Saat aku dan pria gemuk berlari turun dari lantai enam, lokasi orang yang melompat itu sudah sepenuhnya di-blokir polisi. Sekelilingnya penuh sesak mahasiswa. Aku mengamati kerumunan dengan cermat, setelah melihat sekeliling, kudapati selain kepala sekolah perempuan Liu Jing, tak ada satu pun wajah yang familiar.
Melihat ini, dalam hati aku memperkirakan, kepala sekolah pria bernama Lu Di itu mungkin bukan Lao Lu yang sudah mati, hanya kebetulan nama sama saja.
Dalam hati aku berpikir, tak bisa menahan diri merasa ironis. Di dunia ini terkadang benar-benar ada kebetulan yang aneh, orang dengan nama sama yang sama-sama berperilaku bangsat sampah, benar-benar ada...
Persis saat itu, pria gemuk menghampiriku dari belakang, menatap kerumunan di lokasi lompat bunuh diri dan bertanya: "Shixiong, langkah selanjutnya kita bagaimana? Dengan sebanyak orang begini mustahil mencari si keparat itu."
Aku memandangi kerumunan itu, polisi yang sedang menjaga ketertiban, dan tim medis berjas putih yang datang memberikan pertolongan, lalu berkata ke pria gemuk: "Ayo, kita ke lantai lima dulu, jaga kantor kepala sekolah untuk menangkap si binatang!"
Kami kembali menaiki tangga ke lantai lima, menemukan "Kantor Kepala Sekolah" di sana. Kupun mendekat dan memutar gagang pintu - pintunya terkunci.
Melihat ini, pria gemuk tanpa bicara mundur dua langkah, mengambil ancang-ancang lalu menerjang ke depan, dengan tendangan keras berhasil membuka pintu itu.
Aku berdiri di koridor, memandang sekeliling. Untung tidak mengganggu siapa pun. Di sekolah yang sedang terjadi insiden besar ini, sebagian besar orang sudah turun ke bawah.
Setelah masuk bersama pria gemuk, aku kembali menutup pintu, mengambil pegangan pintu dari lantai dan mengembalikannya, lalu menunggu di kantor kepala sekolah bernama Lu Di ini.
……
Lebih dari satu jam kemudian, Lu Di masih belum kembali. Pria gemuk tak tahan membuka komputer di atas meja kerja, ingin mencari film untuk ditonton.
"Sialan! Shixiong, cepat lihat ini!!" Saat itu, pria gemuk melambai padaku sambil berteriak.
"Aku tidak mood nonton film sekarang," kataku sambil melambaikan tangan pada pria gemuk.
Pria gemuk langsung berdiri dari depan meja, menatapku melanjutkan: "Bukan film, cepat lihat! Goblog! Kepala sekolah ini benar-benar sialan!!"
Mendengar perkataannya, aku segera mendekat. Saat melihat foto-foto di layar komputer, kaget lalu marah membara!
Di dalam satu folder komputer ini, penuh dengan foto telanjang siswi - berbagai pose bahkan yang disiksa. Di antara foto-foto itu, kulihat foto Yunzi!
Dasar! Lu Di ini bukan cuma sialan, tapi juga cabul!
"Pria gemuk, bagaimana kau menemukan folder tersembunyi ini?" tanyaku padanya.
Pria gemuk menyeringai:
"Shixiong jelas jarang nonton film dewasa, tidak paham..."
Aku malas meresponsnya, lalu berkata: "Foto-foto di komputer ini harus kau foto pakai ponsel. Pastikan waktu penyimpanannya terekam jelas, untuk bukti."
“Tak masalah, Pangye pasti urus ini sampai tuntas.” Pria gemuk itu menyahut, mengeluarkan ponsel dari saku dan mulai memotret di depan komputer.
Aku sendiri berjalan ke tepi jendela, menunduk memandang ambulans yang semakin menjauh di bawah. Perasaan tak terdefinisi tiba-tiba menggelora di hati.
Sangat menyiksa, sekaligus menyesakkan.
Tapi yang lebih dominan adalah kemarahan yang menyala-nyala.
Saat ini, aku ingin... BUNUH ORANG!!
“Shixiong, cepat ke sini! Aku nemuin barang-barang ini lagi,” suara pria gemuk itu kembali terdengar dari belakangku.
Segera kuhampiri dia. Ternyata di bawah meja komputer ada kardus berisi boneka jerami, kertas jimat, bahkan beberapa bangkai serangga.
Kuperintahkan dia untuk terus memotret sebagai bukti.
“Tunggu...” Kuhentikan gerakannya karena melihat benda yang sangat familiar di dalam kotak itu!
Sebuah bendera merah!
Dengan gemetar kuambil bendera itu dari kardus. Begitu melihat detailnya, dunia serasa berputar-putar.
