"Ada tempat makan di sekitar sini??" tanyaku sambil menoleh ke Huang Xiaoming.
Huang Xiaoming mengangguk:
"Jalan kurang setengah li ke selatan ada warung makan, tapi harganya agak mahal."
“Baiklah, sebelum berangkat kita makan dulu yang enak biar ada tenaga saat masuk hutan.” Aku segera menyuruh Huang Xiaoming memimpin jalan di depan, menuju restoran yang dia sebutkan.
Setelah makan siang, aku dan Huang Ziming tidak ragu lagi, langsung berangkat menuju kedalaman hutan purba.
Sebenarnya aku menyewa Huang Ziming sebagai pemandu untuk membantuku mencari denyar nadi bumi sebelum menemukan makam kuno. Setelah menemukan denyar nadi itu, tugasnya selesai dan sisanya aku yang akan melanjutkan sendiri.
Sejak memutuskan untuk mencari jenazah perempuan di makam kuno di hutan purba ini, aku menyempatkan diri mempelajari teknik feng shui membaca denyar nadi bumi dan mencari makam kuno dari "Buku Lengkap Ilmu Taoisme Maoshan". Asal pemandu lokal bernama Huang Xiaoming ini bisa membawaku ke lokasi denyar nadi bumi yang ada di peta, aku pasti bisa melacak makam itu mengikuti aliran denyar nadi!
Sepanjang perjalanan, Huang Ziming hanya membawa satu set tenda dan tas kecil, sedangkan ransel di punggungku penuh sesak sampai agak sulit berjalan. Tapi aku tidak berniat mengurangi beban karena di tempat seperti ini lebih baik bawa persiapan ekstra, apalagi aku sendirian.
Perubahan tak terduga di hutan purba ini bahkan lebih dahsyat daripada lautan.
Setelah masuk ke hutan purba, pohon-pohon di sekitar semakin besar dan rapat. Rumput liar di bawah kaki semakin berkurang, berganti dengan tumpukan daun kering yang semakin tebal. Bahkan saat menggali dalam-dalam pun tak terlihat tanah, hanya daun-daun kering yang membusuk. Berjalan di atasnya terasa seperti menginjak spons.
Udara sekaligus menjadi sangat lembab, langit tampak berkabut, tak jelas apakah hujan atau kabut. Melangkah terus ke depan sekitar dua tiga li, tanah di bawah sepenuhnya tertutup lumut, ranting kering membusuk dan dedaunan, sama sekali tak terlihat tanah. Di depan mata banyak berdiri pohon-pohon raksasa, serta batang-batang kering yang bergelimpangan di tanah.
Baik pohon hidup, pohon mati, maupun kayu lapuk, semuanya ditumbuhi lumut hijau. Tanaman merambat panjang menjalin di antara mereka. Aku dan Huang Ziming sekarang benar-benar sedang menelusuri hutan lebat yang ditutupi pepohonan kuno...
Di sekeliling berbagai rumput tak bernama, anggur liar, kurma lunak, baki, wuweizi, berbagai buah hutan bergelantungan di pohon, menjalar di sulur, atau tumbuh di semak. Dengan santai kukumpulkan dan kumasukkan ke tas ransel, untuk persediaan darurat.
Huang Ziming yang berjalan di depanku sambil membuka jalan dengan golok kayu, menoleh dan berpesan: "Bos, hati-hati jangan terpeleset di bawah kaki, jangan menginjak ular berbisa. Usahakan kaki menginjak celah-celah tumpukan daun. Di hutan ini ada 'ular pohon' yang warna kulitnya mirip batang kayu sehingga sulit terlihat. Ular ini biasanya tidak menyerang duluan, tapi jika terkejut bisa menggigit. Bisanya sangat mematikan, kau harus ekstra hati-hati..."
Saat berjalan, aku dan Huang Ziming juga menemukan banyak jejak segar beruang, kambing hutan, serigala liar, dan hewan tak dikenal, serta bekas cakaran beruang di batang pohon di sekitar.
Melihat ini, Huang Ziming yang berpengalaman di hutan segera membawaku memutar jalan.
Karena memutar ini, kami memasuki semak belukar rendah yang sulit dilalui. Huang Ziming yang berjalan di depan sambil mengangkat semak dengan parang di tangannya, menoleh dan bertanya padaku: "Ngomong-ngomong bos, umurmu berapa? Kayaknya kamu masih mahasiswa ya?"
"Dua puluh." Aku menambah sekitar setahun lebih di usia asliku, lalu melanjutkan: "Ngomong-ngomong, Kakak Huang, tak perlu memanggilku bos. Aku kurang nyaman. Panggil saja namaku, Zuo Shisan."
Huang Ziming tersenyum mendengarku:
"Kalau kau sudah memanggilku kakak, aku akan memanggilmu adik. Usiaku dua puluh tujuh," kata Huang Ziming sambil menatapku.
"Oke." Aku menyetujui dan terus mengikutinya.
Huang Ziming bertanya lagi: "Ngomong-ngomong adik, peta itu menurutku masih jauh di dalam hutan. Untuk apa pemuda dua puluh tahun sepertimu pergi ke sana?"
Aku tersenyum:
"Untuk mimpi petualangan di hati." Penjelasan ini bahkan terasa masuk akal bagiku sendiri...
