Setelah makan mi bersama pria gemuk, aku mencari bank terdekat dan menarik 30 ribu yuan dari kartu ATM untuk ditransfer ke Leizi. Setelah mengirim SMS pemberitahuan, kami pun keluar dari bank.
Di luar bank, pria gemuk yang berjalan di sampingku bertanya: “Shixiong, perjalanan ke Gunung Kunlun kali ini tidak sia-sia. Kita berhasil menyelamatkan Master Lu. Apa rencana selanjutnya?”
“Lima hal.” Jawabku sambil terus berjalan, menatap pria gemuk itu.
“Lima hal apa?” pria gemuk itu menyelidik.
“Pertama, fokus pada latihan spiritual. Kedua, aku harus mencari cara ke alam baka dengan segala cara untuk menyelamatkan An Rushuang. Ketiga, aku juga harus mencari harta terakhir yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali An Rushuang: Air Suci Sungai Luo. Keempat, aku harus menyelidiki hubungan antara Bai Ruotong yang mati dengan jenazah perempuan di makam kuno yang pernah kukunjungi sebelumnya. Kelima, mencari tahu kaisar dinasti mana dalam sejarah Tiongkok yang menjadi asal usul hantu yin berusia ribuan tahun itu, serta di mana persembunyiannya bersama hantu jenderal Jepang Xiangtian.”
Pria gemuk itu mengangguk mendengar perkataanku, lalu bertanya: “Lalu sekarang kita mau ngapain?”
“Pulang dulu.” Aku menghela napas, memanggil taksi dari pinggir jalan. Mobil itu melaju menuju kompleks perumahan tempat pria gemuk tinggal.
Sesampainya di rumah pria gemuk, mataku langsung tertumbuk pada Ginseng Halus pemberian Bai Ruotong yang kulupakan di ambang jendela. Setelah sekian hari, tanaman itu masih tetap hijau segar, penuh vitalitas, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda layu...
Melihat ini, hatiku penuh keheranan. Aku segera mendekat dan menemukan bahwa Ginseng Halus ini perlahan mulai menumbuhkan buah hijau lagi. Sambil takjub akan ketahanan hidupnya, sampai sekarang aku masih belum mengerti apa kegunaan buah yang dihasilkan Ginseng Halus ini selain membuatku mimisan?
Setelah menyiraminya dengan sedikit air, pria gemuk itu kembali ke kamarnya entah sibuk apa. Aku duduk sendirian di sofa, baru ingin menyalakan TV untuk melihat berita tentang kehidupan masyarakat dan urusan negara, tiba-tiba ponsel berdering.
“Aku mengeluarkan ponsel dan terpana. Orang yang meneleponku ini tak lain adalah Fang Ziyan yang selalu membuatku pusing melihatnya!”
“Bagaimana dia tahu ponselku baru saja menyala? Ah, lupakan. Masalah yang kuhadapi sekarang adalah:”
“Menerima, atau tidak?”
“Saat aku masih ragu-ragu, dering telepon tiba-tiba berhenti. Syukur! Kutarik napas lega dan menyimpan kembali ponsel ke saku.”
“Tapi tak lama kemudian terdengar bunyi notifikasi SMS.”
“Kukeluarkan lagi ponselku dan membaca pesan dari Fang Ziyan yang isinya:”
“Zuo Shisan, aku tahu kamu pasti melihat ini. Angkat teleponku!”
“Dering ponsel pun kembali menggema.”
“Dengan pasrah kuterdiam, kutetapkan ponsel di telinga. Suara gadis yang familiar namun terasa asing itu memenuhi pendengaranku:”
“Zuo Shisan, brengsek!!”
“Mendengar makiannya, perasaanku campur aduk antara kesal dan tersinggung. Salahku apa? Tiba-tiba langsung dimaki brengsek.”
“Hei Bunga Sekolah Fang, bisa nggak kamu mikir dulu sebelum bicara? Salahku apa sampai disebut brengsek??”
“Siapa suruh sengaja nggak angkat teleponku!” hardik Fang Ziyan.
“Tadi aku mau angkat tapi kamu sudah mematikan. Buktinya sekarang kuangkat. Ngomong-ngomong, gimana kamu tahu ponselku baru nyala?” Aku mencoba mengalihkan topik agar tidak terjebak debat kusir.
“Ngapain aku kasih tahu?!” jawab Fang Ziyan dengan nada kesal.
“Ya udah nggak usah.” Kataku singkat.
“Kamu... brengsek...”
“Aku tak bisa bicara… Rupanya menerima telepon Fang Ziyan adalah kesalahan, bagaimanapun juga brengsek, cari masalah sendiri buat dimarahi.”
Fang Ziyan merasakan aku diam terus, lalu melanjutkan: “Sebenarnya Leizi yang memberitahuku, waktu aku traktir dia makan terakhir, kusuruh kalau dia berhasil menghubungimu, langsung kabari aku.” Fang Ziyan jujur padaku.
Mendengar perkataan Fang Ziyan, aku semakin kesal… Dasar Leizi, benar-benar mengutamakan makanan daripada pertemanan!!
