Keesokan harinya pagi-pagi, di bawah pimpinan Pria Bertopi, aku berjalan keluar dan mengikutinya menuju sebuah sungai berair terjun di pegunungan terpencil ini.
Di tepian sungai, bebatuan berserakan memenuhi tanah meski pemandangannya cukup indah. Langit berawan tipis, angin sepoi-sepoi, riak air berkilauan dengan dasar sungai yang jernih terlihat jelas. Sesekali terlihat ikan mas ukuran berbeda berenang kesana kemari. Kawasan pegunungan dan sungai yang terisolasi ini masih mempertahankan aura alam purba yang jarang dijamah manusia. Melihat ini, hatiku tak bisa menahan rasa rileks, suasana hati pun menjadi lebih baik.
Tempat ini memang lingkungan ideal untuk latihan.
Saat ini di tangan Pria Bertopi tergenggam sebuah tas hitam. Ia berjalan ke tepi sungai dan meletakkan tasnya di tanah. "Dalam tas ini ada pemberat timbal dan perban," katanya padaku. "Ikatkan masing-masing di kedua paha, lengan, dan dada. Ini akan membantumu menahan tubuh saat masuk ke air, menetralisir daya apung dan arus bawah."
Tanpa membuang waktu, aku segera mendekat dan mengeluarkan pemberat timbal serta perban dari tas itu, mulai membalut tubuhku sendiri...
Setelah semua pemberat terpasang, Pria Bertopi memerintahkan: "Sekarang masuklah ke sungai."
Aku menuruti perintahnya dan melangkah masuk ke aliran sungai di hadapanku.
Meski air sungai di musim gugur tak sedingin musim dingin, tapi tetap membuatku tak bisa menahan menggigil. Namun untuk bisa cepat menjadi kuat, terpaksa kukatupkan gigi sambil gemetar, terus melangkah ke tengah sungai.
Seiring langkahku menuju tengah sungai, air dingin menusuk tulang perlahan menyapu betis, paha, pinggang, hingga akhirnya mencapai dada. Tak kuasa lagi, kuterhenti dan menoleh ke Pria Bertopi di tepian dengan pandangan bertanya.
Melihatku berhenti, pria di tepian itu berkata dengan suara dingin tanpa secercah perasaan: "Lanjutkan!"
Mendengar itu, kukencangkan lagi rahang dan terus melangkah ke bagian lebih dalam.
Permukaan air naik perlahan, menyentuh leher hingga ke dagu. Barulah Pria Bertopi itu berseru menghentikanku.
Berdiri di tengah arus, kurasakan tekanan air mulai menghimpit pori-pori, terutama di paru-paru. Seolah ingin memeras seluruh udara dari tubuhku, membuatku sesak napas.
Bernapas semakin sulit. Dinginnya air nyaris mematikan. Keinginan untuk menyerah mulai menggelayut, tapi bayangan An Rushuang yang masih menanggung hukuman di alam baka membuatku bertahan.
Zuo Shisan! Kalau kau laki-laki sejati, jangan pernah menyerah! Sekalipun nyawa taruhannya!!
"Kumpulkan seluruh energi Yang di tubuhmu pada kedua lengan, sekaligus pukul air sekuat tenaga sebanyak dua ratus kali!!" Suara Pria Bertopi kembali terdengar dari belakangku.
Mendengar perkataannya, aku segera memusatkan energi Yang di kedua tanganku, mengatupkan gigi, lalu mencoba memukul sekuat tenaga. Baru satu pukulan, paru-paru saya seakan akan segera meledak. Tak tahan, aku batuk-batuk di dalam sungai.
"Sampah!!" Teriakan Pria Bertopi kembali menusuk pendengaranku.
Mendengar hardikannya, aku menggigit bibir dan kembali melayangkan pukulan...
Balok timah di lengan dan hambatan air membuat setiap pukulan harus dilakukan dengan tenaga penuh. Pengeluaran stamina dan energi Yang benar-benar luar biasa.
Saat pukulan ke-56, seluruh tubuhku mulai gemetar. Tenaga dan energi Yang sudah habis terkuras, bahkan mengangkat lengan pun tak kuasa lagi.
Baru lima puluh lebih pukulan, seluruh tubuhku sudah lemas. Jika harus dua ratus pukulan, pasti aku akan kelelahan sampai mati di sungai ini!
"Kenapa berhenti?! Lanjutkan! Kalau mau lepas cap 'sampah', jangan berhenti!!" Teriakan Pria Bertopi kembali bergema dari tepian.
Mendengar itu, aku mengerahkan sisa tenaga dan melanjutkan pukulan ke-57...