Bendera merah ini bukan hanya kukenal, tapi pernah kupakai sendiri – ini adalah Bendera Lima Unsur milik Master Gui! Mustahil salah lihat!
Kenapa bendera ritual Master Gui ada di kardus kepala sekolah sialan ini? Jangan-jangan...
"Tidak mungkin, mustahil... Semua ini pasti tidak ada hubungannya dengan Zhenren Gui, mungkin bendera ini hanya kebetulan. Dan aku juga tidak percaya, di dunia ini orang yang menguasai ilmu Tao Bendera Lima Unsur seperti ini, hanya Gui Dian seorang."
Memikirkan ini, hati yang gelisahku perlahan mulai tenang.
"Shixiong, kenapa denganmu? Tanganmu kok gemetar?" Pria gemuk itu menatapku dengan bingung.
Mendengar perkataannya, aku menarik kembali kesadaranku: "Tak perlu foto lagi, bukti-bukti ini sudah tak penting..." Alasan aku menghentikannya karena saat ini niat membunuh telah muncul. Meski kami punya bukti untuk melapor ke kepala sekolah bajingan itu, paling-paling dia hanya dipecat dan dipenjara, reputasinya hancur, tapi TAK AKAN MATI!
Meski para gadis ini mati secara tak langsung karena ulahnya, toh mereka bunuh diri. Meski ada hubungan erat dengan Lu Di, tetap tidak bisa dikenakan pasal pembunuhan berencana. Hukum memang begini, selalu kejam tanpa pandang bulu.
Kejam pada pelaku yang dihukum, tapi terkadang juga kejam pada korban.
Jadi, melaporkan Lu Di sudah tak penting bagiku. Yang kuminta sekarang hanya keadilan: NYAWA HARUS DIBAYAR NYAWA! Tak ada yang lain, hanya nyawa bajingan Lu Di ini yang kuminta!!
Pria gemuk itu bertanya bingung: "Shixiong, bukti ini tak difoto? Semakin banyak bukti semakin baik!"
Kuhela napas: "Kalau mau foto, lanjutkan saja."
Mendengar ini, dia mulai memotret dengan serius.
Aku tidak menghiraukannya, malah pergi ke dispenser di samping, mengambil gelas kertas sekali pakai dan mengisinya penuh dengan air dingin, lalu meneguknya habis dalam sekali napas...
Waktu tidak banyak, sekitar lima enam menit kemudian, samar-samar kudengar suara langkah kaki dua orang bergema dari koridor luar. Dari suara obrolan mereka, kutebak itu dua pria paruh baya!
Mendengar ini, aku buru-buru berdiri di belakang pintu lalu memberi isyarat ke pria gemuk di depan meja komputer agar tidak bersuara.
Seiring langkah kaki di koridor yang semakin mendekat, perlahan kukeluarkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks dari tas ransel, kugenggam erat. Di dalam hati sudah kuputuskan: begitu kedua orang itu masuk, mereka harus kuneutralkan dulu.
Tiba-tiba, suara pertanyaan seorang pria terdengar dari luar:
"Ya? Kenapa gagang pintuku rusak?"
Pria lain menyahut, "Kepala Sekolah Lu, pintu-pintu baru yang dipasang di sekolah ini kualitasnya memang buruk. Gagang pintu di beberapa kantor guru juga rusak..."
Persis di saat itu pintu terbuka. Melihat orang di luar, secepat kilat kumajukan langkah, kuremas lengan pria itu dan kutarik keras ke dalam rumah. Sebelum sempat bicara, kutendang perutnya hingga terjengkang!
Pria di belakangnya berteriak lalu menerjangku. Kuhindari tubuhnya, lalu kuhantam pipi kirinya dengan pukulan tepat yang menjatuhkannya.
Bersamaan itu, si pria gemuk juga berlari mendekat. Kami berdua masing-masing menguasai satu pria yang sudah masuk itu.
Aku menempelkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di tangan ke leher pria itu, lalu menyentakkan kaki ke belakang untuk menutup pintu kantor. Dengan suara dingin kutanyakan pada pria yang terjepit di bawahku: "Siapa Lu Di??"
Pria di bawahku segera menunjuk ke orang yang sedang dijepit si pria gemuk:
"Dia... Dia Rektor Lu..."
Mendengar ucapan pria ini, kuhantam bagian belakang kepalanya dengan telapak tangan hingga langsung pingsan.
Aku berjalan mendekati si pria gemuk, menempelkan pisau belati ke pipi pria itu sambil memberi isyarat agar si gemuk melepas cekikan dari lehernya.
Si gemuk melepaskan cengkraman. Pria yang sudah membiru wajahnya itu terengah-engah menghirup udara. Setelah menunggu sejenak, kutatapnya: "Rektor Lu Di ya? Kau sendiri yang bilang - dasar, berapa siswi yang sudah kau bunuh?"
