"Aku tidak bisa menebak atau memahami, apa sebenarnya sumber dan ujung kehidupan kita. Tapi bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah setuju dengan seseorang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Seberat apapun masalah yang dihadapi, bunuh diri adalah tindakan pengecut."
"Karena kehidupan kita bukan hanya milik kita sendiri. Hidup adalah sesuatu yang indah bagi kita, setidaknya kita bisa merasakan keberadaan diri sendiri. Keberadaan ini adalah keajaiban terbesar yang diberikan alam kepada kita."
"Apapun kesedihan, ratapan, tangisan, dan keputusasaan yang kita hadapi dalam perjalanan hidup, percayalah itu hanyalah persinggahan sementara. Gigit gigi dan bertahanlah, di tempat yang lebih jauh masih ada jalan panjang yang menanti."
"Karena setelah badai berlalu, akan muncul pelangi yang lebih indah."
"Tapi jika tumbang diterpa badai, yang tersisa hanyalah kebusukan dan bau menyengat."
"Manusia, beban kehidupan... sungguh terlalu berat..."
Setelah keluar dari perumahan tempat tinggal Yunko, kulihat taksi masih menungguku di depan gerbang. Setelah naik, mobil berbalik arah menuju Kota Dongdian.
Aku duduk di kursi belakang, kesadaran masih belum bisa tenang untuk waktu yang lama.
Ucapan Yunko sebelum pergi terus bergema dalam pikiranku:
"Aku benar-benar tidak ingin pergi... Aku takut mati, takut kehilangan segala sesuatu di dunia ini..."
Saat berhadapan dengannya, tiba-tiba muncul perasaan putus asa yang merembes perlahan dari dasar hatiku.
"Kekuatan yang begitu teguh dan mutlak itu hampir membuatku tak bisa berkata-kata. Aku berdiri di sana dengan telapak tangan dingin membeku, merasakan keputusasaan, kesepian, bahkan ingin membiarkannya tetap tinggal di Dunia Manusia."
"Meski hatiku kacau balau saat itu, aku tetap melantunkan 《Sutra Penyelamatan Jiwa》, karena ini adalah takdir terbaik baginya."
"Tapi mengapa sekarang aku begitu menolak menghadapi kematian, padahal kemarin tega membunuh? Apakah karena menggunakan kekuatan dari 《Xuan Huang Di Jing》 ini, aku menjadi tak mengenali diriku sendiri?"
"Aduh... Aku bersandar di kursi belakang, memandang malam di balik jendela mobil, perasaan kecewa yang tak terperi menggelayut di hati..."
"Hal paling mengerikan dalam hidup bukanlah tak bisa melihat masa depan, tapi justru melihatnya namun tak berdaya mengubah. Wu Bi San Que dan 《Xuan Huang Di Jing》, apakah masa depanku sepenuhnya berada di tangan mereka?"
"Tidak, aku tidak rela!"
"Aku harus menemukan alasan mengapa praktisi ilmu Tao ini terkena kutukan Wu Bi San Que dan bagaimana 《Xuan Huang Di Jing》 melahap sifat asliku, serta cara menebusnya..."
"Pemuda, tetap kembali ke Dongdian ya?" Sopir taksi di depan menoleh bertanya, memutus alur pikiranku.
Aku mengangguk:
"Ya, antarkan saja aku kembali ke tempat naik tadi."
……
Sampai di gerbang perumahan, aku turun dari taksi. Persis saat itu, kulihat sepasang kekasih turun dari taksi di belakangku. Pria itu terlihat mabuk, berjalan limbung sambil terus bergumam:
“Li Xin, tahukah kamu betapa kejamnya masyarakat ini padaku?! Seberapa besar tekanan persaingannya?! Aku bekerja mati-matian, berjuang sekuat tenaga, pulang pagi dan pulang malam sudah biasa, setahun hampir tidak ada liburan, gaji bulanan cuma lebih dari 3000, pikir-pikir akhirnya, mana ada cewek yang mau...”
“Aku mau menikah!” Perempuan yang menopang pria mabuk itu menjawab tanpa ragu sedetik pun.
Sementara aku berdiri di samping, melihat jelas pria mabuk itu juga tidak ragu sedetik pun langsung menangis...
Kemudian, mereka sama-sama diam dan masuk ke perumahan bersama.
Kulihat kedua sosok itu perlahan menjauh, perasaan kesepian yang sangat kuat yang belum pernah ada sebelumnya tiba-tiba membanjiri seluruh tubuhku. Aku mengaku iri dan kagum pada mereka, aku mengaku kembali merindukan An Rushuang...
Ketidakhadirannya membuat hidupku terus berjalan, tapi bukan berarti dia tidak penting dalam hidupku. Aku merindukannya, penyakit rindu sudah masuk ke tahap parah.
Menghela napas, tak kuasa aku bergumam: “Perasaanku seperti awan yang kembali biru cerah, hatiku luas bagai langit dan bumi yang tak terbatas, hatiku sudah begini, aku tetap tenang...” Setelah itu, aku melangkah masuk ke perumahan.
Kembali ke rumah pria gemuk, setelah cepat-cepat mandi, kuatur alarm di ponsel lalu langsung merebahkan diri di kasur dan terlelap.
Pagi harinya, alarm ponsel membangunkanku. Setelah mandi, aku kembali ke kamar pria gemuk untuk membangunkannya.
