Seiring latihan "Energi Zhen Wuji" yang kulakukan terus-menerus, perlahan bahkan waktu pun kulupakan. Aku langsung memasuki keadaan tanpa diri, setiap saraf dan titik akupuntur di seluruh tubuh dipenuhi energi Zhen ungu muda dan energi Yang putih. Seluruh perhatianku terkonsentrasi pada latihan, di saat ini tak ada secuil pun pikiran liar di hatiku...
Saat ini, di benakku hanya ada dua kata:
Latihan.
Seiring berjalannya waktu, perlahan kurasakan energi Zhen ungu itu setelah menyatu dengan energi Yang putih alami dalam tubuhku, seolah mulai memiliki wujud. Perlahan membentuk sesuatu bulat mirip mutiara, seperti kelereng transparan dengan diameter tak lebih dari satu sentimeter.
Ia tenggelam di dantian, berputar perlahan.
Semua ini bukan kulihat, tapi kurasakan.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah mutiara ini memiliki latar belakang tertentu? Ataukah ini sesuatu yang harus dikondensasi dalam proses melatih 'Energi Zhen Wuji'?"
Jika memang demikian, maka tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Namun yang kutakutkan adalah jika mutiara aneh yang mengendap di Dantian-ku ini bukan berasal dari hasil latihan, maka aku harus lebih berhati-hati.
Sambil berpikir, perlahan kubuka mataku dan menghela napas pelan. Seketika kurasakan keberadaan Energi Yin di sekitarku!
Merasakan Energi Yin tersebut, segera kupalingkan kepala sementara tangan kanan refleks merogoh Pedang koin tembaga di dalam tas ransel.
Setelah mataku menangkap sumbernya, kulepaskan napas lega. Asal Energi Yin itu ternyata dari hantu perempuan bernama Yunzi.
"Yunzi, kapan kau keluar dari dalam liontin giok?" Kumasukkan kembali Pedang koin tembaga yang sudah setengah terhunus ke dalam tas sambil menatapnya. Di dalam hati kubicarakan tekad: Kedepannya saat melatih "Energi Zhen Wuji", harus mencari tempat tersembunyi. Berbeda dengan melatih energi Yang, latihan ini membutuhkan konsentrasi total sehingga tidak ada sisa kewarasan untuk mewaspadai bahaya di sekeliling.
"Tidak lama, Orang Pintar. A... Apakah saya tidak mengganggu latihanmu?" Yunzi menatapku dengan gelisah.
Aku menggelengkan kepala, lalu berkata padanya: "Tidak, kepala sekolah sialan bernama Lu Di itu sudah kulemparkan dari lantai atas sampai tewas." Sambil bicara, kuambil ponsel di atas kasur dan menunjukkannya foto yang kurekam pada Yunzi.
Yunzi tidak mengambil ponselku, malah menatapku: "Orang pintar, siang tadi aku sudah melihat semuanya di dalam liontin giok..."
Mendengar perkataannya, kusimpan ponsel itu lalu bertanya: "Kalau kau sudah melihat semuanya, dan Lu Si pembunuh kalian sudah mati, bisakah kau pergi dengan tenang sekarang?"
Wajah Yunzi terlihat ragu. Ia sepertinya ingin bicara tapi menahan diri, seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Melihat ini, kulanjutkan: "Yunzi, katakan saja apa yang mengganggumu."
"Orang pintar, permintaanku ini mungkin keterlaluan... Tapi ini permintaan terakhirku. Aku... ingin melihat orangtuaku dan adikku sekali lagi sebelum pergi..." Air mata mulai mengalir di sudut matanya.
Aku tetap bersila di kasur, menunggu sampai emosinya mereda. "Boleh kunjungi mereka, tapi jangan pamitan."
"Cukup... Cukup dengan melihat mereka terakhir kali. Terima kasih, Orang pintar!" Yunzi membungkuk hormat di hadapanku.
Kulepaskan posisi bersila dan memakai sepatu. "Rumahmu jauh dari sini?"
Yunzi mengangguk:
“Cukup jauh, ada di Lingkar Selatan.”
Setelah mendengar perkataan Yunzi, awalnya aku ingin membangunkan pria gemuk itu untuk mengantarkan Yunzi ke rumahnya dengan mobil. Tapi setelah berpikir lagi, besok dia harus bangun pagi untuk mengantarku kembali ke Kuil Qingzhu, akhirnya aku tak tega membangunkannya. Aku mengambil dompet dan langsung keluar rumah bersama Yunzi, berniat memanggil taksi.
Keluar dari perumahan, aku langsung menelepon pusat layanan taksi. Tak lama kemudian, datanglah sebuah taksi.