Ketika saya mencapai pukulan ke-86, penglihatan mata mulai kabur. Badan sedikit goyah. Meski tubuhku terikat pemberat timbal, seluruh tubuh terasa melayang-layang. Aliran air menerjang, aku tak lagi mampu bertahan. Kelopak mata terasa berat, napas terhembus keluar. Seketika tubuhku terhempas mengikuti arus air...
Saat siuman, kudapati diri sudah terbaring di tepi sungai. Kuhela napas dalam-dalam melalui mulut. Seketika rasa lega tak terkira menyelimuti. Napas itu merasuk ke dalam, menembus organ-organ dalam, bahkan menelusuri tulang, daging, hingga pori-pori kulit. Seolah seluruh sel tubuh ikut bernapas.
Pori-pori kulit yang sebelumnya tertekan keras oleh arus sungai, kini seperti paru-paru yang baru saja dibebaskan.
Kini seolah setiap pori di tubuhku bisa bernapas mandiri. Terutama saat mengikuti ritme tarikan napasku, organ dalam dan kulit luarnya menyatu bagai saling terhubung.
Energi Yang di dalam tubuh terus bergerak dinamis, menyegarkan pikiran. Seluruh tubuh dipenuhi kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya...
Hanya dalam beberapa tarikan napas, kusadari keanehan ini. Latihan energi Yang dan fisik di dasar sungai benar-benar jauh lebih kuat dibanding di darat!
Saat masih terbaring menata napas, suara langkah kaki dari kejauhan mulai memenuhi pendengaranku.
Aku menopang tubuh yang mulai mati rasa, melirik ke arah sumber suara langkah kaki. Di kejauhan, sosok Pria Bertopi perlahan mendekat.
Setibanya di sampingku, ia melemparkan dua buah mantou yang sudah dingin. Dengan nada datar, perintahnya menggema: "Cepat habiskan! Setelah itu lanjut latihan di sungai."
Usai menyantap kedua roti kukus itu, stamina tubuhku berangsur pulih. Memanfaatkan kesempatan sebelum disuruh masuk sungai, kududukkan tubuhku bersila di tanah. Mulai kurasakan aliran Energi Zhen Wuji, berharap metode latihan ini dapat memulihkan energi Yang-ku dengan cepat.
Baru saja menyelesaikan siklus pertama gerakan dasar "Zhenren Wuji", suara berat Pria Bertopi sudah bergema kembali:
"Istirahat cukup? Kalau sudah, segera masuk lagi!" Kuangkat kelopak mata, tubuh langsung melesak berdiri. Langkah kakiku kembali menuju tepian sungai yang berarus deras.
Kembali ke posisi semula, kuhirup napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Kufokuskan seluruh indra untuk mencapai kondisi fisik optimal.
Kali ini, kukeluarkan energi Yang dari Dantian segera setelah menyentuh air. Ajaibnya, setiap tekanan arus sungai kini terasa jelas bagai denyut nadi di kulit.
Kukonsentrasikan seluruh energi Yang ke kedua lengan. Dengan teriakan pendek, kepal tangan pertamaku menghujam ke depan!
Lalu pukulan kedua, pukulan ketiga, pukulan keempat, pukulan kelima......
Seiring waktu, setelah berulang kali memukul sekuat tenaga di dalam air, aku mulai merasakan bola kristal transparan di Dantian tubuhku perlahan mengeluarkan semburan energi Zhen ungu yang cepat menyatu dengan energi Yang putih di tubuhku.
Setelah itu, saat aku mengayunkan pukulan lagi, rasanya jauh lebih ringan. Tekanan air yang sebelumnya terasa mulai berkurang...
Kali ini, dengan bantuan energi Zhen ungu di tubuh, aku bisa terus memukul dari pukulan pertama sampai pukulan ke-163 sebelum akhirnya merasa lemas, lengan pegal dan mati rasa. Setiap pukulan harus dikerahkan sepenuh tenaga dengan gigi terkatup. Di tahap ini, bukan lagi mengandalkan energi Yang, energi Zhen, atau stamina fisik, melainkan tekad seseorang!
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Sebelum setiap pukulan, hatiku berbisik:
"Semangat! Tinggal satu pukulan lagi. Semangat! Tinggal satu pukulan lagi. Semangat! Tinggal satu pukulan lagi!..."
Perlahan kedua lenganku berubah dari mati rasa dan pegal menjadi benar-benar kehilangan sensasi. Kesadaranku mulai kabur, hanya tersisa satu angka di benakku:
Pukulan ke-198! Pukulan ke-199! Pukulan ke-200!!
Akhirnya aku berhasil!!!
Saat aku melancarkan pukulan ke-200 di dalam air, terdengar suara terkejut dari Pria Bertopi di belakang. Begitu mendengar suaranya, pandanganku gelap dan aku kembali pingsan di sungai...
