Setelah mendengar ucapanku, Huang Ziming terlebih dahulu ragu sejenak, lalu melanjutkan bicara kepadaku: "Adik, sebenarnya jujur saja, sejak pertama kali masuk ke lembah ini, kelopak mata kananku terus berkedut, hatiku juga terasa sesak. Bagaimana kalau... bagaimana kalau adik ikut pulang bersamaku? Tempat ini kurasa benar-benar bukan tempat yang baik, jangan-jangan..."
Mendengar perkataan Huang Ziming, aku tersenyum dan berkata kepadanya: "Kakak Huang, aku baik-baik saja. Hati-hati di jalan saat pulang sendiri ya." Tanpa memberinya kesempatan berbicara lagi, aku membawa senter kuat dan berbalik melanjutkan langkah ke kedalaman lembah.
Persis di saat itu, kudengar suara helaan napas panjang dari belakang. Huang Ziming berteriak kepadaku: "Adik, kalau benar-benar tidak bisa, cepatlah kembali! Aku akan memasang tenda di mulut lembah, menunggumu semalaman..." Sambil berkata demikian, Huang Ziming berjalan keluar dari lembah.
"Kakak Huang, tidak perlu. Kau pulang sendiri saja..." Aku berteriak balik ke arahnya, tapi tidak ada jawaban. Entah apakah dia mendengar ucapanku atau tidak.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, melanjutkan perjalanan sendirian ke kedalaman lembah yang gelap dan lembab ini.
Sejak aku menginjakkan kaki ke gerbang Jalan Tao ini, ini pertama kalinya aku pergi sendirian menjelajahi makam kuno untuk menghadapi jenazah perempuan yang masih menyimpan Qi meski telah mati, entah sudah berapa abad lamanya bertahan di dunia ini.
"Di sampingku tak lagi ada Master Qingfeng, guruku, tak ada Zhao Man dari Tim Penyelidik Fenomena Gaib, Si Bekas Luka, dan yang lain. Tak ada lagi para ahli dari Aliran Longhu, juga istri hantuku An Rushuang yang selalu mendampingiku. Karena itu, aku harus belajar mandiri, apapun yang dihadapi, harus mengatasi rasa takut dalam hatiku."
Sambil merencanakan dalam hati, aku berjalan menyusuri kedalaman lembah ini...
Di dalam lembah ini bukan hanya gelap, tapi sirkulasi udaranya sangat buruk. Di mana-mana tercium bau aneh yang tak biasa. Setelah berjalan cukup lama di sini, aku mulai merasakan gejala kekurangan oksigen dan sesak di dada.
"Tidak bisa begini. Aku harus mempercepat langkah dan segera keluar dari lembah ini." Memikirkan ini, aku menyetel senter kuat di tanganku ke tingkat paling terang, lalu mempercepat langkah menuju kedalaman.
Setelah berjalan sekitar lima enam menit, tiba-tiba muncul lubang dalam gelap gulita di depanku. Tanpa sengaja, hampir saja aku terjatuh ke dalamnya.
Melihat lubang dalam di bawah kakiku, segera kusorotkan senter kuat ke bawah. Seketika napasku tertahan melihat pemandangan itu!
Di dasar lubang itu, bergeliat-geliat puluhan ular berkepala besar berwarna kelabu kebiruan. Aku tak tahu jenisnya, tapi semua tanpa kecuali memiliki kepala berbentuk segitiga. Mereka semua memusat di dasar lubang itu, jumlahnya setidaknya ratusan ekor!
Di antara mereka yang besar minimal seukuran lengan orang dewasa, yang kecil juga lebih dari setengah meter panjangnya. Setiap ular berkepala super besar berenang di antara kerumunan. Ada yang malas-malasan melingkar, ada yang saling bertarung dan menggigit dengan mulut menganga, memperlihatkan taring hitam melengkung yang runcing. Pemandangan ini membuat seluruh tubuhku merinding dan merasa jijik luar biasa, sementara hawa dingin mulai merayap dari dasar hatiku.
Bangsat! Untung saja tadi aku tidak jatuh. Kalau sampai tercebur, apa aku masih bisa selamat?!
Entah lembah apa sebenarnya tempat ini, sampai bisa ada begitu banyak "ular berkepala besar" berkumpul di sini. Sambil berpikir demikian, perlahan aku bangkit dan berjalan memutar mengitari lubang dalam yang gelap gulita penuh "ular berkepala besar" ini.
Semakin jauh masuk ke dalam lembah, aku mulai merasa ruangnya semakin menyempit. Makin ke dalam, semakin mirip gua tertutup yang pengap. Perlahan, perasaan tertekan mulai menghantuiku, seolah ada sesuatu yang menyumbat di dadaku...
Dalam beberapa ekspedisi sebelumnya, aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini. Dulu kami selalu berombongan sehingga bisa mengobrol untuk meredakan ketegangan. Kedua, jumlah orang yang banyak juga memberi keberanian. Tapi kini aku sendirian. Perlahan kusadari, menjelajah solo sama sekali bukan ide bagus. Namun di sisi lain, aku juga paham bahwa justru inilah cara terbaik untuk mengasah sifat batinku.
