"Namo Amitabha, Tuan. Semangatmu terlalu tergesa-gesa, sifat hatimu jadi tak stabil. Jika terus begini, yang celaka adalah dirimu sendiri..." Biksu tua itu meski telah menjatuhkan senjataku, tak melanjutkan serangan. Dia malah merangkapkan tangan dan mulai berkhotbah.
Aku memandangnya sambil perlahan berjongkok mengambil Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks. "Jangan omong kosong! Jawab saja - kedua orang itu menyiksa bayi untuk meramu hantu kecil, pantaskah mereka mati?!"
Biksu tua itu mengangguk setelah mendengar pertanyaanku:
"Sungguh pantas mati."
Jawabannya membuatku terkejut. "Lalu kenapa kau halangi aku membunuh mereka?"
"Mereka memang pantas mati, tapi seharusnya bukan kamu yang membunuh. Dalam hukum langit yang tak kasatmata ini, setiap balasan pasti ada sebabnya, setiap sebab pasti ada akibatnya." Biksu tua itu tersenyum kepadaku.
Kutukas dengan sinis: "Sudahlah, aku tak percaya karma atau balasan. Satu-satunya balasan adalah ketika kubantai mereka dengan tanganku sendiri!"
"Tuan, kau keliru besar. Jika kau membunuh kedua orang itu, balasan itu akan segera menimpamu." Biksu tua itu menatapku.
"Menimpaku? Apa maksudmu?" Tanyaku sambil memandang sang biksu.
Biksu tua itu kembali melantunkan mantra panjang sebelum menjelaskan: "Hehe... Tidakkah Tuan menyadari? Hati Tuan semakin gelisah, emosi semakin meledak-ledak, bahkan hasrat membunuh kian tak terbendung. Sifat dasarmu sedang dikikis habis oleh kebablasan dalam hati. Jika tak segera dikendalikan, aku khawatir Tuan akan terjerumus dalam penyesalan abadi..."
Mendengar ucapannya, kurenungkan kata-kata itu dalam-dalam... Biksu tua ini benar. Entah sejak kapan sifatku mulai berubah drastis, bahkan menjadi ekstrem. Emosi mudah meledak, niat membunuh muncul begitu saja.
Meski mengakui kebenarannya, tetap kusimpan kewaspadaan: "Mengapa kau memberitahuku ini? Apa hubunganmu dengan nasibku di masa depan?"
Kembali sang biksu tersenyum:
“Kamu adalah Jalan, Aku adalah Buddha, Buddha dan Jalan pada dasarnya satu keluarga. Karena kita satu keluarga, Aku ingatkan tuan untuk menghentikan kuda di tepi jurang, ini sudah seharusnya.”
“Apa itu Jalan, dan apa itu Buddha?” Aku menatap biksu tua itu sengaja mempersulit dengan pertanyaanku.
Biksu tua itu berkata padaku: “Hati adalah Buddha, hati adalah Jalan, hati bukanlah hati. Ribuan sungai memiliki air, ribuan bulan terpantul. Semua makhluk berasal dari sumber hati yang sama. Buddha meraih kehidupan berikutnya, Jalan ada di masa kini. Buddha pada dasarnya adalah Jalan, Jalan juga adalah Buddha...”
Nima! Ini sedang bermain filosofi denganku, menganggapku tidak mengerti atau bagaimana?
Melihatku diam, biksu tua itu melanjutkan: “Tuan, hamba berikan satu kalimat, harap tuan ingat baik-baik: Orang kuat tidak hanya melatih tubuh dan praktik, tapi juga harus melatih hati. Yang terakhir ini lebih penting.”
“Bagaimana melatih hati?” Aku menatap biksu tua itu bertanya.
Biksu tua itu tidak menjawab, hanya mengulurkan tangan dan menekan ringan di dada kiriku, lalu berbalik menuju tangga di bawah atap sekolah.
Sambil berjalan, ia bergumam pelan: “Satu bunga satu dunia, satu pohon satu kehidupan, satu rumput satu surga, satu daun satu Tathagata, satu pasir satu Nirvana, satu wilayah satu tanah suci, satu tawa satu takdir, satu pikiran satu kedamaian, satu langkah satu jejak...”
Memandang biksu tua itu menghilang dari pandanganku, aku mulai meneliti hatiku sendiri. Belakangan ini memang sifatku mulai berubah, menjadi semakin pemarah dan impulsif, bahkan mengabaikan hukum dan langsung ingin membunuh. Semua ini karena apa?
Melatih hati? Bagaimana seharusnya aku melatih hati?
Saat aku sedang berpikir di dalam hati, pria gemuk itu mendekatiku, menepuk bahuku dan bertanya, "Shixiong, kenapa kamu berdiri di sini? Apa yang akan kamu lakukan pada Xia Linxuan?"
Setelah mendengar perkataan pria gemuk itu, aku menyadarkan kembali kesadaranku, memutar kepala ke arah Xia Linxuan dan melihatnya sedang berjongkok di tanah, kedua tangan memeluk lututnya sambil terus menangis tersedu-sedu.
Aku menghela napas berat, lalu berjalan bersama pria gemuk itu mendekati Xia Linxuan. Saat sudah dekat, aku bertanya padanya, "Xia Linxuan, kutanyakan sekali lagi - apakah bayi mati di tanah ini benar-benar anakmu sendiri?!"
