadi bagai mutiara berharga. Aku harus mengenal kembali pria yang duduk di sampingku ini.
"Terima kasih, Xiao Ran. Kurasa aku sudah menemukan jawabannya..." Kataku sambil menatap Xiao Ran.
"Jawaban apa?" Xiao Ran balas bertanya sambil menatapku.
"Aku mencintai An Rushuang. Meski parasnya tak secantik bunga, tubuhnya tak semolek lukisan, cintaku padanya sudah terukir hingga ke tulang sumsum. Yang kusukai adalah jiwanya." Suaraku tegas tanpa kepalsuan saat menjawab Xiao Ran.
Xiao Ran tersenyum:
"Kalimat itu seharusnya kau ucapkan padanya..."
Aku mengangguk:
"Saat aku bertemu An Rushuang lagi, pasti akan kukatakan padanya..."
Aku menengadah kembali, memandang gemintang yang berkelap-kelip di langit malam. Manusia, konsep akan 'kecantikan' lahiriah memang bisa berubah. Ada yang awalnya menyukai mata lentik, tapi seiring usia beralih menyukai mata sipit. Tapi hasrat akan 'kebaikan' batiniah tetap abadi.
Baik pria maupun wanita, akhlak mulia jauh lebih berharga daripada rupa molek. Sebab itu akan membuat sang kekasih semakin mencintai, bukan sekadar gejolak nafsu karena paras semata.
Inilah hukum alam yang tak pernah lekang zaman.
"Xiao Ran, terima kasih ya." Nafasku lega mengucap syukur sekali lagi. Batu yang selama ini membebani hatiku perlahan mulai terangkat...
“Xiao Ran, sebelumnya kenapa kau tiba-tiba bilang ke hantu yin itu bahwa kau menyukai Qiu Shasha?” Aku teringat pertanyaan sebelumnya dan langsung menanyainya.
“Hantu yin itu sangat licik. Alasan aku bilang menyukai Qiu Shasha adalah agar dia mengurangi kewaspadaannya terhadapku. Jika seorang pria tega menyakiti wanita yang sangat dicintainya, apa lagi yang tidak akan dia lakukan melanggar moral dan prinsip kemanusiaan?” Xiao Ran menjelaskan padaku.
Mendengar penjelasannya, aku tersadar dan langsung paham. Lalu aku bertanya lagi: “Dan apakah kau tahu dari dinasti mana sebenarnya kaisar yang menjadi hantu yin itu?”
Xiao Ran menggelengkan kepala dengan nada lesu: “Andai saja aku tahu. Sekarang Aliran Longhu kami tidak akan sepasif ini. Kami sama sekali tidak tahu siapa yang menyegelnya, dengan metode apa, dan di mana lokasinya. Kalau bukan karena kemunculan hantu yin Jepang Xiangtian yang membawa hantu ribuan tahun di belakangnya, mungkin kami masih belum tahu sampai sekarang...”
Aku terdiam mendengar ucapan Xiao Ran. Situasi semakin genting. Aku harus mempercepat latihan empat jurus "Energi Wuji" yang baru kupelajari. Hanya dengan begitu aku bisa melindungi An Rushuang dan orang-orang yang saya pedulikan dari segala bahaya.
Memikirkan ini, aku baru saja ingin menyapa Xiao Ran dan bersiap memulai latihan "Energi Zhen Tanpa Batas". Tepat saat aku hendak berbicara, Xiao Ran tiba-tiba memberiku isyarat diam.
Seketika, dari kejauhan di belakang Xiao Ran, kulihat jelas gumpalan-gumpalan Energi Yin hitam berkumpul mendekati kami!
"Shisan, ada sesuatu datang. Bangunkan semua orang dulu, aku akan memeriksanya!" Kata Xiao Ran sambil melompat dengan lincah menuju gumpalan energi Yin di kejauhan.