Setelah aku dan Yunzi - satu manusia dan satu hantu - masuk ke mobil, sopir taksi berusia setengah baya itu menoleh dan bertanya: "Nak, mau ke mana?"
"Yunzi, rumahmu di mana?" tanyaku pada Yunzi yang duduk di samping.
Tanpa kuduga, pertanyaanku justru membuat sopir taksi itu bingung. Ia memandangiku dengan heran: "Nak, kamu... tadi bicara dengan siapa..."
Mendengar pertanyaan sopir taksi itu, baru kusadari bahwa dia sama sekali tidak bisa melihat Yunzi yang ada di dalam mobil ini.
"Oh, tadi... aku sedang mengirim WeChat," jawabku sambil menyebutkan alamat yang baru saja diberitahu Yunzi: "Ke Perumahan Maple Forest di Jalan Lingkar Selatan Utara."
Sopir taksi itu mengangguk setuju, lalu mobil mulai melaju.
Saat mobil baru saja keluar dari Kota Dongdian, sopir itu tiba-tiba bertanya: "Dik, kok rasanya aneh? Apakah kamu membawa AC sendiri atau bagaimana? Sejak kamu naik, aku terus merasa ada angin dingin di belakang leher."
Kujawab dengan santai sambil tersenyum: "Paman, mungkin mobilnya yang terlalu berangin..."
Sopir mendengar perkataanku, kemudian bergumam pelan lagi. Aku tak menangkapnya, tapi kudengar radio mobil sedang memutar《Zhang Zhen Bercerita Hantu》...
Mendengar ini, aku segera paham. Tak heran sopir taksi ini memandangku penuh curiga tengah malam begini... Kupandang Yunzi di sampingku, tersenyum pasrah. Kuisyaratkan agar dia masuk ke dalam Giokku untuk menghindari Energi Yin-nya yang mungkin menakuti sopir.
……
Mobil melaju ke arah Jalan Utara Nanhuan. Saat tiba di Fenglin Yuan, kubayar ongkosnya dan memberi tambahan 100 yuan agar dia menungguku setengah jam lagi untuk antar pulang.
Turun dari mobil, kuperiksa ponsel. Sudah lewat pukul satu dini hari. Bersama Yunzi, kami berjalan perlahan memasuki kompleks tempat tinggalnya, Fenglin Yuan.
Sepanjang jalan aku mengikutinya dari belakang. Kami tak bertukar kata, tapi kurasakan betapa berat hati Yunzi saat ini.
Dia berhenti di depan sebuah gedung, menoleh padaku: "Orang pintar, rumahku di lantai tujuh."
Kulihat ke atas, lalu mengangguk: "Kau sendiri yang temui mereka. Dua puluh menit harus keluar. Aku tunggu di bawah."
Yunzi mengangguk. Tubuhnya melayang, menembus dinding dan meluncur ke lantai enam.
Aku mencari tempat duduk seperti biasa, menunggu dengan sabar...
Sekitar sepuluh menit kemudian, kulihat Yunzi turun melayang dari lantai tujuh dengan mata merah bengkak.
Aku berjalan mendekat dan menatapnya bertanya, "Sudah bertemu orangtuamu dan adik laki-lakimu?"
Yunzi mengangguk sambil menangis:
"Ya, sudah..."
Memandanginya, aku menarik napas panjang lalu berkata, "Sekarang di sini akan kuantarkan kepergianmu."
Yunzi mengangkat wajah basahnya, suaranya gemetar, "Orang pintar, aku...aku benar-benar menyesal sekarang. Aku tak mau pergi. Takut...takut semua akan lenyap. Takut kehilangan segala yang pernah kumiliki di dunia ini..."
"Bagaimanapun juga, kau sudah mati. Keberadaanmu sekarang bukan bagian dari sini," kataku tegas.
Mendengar itu, Yunzi mengangguk pelan. "Bolehkah tahu namamu?" tanyanya sambil menatapku.
Aku tertegun sejenak:
"Percuma. Ingatanmu akan terhapus di kehidupan berikutnya."
Tapi Yunzi tersenyum getir, "Belum tentu."
"Zuo Shisan." Setelah berpikir, akhirnya kusebutkan namaku.
Bibirnya berbisik pelan mengulangi nama itu. Kemudian diam seribu bahasa, memejamkan mata seakan siap menerima takdir.
Mengambil posisi ritual, telapak tangan kanan menempel di dada. Mulutku komat-kamit melantunkan Sutra Penyelamatan Jiwa sepuluh kali. Perlahan wujud Yunzi menguap menjadi kabut hitam, menjauh sampai tak tersisa...
Menatap langit malam setelah pengabadian selesai, pertanyaan filosofis mengusik benak:
Dari mana asal muasal kehidupan? Dan ke mana akhir perjalanannya?