“Kenapa kau diam? Zuo Shisan, kau tidak punya satu kata pun untukku?” Fang Ziyan menunggu sebentar lalu bertanya.
“Ada perbedaan generasi, tidak menemukan bahasa yang sama…” Karena kepergian An Rushuang, aku sama sekali tidak punya mood untuk mengobrol dengan Fang Ziyan.
“Zuo! Shi! San! Jangan keterlaluan!!” Fang Ziyan tampak kesmarahanku.
Aku menghela napas: “Fang Ziyan, sebenarnya ada perlu apa telepon? Kalau tidak ada urusan, aku mau tutup.”
“Awalnya mau kasih tahu soal Leizi dan Xia Linxuan, sekarang nggak jadi…” Fang Ziyan langsung mematikan telepon.
Mendengar suara "tut-tut-tut..." di telinga, dalam hati aku bergumam: Cewek ini jago, pakai taktik perang untuk hadapi aku! Manfaatkan titik lemahku yang peduli pada Leizi, bicara setengah-setengah, mundur untuk menyerang!
Pasrah, menyangkut teman sejati yang tumbuh bersama sejak kecil, terpaksa aku harus malu-maluin nelpon balik Fang Ziyan...
“Halo, Zuo Shisan, tadi katanya tidak ada bahasa yang sama? Ngapain nelpon lagi?” Fang Ziyan sengaja mengeluh saat menerima teleponku.
“Fang Ziyan, kamu berani ya, jangan banyak bicara omong kosong. Sebenarnya kamu tahu apa? Apa yang sebenarnya terjadi antara Leizi dan Xia Linxuan?” tanyaku.
Di ujung telepon, Fang Ziyan terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaanku, lalu berkata dengan nada misterius: “Jika kamu benar-benar ingin tahu, hari ini hari Sabtu. Jam 7:30 malam, jemput aku di gerbang sekolah. Aku akan membawamu melihat sebuah kebenaran.”
“Kebenaran apa?” Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan sikap Xia Linxuan terhadap Leizi. Sebenarnya sejak Leizi meminjam tiga puluh ribu yuan dariku dulu, firasatku sudah mulai tidak enak.
“Nanti kamu akan tahu sendiri kalau datang. Beberapa hal lebih baik disaksikan langsung daripada kuceritakan. Awalnya ini bukan urusanku, tapi aku tidak tega melihat sahabatmu tertipu. Shisan, mau tidak kamu menjemputku malam ini?” Fang Ziyan membalas.
“Baik! Jam 7:30 malam nanti aku akan tepat waktu menjemputmu di gerbang sekolah.” Kataku sambil langsung mematikan telepon dan melemparkan ponsel ke sofa.
Menatap langit-langit, kuhirup napas dalam-dalam. Seandainya bisa, aku benar-benar berharap Leizi dan Xia Linxuan bisa terus bahagia. Kuberdoa, semoga “kebenaran” malam ini bukan seperti yang kuduga...
Sudahlah, jangan dipikirkan dulu. Aku harus memberitahu si pria gemuk sebelumnya untuk memeriksa mobil dan mengisi bensin.
Sambil berpikir begitu, kuteriakkan ke arah kamar si pria gemuk: “Hey gemuk! Gemuk! Gemuk!!”
Sudah kupanggil beberapa kali, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar.
"Agak aneh... Aku perlahan bangkit dari sofa, berjalan pelan menuju kamar tempat pria gemuk itu. Sebelum pintu, aku memutar gagangnya dan membuka pintu perlahan."
Di dalam kamar, pria gemuk itu duduk di depan komputer dengan headphone di kepala. Satu tangan menggenggam mouse komputer, sementara tangan lainnya bergerak naik-turun di area selangkangannya. Di atas meja komputer tergeletak gulungan besar tisu toilet putih.
"Goblog!" Melihat ini, aku bahkan tak perlu melihat layar komputer untuk tahu apa yang dilakukannya. Buru-buru kuhampiri belakangnya, lalu kulecutkan tendangan ke kursinya!
"Dasar gendut! Tak bisakah kau menahan diri?! Baru pulang langsung ngewe depan komputer?!!"
Pria gemuk itu terkejut oleh tendanganku. Sambil memegang tisu toilet, ia menoleh bingung: "Shixiong, darimana kau tahu aku main LOL?"
Mendengar ini, aku tertegun sebentar. Kulihat layar komputer di depannya - bukan "Suara Alam" yang kukira, tapi game online "Yingxiong Lian Meng". Tisu di tangannya ternyata untuk mengelap tumpahan air di celananya...
Melihat pemandangan di depan mataku, aku segera merasa malu dan buru-buru mengubah ucapan, "A...Aku pasti tahu kamu sedang main game, k...kamu main dulu saja. Ngomong-ngomong, jangan lupa jam tujuh malam nanti pergi ke Universitas Dongdian bersamaku, ada urusan."
## Jilid Ketiga: Dunia Bawah yang Gelap