Mendengar pertanyaanku, Xia Linxuan yang sedang berjongkok itu menatapku. Matanya dipenuhi kebencian saat membentak, "Zuo Shisan, hak apa kamu ikut campur urusanku?! Mau itu anakku atau bukan, dasar urusanmu apa?! Apa hubungannya denganmu?!"
Melihat sikapnya, kemarahan yang baru saja kuredam kembali berkobar. Tanganku terayun ingin menamparnya, tapi berhenti di udara:
"Kau benar, ini bukan urusanku. Tapi ini urusan Leizi! Aku tidak rela melihat teman seperguruanku sejak kecil terus dibohongi olehmu. Pernahkah kau bayangkan - bagaimana perasaan Leizi jika tahu wajah aslimu yang sebenarnya?!"
Tubuh Xia Linxuan gemetar mendengar perkataanku. Ia kembali menundukkan kepala tanpa bersuara.
“Kamu namanya Xia Linxukan ya? Cih! Bukan maksudku merendahkan, tapi sebagai perempuan kok bisa sejahat ular berbisa?! Itu kan anakmu sendiri!! Manusia boleh miskin, tapi jangan tidak punya nurani. Untung kamu bukan istriku, kalau kamu istriku, aku dasar bisa membunuhmu!” Pria gemuk itu juga memandangi Xia Linxuan yang sedang berjongkok di tanah.
Tepat saat pria gemuk itu selesai bicara, Xia Linxuan tiba-tiba seperti orang gila. Seketika dia bangkit dari tanah dan menerjang ke arahku. Aku tidak menghindar. Dia mengulurkan kedua tangan mencengkeram kerah bajuku dengan erat, mengguncang-guncangku tak terkendali sambil berteriak keras, "Zuo Shisan! Benar! Aku yang mencuri! Aku yang menipu saudaramu Leizi! Aku yang selingkuh dan tidur dengan pria lain! Aku yang memakai anak keguguranku untuk meramu hantu kecil! Aku memang perempuan jalang! Aku pantas mati! Tapi apa mau dikata?! Sejak lahir aku sudah berbeda, tidak punya apa-apa!!!" Teriakan Xia Linxuan bagai meluapkan semua dendam dan penghinaan yang terpendam di hatinya.
Xia Linxuan menggelengkan kepala, melepaskan tangan yang menggenggam kerah bajuku. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan roh, berjongkok di tanah sambil menangis. Kepalanya tertunduk memandangi lantai sambil bergumam: "Dua hari setelah aku lahir, ibuku meninggal. Aku dibesarkan dengan pukulan oleh ayahku sejak kecil. Dia jarang bekerja, suka minum alkohol, hampir setiap hari. Setiap mabuk, dia selalu melampiaskan amarah padaku, memakiku karena telah membunuh ibuku... Dari SD sampai SMA lalu kuliah, semua biaya sekolah berasal dari kakek-nenekku yang menanam kacang tanah dan mengumpulkan rongsokan... Dua bulan lalu, kakekku dirawat karena penyakit jantung, tapi kami tak mampu membayar biaya pengobatan mahal itu. Kami terpaksa membawanya pulang, hanya bisa menatap pasrah saat matanya terpejam... Aku tidak rela, sungguh tidak rela! Mengapa sejak lahir aku tak punya apa-apa, hanya ada penderitaan dan siksaan? Katakan, mengapa ini terjadi?!! Aku benci dia! Aku benci ayahku! Seorang pria sepertinya, bahkan tak bisa membiayai rawat inap kakekku. Setiap hari bermalas-malasan, aku benci dia!!"
Mendengar pengakuan Xia Linxuan yang tersedu-sedu, aku dan si pria gemuk saling memandang. Kedua mata kami sama-sama memancarkan keterkejutan. Tak pernah kuduga, di balik semua ini tersimpan sebuah kisah—kisah yang membuat hati merintih dingin.
Melihat Xia Linxuan yang terus menangis sambil duduk di lantai, aku menghela napas dan berkata padanya: "Membenci orang lain, tapi yang menderita adalah diri sendiri, buat apa?? Memusuhi orang lain sama saja dengan menyerahkan nyawamu ke tangan mereka. Belajarlah untuk kuat, apapun yang terjadi nanti, hidup harus terus berjalan."
Xia Linxuan menggelengkan kepala setelah mendengar perkataanku, tidak berkata apapun.
Aku melanjutkan pertanyaan: "Xia Linxuan, apakah kamu benar-benar berpikir memelihara hantu kecil bisa mengubah nasibmu? Membuat seluruh keluargamu hidup sejahtera?"
Xia Linxuan mengangkat kepala, memandangku dengan bingung: "Apakah semua ini cuma tipuan?"
Aku menggeleng:
"Bukan tipuan, tapi hukum alam semesta berjalan dengan sendirinya."
"Hukum alam semesta? Apa maksudnya?" tanya Xia Linxuan.
"Metafisika dan sihir, bagi orang berbudi bisa membawa berkah. Bagi yang tak berbudi, justru menjadi pisau pengikis tulang. Menurutmu, ilmu hitam yang merugikan orang lain ini termasuk berbudi atau tak berbudi?" Tanyaku perlahan pada Xia Linxuan.