Kami berdua sarapan bersama, lalu turun ke lantai bawah dan langsung menuju Kuil Qingzhu di Beijiu Shui.
Sepanjang perjalanan, pria gemuk itu menyetir mobil dengan kencang. Sebelum tengah hari, kami telah tiba di Kuil Qingzhu. Namun saat aku kembali, aku terkejut melihat gerbang kuil masih terkunci rapat.
Ini menunjukkan bahwa selama dua hari kepergian kami, guruku Master Qingfeng dan Master Lu tidak pernah kembali.
Membuka kunci, mendorong pintu masuk. Begitu sampai di dalam rumah, aku segera mengeluarkan ponsel dan menelepon Master Qingfeng.
Aku ingin memberitahunya melalui telepon tentang kemungkinan Master Gui sebagai pengkhianat. Tapi ponsel hanya menyatakan "tidak ada sinyal". Ke mana Master Qingfeng pergi sekarang?
Sambil berpikir, aku menyusun SMS dan mengirimkannya. Jika ponselnya mendapat sinyal, pasti akan terbaca.
Setelah mengirim SMS, aku mengajak pria gemuk itu berbelanja ke kota terdekat. Aku tak ingin menunda lagi, segera berangkat ke Hutan Primir Karst Maolan di Guizhou untuk mencari jenazah perempuan di makam kuno dan mengungkap kebenaran.
……
Setelah semua persiapan selesai, siang itu pria gemuk mengantarku ke bandara.
"Shixiong, kau benar-benar mau pergi sendirian ke makam hutan purba itu? Kalau terjadi sesuatu, tak ada yang menolong. Bagaimana nanti?" Pria gemuk itu masih khawatir menatapku.
"Orang baik pasti dilindungi langit." Aku bercanda padanya.
"Cepat berhenti omong kosong itu!" Pria gemuk itu membalas.
Aku tersenyum dan berkata padanya: "Sudahlah pria gemuk, aku tidak akan banyak bicara lagi denganmu. Kamu pulang saja dulu. Aku ingin menelepon orangtuaku. Ingat baik-baik, kalau Shifu kembali, kamu harus memberitahunya tentang urusan Master Gui itu." Sebelum pergi, aku kembali berpesan pada pria gemuk itu.
Mendengar perkataanku, pria gemuk itu membuat gestur "OK" dengan tangannya, menandakan agar aku tenang.
Setelah berpisah dengan pria gemuk, sebelum naik pesawat, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon ibuku. Setelah mengobrol sebentar, aku menutup telepon, mematikan ponsel, lalu naik ke pesawat.
Bersiap menuju Hutan Primir Karst Maolan di pinggiran selatan Kabupaten Libo, Guizhou.
……
Singkat cerita, perjalanan berjalan lancar. Saat turun dari pesawat, waktu sudah menunjukkan lewat pukul tiga pagi. Aku mencari hotel di sekitar bandara, mandi, lalu langsung tertidur.
Keesokan harinya begitu bangun, aku segera pergi ke toko perlengkapan outdoor terdekat dan membeli semua peralatan yang diperlukan untuk ekspedisi ke hutan purba ini:
Tas ransel, sleeping bag, tikar anti lembab, sarung tangan, topi, pakaian ganti, kacamata hitam, lampu kepala, senter kuat, botol minum, perlengkapan mandi, kotak P3K, korek api, biskuit kompresi, bahan bakar padat, tali panjat, sekop militer, kompas penunjuk arah, termometer, peta, dan lain-lain...
Karena di dalam Hutan Primir Karst Maolan ini tidak hanya medannya berbahaya, tapi juga dihuni banyak satwa liar kuno seperti: monyet, kijang kesturi, Harimau Tiongkok selatan, banteng liar, beruang, macan tutul, monyet putih, dan lain sebagainya. Aku harus mempersiapkan segalanya dengan matang.
"Setelah semua persiapan selesai, aku mengumpulkan satu per satu lalu memasukkannya ke dalam tas. Aku membawanya pulang, berencana mencari pemandu lokal hari ini juga untuk memandu ke Hutan Primir Karst Maolan di depan."
……
Di sekitar stasiun, aku mencari hampir setengah hari tapi tak menemukan pemandu. Sebagian besar pemandu di sini kerja paruh waktu, dan sekarang sedang musim sepi pariwisata, jadi jumlah pemandu tidak banyak.
Setelah lebih dari satu jam, akhirnya melalui tanya-tanya aku berhasil menghubungi pemandu lokal bernama Huang Xiaoming, seorang anak muda berusia 20-an tahun.
Setelah bertemu, kesan pertamaku tentang dia cukup baik - banyak bicara, pandai bersilat lidah, dan tarifnya juga tidak mahal.
Setelah deal, kami langsung naik mobil menuju Hutan Primir Karst Maolan di pinggiran selatan Kabupaten Libo.
Sekitar pukul 10 siang, mobil tiba di pinggiran selatan Kabupaten Libo. Turun dari mobil, aku dan Huang Xiaoming menyewa becak yang langsung mengantar kami ke tepi Hutan Primir Karst Maolan.
Turun dari becak, aku menatap hutan lebat di depan sambil merasakan perasaan aneh yang campur aduk - seperti segala sesuatu tetap sama tapi manusia sudah berubah.
"Bos, kita mau makan dulu atau langsung masuk ke hutan?" tanya Huang Xiaoming di sampingku.