Hanya melalui latihan seperti inilah, mungkin ada satu kemungkinan lagi ketika aku pergi ke alam baka untuk menyelamatkan An Rushuang sebulan kemudian.
Begitu memikirkan An Rushuang, seketika kekuatan mengalir dalam tubuhku. Aku menggigit gigi dan terus berjalan menuju kedalaman.
Hingga akhirnya melihat cahaya di depan, baru kusadari bahwa tanpa kusadari, aku hampir melewati lembah gelap dan lembap ini.
Sepanjang perjalanan di lembah ini, kulihat banyak makhluk yang belum pernah kujumpai sebelumnya: kodok besar berkaki tiga, serangga aneh bertubuh penuh benjolan, cacing kuning bergigi runcing melingkar, bahkan cacing tanah raksasa sepanjang setengah meter...
Namun beruntungnya sepanjang perjalanan ini, meski bertemu banyak makhluk yang tampak mengerikan, mereka semua mematuhi aturan alam di luar hubungan predator-mangsa:
"Kamu tidak menggangguku, aku tidak mengganggumu."
……
Setelah berhasil keluar dari lembah penuh monster dan serangga beracun ini dengan badan berkeringat dingin, kuangkat kepala memandang sinar matahari yang menyilaukan, mengusap keringat di dahi, lalu menghela napas panjang. Akhirnya bisa keluar dari sana!
Pertama-tama aku berdiri di mulut lembah, perlahan menyesuaikan mata dengan pencahayaan luar. Kemudian mengeluarkan peta dari tas, menentukan arah dengan kompas, lalu berjalan menuju selatan.
Jika perkiraanku tidak salah, beberapa li ke arah ini akan sampai di denyut nadi bumi makam kuno yang misterius itu.
Setelah keluar dari lembah, jalan setapak di pegunungan ini jelas sulit dilalui. Sekeliling penuh dengan berbagai tanaman merambat yang saling melilit. Setiap beberapa puluh meter berjalan, saya harus berputar arah. Selain itu, selama berjalan saya harus terus memantau kompas penunjuk arah di tangan untuk memastikan orientasi yang benar. Karena itu perjalanan ini sangat lambat.
Melihat ke langit, hari hampir gelap. Hati saya mulai gelisah karena di hutan lebat yang dipenuhi tanaman merambat ini, sama sekali tidak mungkin mendirikan tenda.
Jadi saya harus menemukan tanah lapang sebelum gelap untuk mendirikan tenda. Jika tidak, beristirahat malam ini di hutan purba yang penuh ular berbisa dan serangga hanya akan menjadi mimpi.
Meski ingin mempercepat langkah, kondisi objektif tidak memungkinkan. Semakin banyak tanaman merambat di sekeliling, semakin sulit saya melangkah cepat. Ini membuat saya merasa frustasi dan gelisah!
Walau jalan pegunungan sulit, untungnya nasib masih berpihak. Setelah melewati area tanaman merambat, saya menemukan wilayah daun kering yang relatif lapang. Meski tidak luas, cukup untuk mendirikan tenda portabel.
Melihat ini, hati saya langsung berbunga. Saya segera bergegas menuju area daun kering di depan.
Saat matahari mulai terbenam, aku tidak berani membuang waktu sama sekali. Pertama membersihkan daun kering di permukaan tanah, lalu mulai mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, aku meletakkan tas ransel ke dalamnya, kemudian menaburkan bubuk anti serangga mengelilingi bagian luar tenda.
Setelah semuanya siap, aku mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Kurang dari setengah jam, api unggun sudah menyala. Sambil makan biskuit kompresi, aku mengeringkan pakaian yang masih lembap di dekat api.
Setelah kenyang, aku mulai menyiapkan perangkap anti binatang buas. Menggunakan tali, aku merangkai lonceng-lonceng yang kubeli sebelumnya di toko, lalu melingkarkannya mengelilingi tenda.
Tujuanku hanya satu: membuat lonceng-lonceng ini menjadi "penjaga malam". Binatang buas mana pun yang mendekati tenda pasti akan menyentuh tali berlonceng ini. Begitu lonceng berbunyi, aku langsung terbangun.
Setelah semua persiapan selesai, aku berjongkok di samping api unggun. Memandang kobaran api, perasaan kecewa mulai merayap di hatiku...
Sebenarnya sejak memutuskan datang ke Hutan Primir Karst Maolan ini, selalu ada kegelisahan dalam hatiku. Aku tak tahu apakah keputusanku datang ke sini benar atau salah.
Apalagi pemandangan dalam mimpiku itu - apakah itu nyata atau hanya ilusi?
Jika Bai Ruotong sudah bereinkarnasi, dan semua ini hanyalah tipuan dari jenazah perempuan di makam itu, maka kedatanganku kali ini jelas-jelas terjebak dalam jebakannya!
