“Mendengar perkataan jenazah perempuan itu, hatiku langsung ciut...”
“Dadu? Bagaimana cara mainnya? Bung, aku belum pernah main sama sekali. Apa seperti di sinetron, menebak jumlah titik atau ganjil-genap? Meski bingung, wajahku tetap tenang. Kuanggukkan kepala: 'Baik, main dadu saja.' Sebenarnya ganti permainan lain pun sama saja. Aku benar-benar pemula di meja judi. Hanya permainan kocok dadu yang sedikit kumengerti.”
“Oke.” Jenazah perempuan itu menyetujui. Dia mendekati meja judi, menyingkirkan ubin mahjong, lalu menggantinya dengan dua dadu bersisi enam dan mangkuk keramik hitam.
"Karena kita sudah mulai bermain, aku harus menjelaskan aturan permainan dadu ini. Aturannya sederhana: tebak besar atau kecil. Kamu yang mengocok dan aku yang menebak, atau sebaliknya. Yang ditebak adalah jumlah total dua dadu. Antara 2 hingga 7 poin adalah kecil, 8 hingga 12 poin adalah besar. Apakah kamu paham aturannya?" Jenazah perempuan itu menatapku dan bertanya.
Aku mengangguk, sementara dalam hati merancang strategi. Jika terus bermain seperti ini, jelas bukan solusi. Jenazah perempuan itu sejak tadi menunjukkan sikap penuh percaya diri, ditambah lagi ini wilayah kekuasaannya dan formasi ini juga buatannya. Jika aku terus bermain mengikutinya, pasti kalah.
Karena itu, sebelum permainan dadu ini dimulai, aku harus mencari cara untuk mengubah keadaan.
"Selain itu, taruhan kali ini menggunakan sistem tiga ronde dua kemenangan. Tapi yang dipertaruhkan bukan uang, melainkan NYAWA!!" Suara jenazah perempuan itu dingin menusuk. Matanya yang penuh kelicikan menatapku tajam, seolah sedang melihat mayat...
"Baik, taruhan nyawa ya taruhan nyawa." Sampai saat ini, aku bagai menunggang harimau - dalam formasi aneh ini, tidak bertaruh berarti mati. Lebih baik aku mencoba bertaruh dengannya.
Aku mendekati meja judi. Jenazah perempuan itu kemudian melambaikan tangannya: "Duduk."
Setelah kami berdua duduk, jenazah perempuan itu meletakkan dadu dan mangkuk keramik di tengah meja. Lalu bertanya lagi padaku: "Zuo Shisan, di ronde pertama ini, kamu yang mengocok atau aku yang mengocok?"
"Kamu yang goyang dulu." Aku bersiap untuk bergerak belakangan, ingin melihat cara kerjanya terlebih dahulu. Meski terlihat santai di luar, di hati rasanya seperti terpilin menjadi satu. Detak jantung tak bisa berhenti berdegup kencang...
Saat ini, mustahil bilang aku tidak tegang. Tapi sudah tidak ada jalan mundur lagi. Aku terpaksa memaksakan diri melanjutkan, melangkah sambil memantau situasi. Kerugian hari ini sudah pasti kuterima.
"Baik! Aku goyang." Setelah mendengar ucapanku, jenazah perempuan itu mengambil mangkuk keramik di meja judi. Meletakkan dua dadu di dalamnya, menutupnya rapat, lalu mengguncang-guncangnya dengan kuat. Aku duduk sambil menatap tajam kedua tangannya tanpa berkedip, berkonsentrasi penuh untuk menenangkan diri agar penilaianku tidak terganggu.
Dentang dadu dalam mangkuk keramik terus bergema dari guncangan tangan jenazah itu. Suara itu justru memicu rasa gelisah dalam hatiku.
"Braak!!" Mangkuk keramik kembali diletakkan di meja. Dadu di dalamnya pun berhenti bergerak.
"Tebak, apakah jumlah dadu dalam mangkuk ini besar atau kecil?" Jenazah perempuan itu menatapku. Sorot mata licik sesekali terpancar dari balik kelopaknya...
Memandang mangkuk keramik di meja, aku menelan ludah kering. Rasanya tindakanku hari ini semakin tidak masuk akal - menyerahkan nyawa di atas meja judi. Tapi dengan energi Yang yang sudah habis, adakah pilihan lain?
“Setelah memikirkan ini, aku menarik napas dalam-dalam dan mulai merenung. Sebenarnya sejak tadi aku terus memikirkan satu pertanyaan: jika jenazah perempuan ini secara sukarela ingin bermain dadu denganku untuk menentukan hidup-mati, pasti dia sudah memiliki jaminan kemenangan mutlak. Jadi jika aku mengikuti aturan permainan yang dia tetapkan, seratus persen aku akan kalah dan mati...”
Harus ada cara lain. Aku sama sekali tidak boleh mengikuti aturan yang dia buat. Tapi, masih adakah jalan keluar untukku saat ini?
