Setelah mendengar suara Ruo Liu, aku pertama-tama menjawab panggilannya, lalu bangkit dari bangku dan berjalan keluar rumah.
Membuka pintu dan melangkah ke luar, kusadari langit sudah mulai remang-remang. Kubicarkan pada Ruo Liu yang menunggu: "Ruo Liu, kau tak perlu melayaniku. Cukup urus dirimu sendiri. Katakan saja di mana dapur dan tempat mengambil air, aku bisa mengerjakan sendiri."
Ruo Liu tetap tersenyum mendengar ucapanku: "Tuan, jangan sungkan. Ini sudah menjadi tugasku. Selama ini aku hanya menganggur, sekarang ada pekerjaan justru kuanggap berkah."
Aku mengangkat bahu dengan pasrah, menyerah untuk terus membujuknya, lalu mengikutinya masuk ke rumah di sebelah.
Setelah mendorong pintu masuk, terlihat sebuah bak kayu besar di tengah ruangan yang telah terisi air panas beruap.
Ruo Liu di belakangku dengan lembut menutup pintu, sementara aku mendekati bak kayu dan menguji suhu air dengan tangan - hangatnya pas, tidak terlalu panas maupun dingin.
Segera kulepaskan pakaian dan berendam di dalamnya, bersandar pada bak kayu sambil menghela nafas panjang, berusaha mengosongkan pikiran untuk menghilangkan lelah seharian...
Setelah mandi dan berpakaian, aku keluar dari rumah menuju ruang belajar, berniat menghafal tugas hari ini dari buku "Qing Xin Lu" di meja sebelum tidur.
Persis saat itu, pintu diketuk lagi. Setelah kujawab, Ruo Liu masuk membawa set teh lengkap.
"Tuan, minum teh saat membaca malam hari bisa mengurangi kantuk," ujar Ruo Liu sambil menaruh teko di mejaku.
"Terima kasih. Ngomong-ngomong Ruo Liu, kalau kau tak keberatan, panggil saja San Ge. Jangan Tuan-Tuan, kedengarannya aneh," kataku. Sebenarnya kulihat usianya tak lebih dari 16-17 tahun.
Ruo Liu mengangguk, tapi tak segera pergi. Ia tetap berdiri di lantai dengan ekspresi seolah ingin mengatakan sesuatu namun ragu.
“Ruo Liu, apakah masih ada hal lain yang ingin kau sampaikan?” Aku menuangkan secangkir teh, menatapnya dan bertanya.
“San Ge… Aku melihat sepanjang hari ini alismu selalu berkerut dan wajahmu muram. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Ruo Liu menatapku dan bertanya.
Mendengar perkataan Ruo Liu, aku terdiam sejenak lalu menceritakan kekhawatiran yang selama ini menggelayuti hatiku. Sebenarnya aku tidak berharap Ruo Liu bisa membantuku, namun saat ini aku hanya perlu mencurahkan isi hati, mengungkapkan beban yang selama ini terpendam.
Setelah mendengar ceritaku, Ruo Liu berkata: “San Ge, sebenarnya kau tak perlu terlalu khawatir dengan istri hantumu di alam baka. Dulu Tuan Qing You pernah memberitahuku bahwa satu bulan di alam baka setara dengan satu tahun di dunia manusia. Jadi meskipun kau berlatih di sini selama setahun, di alam baka hanya berlalu satu bulan. Karena itu, fokusmu sekarang harus pada menghafal kitab suci.”
Perkataan Ruo Liu membuat semangatku membara: “Satu bulan di alam baka setara dengan satu tahun di dunia manusia. Benarkah itu?”
“Ya, benar. Begitulah yang dikatakan Tuan Qing You kepadaku.” Ruo Liu mengangguk mantap.
Mendengar penjelasan Ruo Liu, sedikit demi sedikit beban di hatiku mulai terangkat.
“San Ge, selama ini kamu murung karena hal ini?” Ruo Liu melanjutkan pertanyaannya.
Kuangkat cangkir teh di meja, meneguknya perlahan sebelum menjawab: “Iya. Aku sangat mengkhawatirkannya. Sama sekali tak tahu bagaimana keadaannya di alam baka. Apakah para petugas neraka atau pejabat Yin Si menyusahkannya.”
"Jadi kamu harus berusaha keras, bawa dia kembali. Aku percaya San Ge, kamu pasti bisa melakukannya." Ruo Liu membuka mulut menyemangatiku.
Aku tersenyum paksa, mengangguk berkata: "Ya, aku akan berusaha dua ratus persen."
Setelah Ruo Liu keluar dari rumah, langit sudah gelap total. Kutemukan penyangga lilin di atas meja dan menyalakannya, lalu buru-buru duduk di depan meja belajar mulai menghafal dengan serius. Setelah tahu satu bulan di alam baka sama dengan setahun di dunia manusia, kegelisahanku sedikit berkurang. Dengan tenang kuhafalkan semuanya.