Setelah mendengar perkataanku, Huang Ziming menatapku dan berkata: "Adik, kau boleh saja berpetualang, tapi aku harus memberimu dua pesan. Semakin masuk ke dalam hutan ini, semakin aneh keadaannya. Binatang buas dan ular berbisa juga banyak. Jangan kira karena sekarang musim gugur jumlahnya berkurang. Aku sarankan kau jalan sebentar di sini, lalu aku akan antar keluar."
Aku tersenyum:
"Tekadku untuk petualangan ini sudah bulat. Takkan berhenti sebelum mencapai tujuan."
Mendengar jawabanku, Huang Ziming menggelengkan kepala. Ia tak berkata apa-apa lagi dan melanjutkan memimpin jalan.
Demikianlah kami berjalan beriringan selama empat hingga lima jam. Baru berhenti ketika langit mulai gelap. Saat itu juga, gerimis halus mulai turun. Kami segera mencari tempat yang relatif luas untuk mendirikan tenda.
Saat memasang tenda, Huang Ziming bertanya: "Hei Adik, sebelumnya kau pernah jadi tentara?"
"Tidak, kenapa?" jawabku.
Wajah Huang Ziming tampak terkejut. Ia menatapku: "Kau belum pernah jadi tentara, tapi staminamu tak kalah dengan orang sepertiku yang sering naik-turun gunung. Apa kau rajin berolahraga?"
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.
Setelah tenda selesai didirikan, aku ingin menyalakan api unggun. Tapi saat ini hujan turun dan segala sesuatu di sekitar basah. Huang Xiaoming ternyata punya trik. Pertama, dia mengambil kapak dan menebak seikat bambu—karena bambu mengandung minyak yang mudah terbakar. Kemudian dia memotong beberapa ranting sebesar pergelangan tangan, menuangkan minyak tanah ke bambu, dan menyalakannya. Nyala besar kemudian membakar ranting-ranting tebal itu. Seperti peribahasa "kayu basah takut api ganas", inilah prinsipnya.
Meski hujan, gerimis kecil ini tidak terlalu mempengaruhi api unggun.
Dengan api unggun yang menyala, kami berdua mulai merebus air, mengeringkan pakaian, dan makan.
Setelah kenyang, aku mengambil peta dan berdiskusi dengan Huang Ziming tentang rencana besok. Menurutnya, jika tidak ada halangan, sebelum gelap kami pasti akan sampai di lokasi yang ditandai di petaku.
Yaitu satu-satunya petunjuk untuk menemukan makam kuno itu: denyut nadi bumi feng shui makam.
Setelah sepakat, kami memutuskan untuk berjaga bergiliran di tenda malam ini. Huang Ziming jaga paruh pertama, aku paruh akhir.
Kami masuk ke tenda bergantian. Begitu berbaring, aku langsung ingin tidur. Di tengah hujan rintik yang menepuk-nepuk tenda dengan suara tok-tok, bayangan ranting dari api unggun luar berkedip-kedip di kain tenda. Tanganku tak sadar meraih Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks di samping bantal... Terlalu lelah. Kantuk akhirnya menyerbu. Kupejamkan mata dan tertidur.
Dalam keadaan setengah sadar, aku kembali bermimpi tentang Bai Ruotong. Mimpi ini persis sama dengan sebelumnya - Bai Ruotong terikat di tutup peti mati kayu itu, menderita siksaan...
Setelah terbangun ketakutan oleh adegan dalam mimpi, aku duduk di dalam tenda sambil menghela napas panjang. Kuku tepuk-tepuk kepala sendiri, berusaha menenangkan pikiran. Ternyata masalah ini lebih rumit dari yang kubayangkan. Semakin dekat dengan makam kuno itu, mimpi semacam ini semakin sering muncul...
Sambil merenung, kukeluarkan mutiara putih peninggalan Bai Ruotong dari tas ransel. Kuperhatikan benda itu di telapak tangan dengan seksama, namun rasa kehilangan yang menghantui dan penyesalan menyergap hatiku. Andai bukan karena aku, Bai Ruotong mungkin tidak akan mati... Dengan menghela napas, kumasukkan kembali mutiara itu ke dalam tas.
Melihat jam di kompas penunjuk arah, sekarang sudah lewat pukul satu pagi. Saatnya giliranku berjaga.
Setelah berpikir demikian, kukenakan pakaian dan keluar tenda. Hujan rintik-rintik di luar sudah berhenti. Api unggun masih berkobar terang. Kulihat ke arah tenda Huang Ziming, kebetulan dia juga baru keluar.
"Kakak Huang, kau bisa tidur dulu. Aku yang akan berjaga sampai pagi," kataku pada Huang Ziming.
Huang Ziming mengangguk, menyerahkan kapak kayunya padaku, lalu masuk kembali ke tenda untuk tidur.
……
Semalam tidak ada kejadian, keesokan harinya saat fajar menyingsing, kami berdua membereskan tenda, memadamkan api unggun dengan tanah, lalu melanjutkan perjalanan mengikuti arah aliran energi feng shui yang tertera di peta.
Bagaimanapun juga, kali ini aku harus menyelidiki hubungan antara Bai Ruotong dengan jenazah perempuan di peti mati kayu makam kuno itu!