Aku menatap mangkuk keramik di atas meja judi, otakku benar-benar blank. Tak tahu harus berbuat apa.
"Zuo Shisan, ada masalah? Kok plin-plan seperti bukan pria? Besar atau kecil tinggal sebut satu kata! Kalau kau terus mengulur-ulur waktu, apa kau tidak percaya diri?" Jenazah perempuan di seberangku mulai mendesak.
Aku meliriknya. Dari raut wajahnya tak terlihat secercah kecemasan. Jelas-jelas dia sangat yakin akan memenangkan ronde ini!
Keringat dingin mengalir dari dahi tanpa kusadari, masuk ke mataku hingga mata kiri terasa perih...
"Tebak! Jangan-jangan kau mengulur waktu menunggu pasukan bantuan? Lupakan saja!" Jenazah perempuan itu mendesakku lagi.
Aku menyeka keringat di dahi, menggigit gigi lalu berseru: "Aku tebak isinya kecil!!"
"Baik, bukalah sendiri. Mari kita lihat benar atau tidak." Kata jenazah perempuan itu.
"Setelah mendengar ucapannya, aku menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan dan perlahan membuka tutup mangkuk keramik. Di dalamnya terdapat dua dadu putih, satu menunjukkan tiga titik, satunya lagi lima titik. Totalnya tepat delapan titik - poin besar, tebakanku meleset!"
"Dasar bangsat! Kuletakkan tutup keramik di atas meja, dalam hati tak kuasa mengumpat."
"Hah... Sepertinya hari ini keberuntungan tidak berpihak padamu. Awal yang buruk bukan pertanda baik. Ronde pertama aku menang, sekarang giliranmu." Jenazah perempuan itu membuka bibir merahnya, menatapku.
Mendengar itu, kukembalikan tutupnya sambil mengangkat mangkuk keramik, lalu menggoyang-goyangkannya ke atas dan bawah berkali-kali.
Setelah beberapa saat mengguncang dengan cepat, begitu kutaruh kembali mangkuk itu di meja, jenazah itu langsung berseru:
"Di dalam mangkuk keramik itu poin besar."
Ucapannya membuat hatiku langsung dingin. Mungkinkah dia punya cara untuk melihat titik dadu dalam mangkuk?
Kalau benar begitu, hari ini aku langsung menyusul Chairman Mao...
Kubersihkan kerongkongan dengan terbatuk kering untuk menenangkan diri, lalu perlahan membuka tutup mangkuk itu.
Sesaat itu suasana dalam ruangan membeku. Jantungku serasa mau copot. Kulekatkan pandangan ke dalam mangkuk, dan begitu melihat angka dadu itu, deg-degan di dada pun mereda.
"Karena dua dadu di dalam mangkuk keramik, satu menunjukkan empat titik dan satunya dua titik, totalnya tepat enam titik - angka kecil. Aku menang."
"Hoki bagus. Ronde ini aku kalah, tapi sekarang giliranku mengocok dadu." Jenazah perempuan itu menutup mangkuk keramik dengan tutupnya dan mulai mengocok dengan ganas.
Jantung yang baru saja tenang tiba-tiba berdebar lagi. Sistem tiga ronde dua kemenangan, aku dan dia masing-masing sudah menang satu. Hidupku atau kematiannya akan ditentukan oleh ronde terakhir ini.
Melihat ekspresi santainya yang masih sama, aku mulai curiga: apakah seperti terakhir kali dia mengocok, dia akan membuatku tidak bisa menebak dengan benar?
Tidak boleh terus mengambil risiko. Aku harus mencari cara.
Dengan tekad ini, kucoba lagi mengumpulkan energi Yang dalam tubuh secara diam-diam. Tapi hasilnya sama seperti sebelumnya - aku sama sekali tidak bisa merasakan keberadaannya di tubuhku!!
"Braak!!" Mangkuk keramik menghantam meja. Suara jenazah itu bergema:
"Sudah, tebaklah. Siapa yang bisa keluar hidup-hidup dari formasi ini tergantung ronde terakhir."
Mendengar itu, dadaku berdebar kencang. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat dingin...
"Jangan langsung menebak! Pasti kalah kalau begini. Harus cari akal." Sambil menghitung dalam hati, kucoba perlahan merasakan energi ungu di Dantian.
Tidak mencoba tidak apa-apa, begitu mencoba seketika hatiku bergembira, karena ternyata di saat seperti ini aku bisa merasakan energi ungu di Dantian!!
Aku mengabaikan hal ini, meskipun dalam Formasi ini tidak bisa menggunakan Energi Yin dan energi Yang, tapi Energi Zhen masih bisa digunakan.
Aku perlahan mencoba mengerahkan energi Zhen ungu dari mutiara transparan itu, memusatkannya dengan cepat ke kedua mata. Saat energi Zhen terkumpul di mata, pandanganku kembali tertuju ke meja judi... senyum tak tertahan mengembang di sudut bibirku...
