“Tak heran kelopak mata kananku terus berkedut seharian, ternyata Kakak Unta dapat rejeki nomplok! Waktu lalu kita nyaris ketangkep polisi patroli, cewek ini kabur. Eh sekarang ketemu lagi, ini pasti takdir dari Langit!..." Salah satu anak buah di belakang pria bernama Kakak Unta mulai menjilat.
"Cewek ini dasar kenyal! Pipinya kayak bisa diperas keluar air, tipe favorit gue!" Kata Kakak Unta sambaun mengulurkan tangan ke arah wajah Ruo Liu yang berdiri di sampingku.
Ruo Liu langsung menghindar dan bersembunyi di belakangku. Dengan marah ia membentak tiga preman itu: "Kalian brengsek! Preman tak tahu malu!!"
Mendengar bentakan Ruo Liu, ketiga preman itu tertawa terbahak. Pemimpin yang dipanggil Kakak Unta malah menoleh ke dua anak buahnya: "Denger tuh? Gue kan udah bilang! Cewek ini pasti naksir gue. Sampe profesi gue aja dia selidiki. Hah! Iya bener! Gue emang preman, hari ini gue mau ngerjain loe!!"
"Hah... Kalian ini keterlaluan." Kugelengkan kepala melihat si Kakak Unta. "Kami tidak pernah mengganggu kalian. Atas dasar apa kalian menghina orang seperti ini? Lain kali kalau mau hina orang, riset dulu yang bener. Dia bukan pacarku, tapi temanku."
“Goblog kau, di saat seperti ini masih berani cakap mulut sama aku! Kayaknya lu mau mati!!” Kak Unta mengeluarkan pisau belati dari pinggangnya, melangkah dua langkah ke depan, dan menodongkan ujung pisau ke dadaku.
Aku menunduk melihat pisau yang menempel di dadaku, lalu mengangkat kepala melihat Kak Unta. Seketika kulihat Yintang di dahinya menghitam kelam, meski matanya berbentuk tapi tak bernyawa, tubuhnya menyemburkan energi Yin. Pasti dia kemasukan sesuatu yang tidak bersih!
Melihat kondisi preman ini, hal pertama yang terlintas adalah jenazah perempuan yang kabur dari makam kuno itu! Karena kulihat aura dendam Yin menyelimutinya. Energi Yin jenis ini langka, tapi aku mengenalinya - persis energi khas dari jenazah perempuan itu!!
Baru beberapa bulan berlalu, apakah mayat itu sudah tak tahan ingin membunuh?
Jangan-jangan Kak Unta di depanku ini sedang diikuti mayat itu, perlahan dihisap darah kehidupannya?
Memikirkan ini, kutatap Kak Unta dan bertanya: "Akhir-akhir ini ada mengalami kejadian aneh?"
Mendengar pertanyaanku, Kak Unta jelas tertegun. Kedua matanya berkedip bingung, tapi segera digantikan raut garang. Dia menepuk-nepuk pisau di dadaku dengan keras, mengancam: "Pergi lu! Jangan ngomong sampah! Gue tanya, setuju atau enggak?!!"
Setelah mendengar perkataan Kakak Unta, aku merasa agak pasrah. Sungguh pasrah. Menjadi preman sampai seperti keadaannya sekarang, aku sampai merasa IQ-nya hampir habis.
"Kukira ini Kakak Unta? Kamu sudah menodongkan pisau ke dadaku, apa bedanya kalau aku setuju atau tidak sekarang?"
Mendengar ucapanku, Kakak Unta mendengus dingin dengan penuh kesombongan:
"Kalau kau setuju, terima uang kami. Ini bukan perkosaan, paling-paling cuma pelacuran."
Aku langsung paham. Rupanya mereka mau main licik, mencari celah hukum. Padahal meski memaksa orang menerima uang, tetap saja dihitung sebagai pemerkosaan.
Preman jago kungfu tidak menakutkan, yang berbahaya adalah preman tak berpendidikan. Preman berpendidikan masih bisa diajak bicara, kalau tidak, mereka berani melakukan apa saja.
"Kakak Unta, otakmu ada di pantat ya?" Aku menatapnya sambil tersenyum.
"Dasar! Cari mati!!" Wajah Kakak Unta langsung berubah masam. Pisau belatinya diayunkan ke arah pahaku dengan kasar!
Dari gerakannya, langsung kukenali ini preman berpengalaman di dunia persilatan. Pertama, belatinya bukan sekedar ancaman. Saat bertindak, dia langsung nekat tanpa ragu. Kedua, meski menyerang, dia menghindari titik vital. Tusukannya hanya untuk melumpuhkan, bukan membunuh.