Mulai dari halaman pertama, setelah membaca puluhan kali berturut-turut, kucoba menghafal dengan mata tertutup. Jika lupa di tengah jalan, kubaca lagi. Begitu terus berulang...
Entah berapa lama, setelah berhasil menghafal enam dari sepuluh bagian hari ini, kuangkat kepala dan meregangkan badan. Berencana istirahat sebentar sebelum lanjut menghafal.
Dari sudut mataku kulihat lilin sebesar ibu jari di meja sudah terbakar separuh. Memang waktu terasa cepat saat fokus pada sesuatu.
Kubangunkan badan, bergerak-gerak sebentar, minum segelas teh, lalu mulai menghafal empat bagian tersisa.
……
Setelah semua target hafalan hari ini selesai, kuhirup napas panjang. Melihat ke jendela, fajar mulai menyingsing. Wah, ternyata sudah semalaman aku menghafal.
Cepat-cepat kupadamkan lilin, lepas baju dan naik ke kasur.
Mungkin terlalu lelah, baru saja kutuup mata di kasur, langsung terlelap tak sadarkan diri.
Dalam mimpi aku seolah melihat seorang wanita berbaju putih. Dia berada jauh dariku, wajahnya tak jelas. Seberapapun aku berusaha mendekat, jarak tak juga berkurang.
Perlahan aku menyerah. Berdiri terengah-engah, kutatap punggung wanita berbaju putih itu. Entah mengapa, intuisi berkata dialah An Rushuang!
Pasti dia!!
"Rushuang, aku tahu ini kamu. Kau sedang memberiku pesan melalui mimpi, kan?! Bagaimana kabarmu di alam baka? Apa para Penjaga Neraka menyiksamu? Tahukah kau... aku sangat merindukanmu." Teriakku pada bayangan itu.
Sosok putih itu gemetar saat mendengar suaraku. Namun dia tetap diam duduk di kejauhan, tak menoleh maupun berbicara.
"Rushuang, tunggulah! Aku pasti akan menyelamatkanmu dari alam baka... Memang tingkat kultivasi-ku masih jauh dari cukup, tapi aku bersumpah..."
Tiba-tiba bayangan wanita itu menghilang tanpa jejak. Apakah Rushuang telah pergi?
Kulihat sekeliling yang suram. Dadaku sesak. Sejak kepergiannya, aku selalu berharap mendapat pesan mimpinya. Tapi baru kali ini mimpi itu datang, dan tak sepatah kata pun dia tinggalkan.
"Melihat posisi tempat Rushuang tadi berada, aku perlahan mulai khawatir. Dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku, apakah ada sesuatu yang sulit diungkapkan??"
"Persis di saat itu, tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu yang membuatku tersentak bangun dari kasur dan langsung duduk."
"San Ge, kamu sudah bangun?" Suara Ruoliu terdengar dari luar rumah.
"Mendengar suara Ruoliu, pertama-tama kuusap keringat dingin di dahiku, buru-buru menjawab lalu bergegas berpakaian dan turun dari tempat tidur untuk membukakan pintu."
"Setelah pintu terbuka, terlihat Ruoliu membawa baskom dengan kedua tangan, handuk tergeletak di pundaknya sambil masuk ke dalam."
"Aku sudah siapkan air untukmu, San Ge. Silakan cuci muka dulu." Ruoliu meletakkan baskom di rak kayu sambil menatapku.
"Saat ini, sambil memandangi Ruoliu di dalam rumah, tiba-tiba terasa seperti berasa seperti pindah ke zaman kuno. Cara Ruoliu melayani persis seperti pelayan wanita di era kuno..."
"Ruoliu, dengarkan. Ke depannya jangan perlakukan aku seperti ini. Urusan kecil seperti ini bisa kulakukan sendiri. Jika aku terus dilayani sampai makan tinggal membuka mulut dan pakai baju tinggal mengangkat tangan, bukankah aku jadi setengah cacat?" Kataku pada Ruoliu.
"Ruoliu tampak bingung mendengar perkataanku: San Ge tidak suka caraku? Menurut buku yang kubaca, wanita memang seharusnya melakukan hal-hal seperti ini untuk pria."
Aku memandangnya dengan perasaan setengah geli setengah kesal, terpaksa menjelaskan dengan sabar: "Buku-bacaanku itu menggambarkan masyarakat feodal zaman kuno. Saat itu prinsip 'pria diutamakan, wanita direndahkan' berlaku. Tapi sekarang sudah berbeda, seluruh negara kita telah merdeka. Laki-laki dan perempuan setara. Kau tak perlu lagi melakukan hal-hal ini untukku, malah membuatku merasa berhutang budi."