Tapi... mereka salah pilih target!
Melihat Kak Unta mengarahkan pisau belati di tangannya ke paha kananku, aku cepat-cepat mundur dua langkah menghindar. Sekaligus menendang dagunya hingga membuatnya terjungkal ke belakang, berputar 360 derajat di udara sebelum jatuh ke tanah.
"Sial! Ngapain masih bengong?! Serang dia, hancurkan!!" Teriak Kak Unta yang masih tergeletak sambil memuntahkan darah dari mulutnya kepada dua anak buahnya.
Dua preman itu langsung bergerak. Satu mengambil batu dari tanah, satu lagi mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Mereka serempak menyerangku.
Ku pindahkan bobot tubuh perlahan ke kaki kanan. Berputar dengan kaki kanan sebagai poros, kulepaskan tendangan kiri ke arah mereka. Tak berani pakai tenaga penuh, satu tendangan untuk masing-masing langsung menjatuhkan mereka.
"Bangsat! Dasar anak latihan silat! Serbu barengan, habisi!" Kali ini Kak Unta sudah bangkit. Dia memimpin serangan, menerjangku lagi.
Kali ini dia main kasar. Pisau belatinya langsung ditikamkan ke arah perutku.
Melihat ini, darahku langsung mendidih. Jelas-jelas dia ingin mencabut nyawaku!
Tak perlu lagi berbaik-baik. Tanganku menyambar tangan kanannya yang memegang pisau, merebut senjatanya. Sekaligus menghantamkan tinju ke wajahnya.
"Braak!" Dengan dentuman berat, tulang hidung Kakak Unta patah akibat pukulanku yang menghancurkan wajahnya, sekaligus merontokkan gigi depannya.
Kakak Unta menjerit kesakitan, tangannya buru-buru menutupi hidung dan mulut yang berdarah sambil mundur terhuyung-huyung, hampir terjatuh karena limbung.
Aku melemparkan pisau belati yang kurebut tadi ke tanah, memusatkan energi Yang ke kedua kaki, lalu dengan lincah melompat ke belakang tubuh Kakak Unta.
Begitu gerakan tubuhku ini terlihat, Kakak Unta beserta dua anak buahnya yang mengikutinya langsung membeku seperti patung.
"Kamu... kamu ini siapa sebenarnya?! Bagaimana bisa muncul tiba-tiba?! Manusia atau hantu?!" Salah satu anak buahnya menatapku dengan wajah pucat ketakutan.
Aku tersenyum tipis tanpa menjawab, justru menatap Kakak Unta di hadapanku: "Kakak Unta, malam ini aku ingin bertamu ke rumahmu. Apa kau mau menerimaku?"
Mendengar pertanyaanku, tubuh Kakak Unta bergetar hebat. Dengan gemetar ia berbalik dan langsung bersujud:
"Ka... Kakak! Saya Unta buta tidak mengenal Gunung Tai! Hari ini salah saya mengganggu Kakak, tapi bencana tidak boleh menimpa keluarga. Jika Kakak ingin menghukum, hukumlah saya saja! Saya pasrah!"
Mendengar perkataan Kak Unta, aku menatapnya dan berkata: "Kukira Kak Unta, kau terlalu banyak berpikir. Aku bukan preman sejati sepertimu. Aku punya pekerjaan sah, aku seorang daoshi. Jujur saja, kulihat Yintangmu menghitam, tubuhmu dipenuhi Energi Yin. Katakan padaku – akhir-akhir ini apa kau pernah bertemu wanita cantik luar biasa, atau ada kejadian aneh di rumahmu?!"
Tubuh Kak Unta gemetar sesaat mendengar pertanyaanku. Ia menunduk sejenak, lalu menjawab: "T-tidak... Tidak ada wanita cantik atau kejadian aneh."
Mataku menatap tajam kedua bola matanya yang bergerak tak menentu. Jelas ia berbohong. Kukatakan dengan dingin: "Jangan salahkan aku jika nanti bukan cuma dirimu yang celaka, tapi juga keluargamu ikut sial! Jangan anggap ini ancaman kosong."
Kak Unta terdiam lama, seolah mengambil keputusan berat. Akhirnya ia bicara: "Akhir-akhir ini... Ada seorang wanita cantik. Kami sempat one-night stand... Dia memberiku... imbalan untuk mengerjakan sesuatu." Ia menatapku dengan wajah pucat.
"Apa yang dia suruh kerjakan?" tanyaku lagi.
Dugaan tepat. Jenazah perempuan yang kabur dari makam kuno itu mulai memakan korban.
