Saat ketujuh orang kami baru saja keluar dari kastil, empat orang yang selama ini mengikuti kami tiba-tiba berlari panik ke depan.
Di depan mereka terdapat area parkir. Dengan wajah pucat, mereka masuk tergopoh-gopoh ke mobil masing-masing. Mesin dinyalakan, debu beterbangan, dan mobil-mobil itu melesat cepat menyusuri jalan setapak di kejauhan.
Melihat keempat orang itu pergi, aku menghela napas dan menggelengkan kepala. Si pria gemuk di sampingku juga berkata kesal: "Empat 'Serigala tak tahu balas budi' itu memang hebat, pergi tanpa mengucapkan terima kasih! Dasar, sia-sia menyelamatkan mereka! Berusaha keras tapi tidak dihargai!!"
Aku tersenyum, berkata pada si gemuk: "Sudahlah, jangan terlalu banyak menuntut. Ini pertama kalinya mereka mengalami situasi seperti ini, tidak gila sudah bagus. Masih berharap mereka ingat mengucapkan terima kasih? Imajinasimu memang bagus!"
Sementara itu Zhao Man mengeluarkan ponsel dari tas ranselnya dan mulai menelepon kontak yang diperlukan.
Setelah Zhao Man menutup telepon, aku bertanya padanya: "Kak Zhao Man, bagaimana?"
Zhao Man mengangguk padaku:
"Kantor polisi setempat sudah dalam perjalanan ke sini, tidak lama lagi akan tiba."
Mendengar perkataan Zhao Man, aku lega. Di hati aku terus mendoakan: Semoga orang-orang yang masuk sebelumnya jangan sampai terjadi apa-apa. Jika tidak, akan muncul beban mental yang tak bisa kulupakan...
Aku, si gemuk, dan Zhao Man terus menunggu di depan kastil tua ini sampai polisi setempat datang bersama regu keamanan lokal. Sepertinya kepala kepolisian menghubungi regu keamanan karena personel kantor polisi tidak cukup.
Setelah mereka memasang garis polisi di sekitar kastil, menempatkan penjaga, dan benar-benar mengunci area ini, mereka mulai mengirim tim penyelamat untuk mencari orang-orang yang sebelumnya "berpetualang" di dalam kastil.
Melihat tidak ada lagi urusan di sini, Zhao Man berkata pada aku dan pria gemuk bahwa dia harus segera kembali, lalu memanggil kami berdua untuk pergi.
Setelah naik ke mobil Zhao Man, dia segera menyalakan mobil dan berkendara menyusuri jalan yang kami lewati sebelumnya...
Ketika kami kembali ke Kota Dongdian, hari sudah malam. Zhao Man mengantarkan aku dan pria gemuk ke gerbang perumahan. Saat hendak pergi, pria gemuk mendekati jendela mobil dan berkata pada Zhao Man: "Nona Zhao, kalau tidak ada acara malam ini, aku mau traktir makan hotpot! Aku tahu tempat yang rasanya tiada tanding, benar-benar otentik!"
Mendengar itu, Zhao Man memberi isyarat sibuk dari dalam mobil, lalu langsung menyetir ke arah selatan.
Melihat Zhao Man pergi, aku mendekati pria gemuk dan menepuk bahunya: "Kau benar-benar naksir Zhao Man?"
Pria gemuk mendongak ke langit malam sambil menghela nafas, lalu membacakan puisi dengan gaya sastrawan:
"Ah... Bunga jatuh bermaksud, air mengalir tak berperasaan. Bunga mengikuti air, air membawa bunga. Langit bila berperasaan, akan menua; manusia bila berperasaan, cepat mati."
"Bunga jatuh ingin ikut air mengalir, air mengalir tak sudi merindukan bunga..." Sambungku sambil tertawa.
"Shixiong, sudah sana pergi! Jangan menggodaku. Aku tahu kemampuan diri sendiri. Kalau Zhao Man benar-benar mau padaku, kodok lumpur pun bisa makan daging angsa." Pria gemuk menjawab lesu.
"Kalau sudah tahu dia tidak tertarik, kenapa masih mau mentraktir hotpot?" Tanyaku.
Pria gemuk menggelengkan kepala:
"Pengin liat dia lebih lama." Pria gemuk melanjutkan: "Sebenarnya di jaman sekarang, cinta udah nggak sama lagi. Dulu kereta kuda lambat, surat jarak jauh, sepanjang hidup cuma cukup mencintai satu orang. Sekarang transportasi mudah, WeChat di mana-mana, tiap malam bisa mencintai orang berbeda..."
"Hey gemuk, kenapa kamu hari ini? Kok tiba-tiba jadi sastrawan gini, ngira diri penyair atau dewa asmara?" Aku heran menatap pria gemuk, benar-benar nggak ngerti dari mana dia belajar kata-kata keren begini.
"Soal cinta, kamu nggak ngerti..." Pria gemuk menatapku dengan sorot mata meremehkan.
"Dasar p****n! Cuma kamu yang ngerti!!"
"Dasar nenek moyangmu! Waktu muda, Pangye ini jagoan percintaan, pacaran nggak seratus ya delapan puluh kali."
"Kamu nggak pernah dengar pepatah?"
"Apa?"
"Pahlawan nggak pamer kejayaan masa lalu, apalagi kejayaan palsu..."
"Pangye bohong? Shixiong, percaya nggak kalau sekarang telepon langsung ada cewek dateng??"
"Telepon, sekarang juga telepon."
"Eh... mana HP-ku? Mana HP-ku?......"
……
Saat kami tiba di rumahnya, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 lebih. Aku meletakkan tas ransel, lalu kami bergantian mandi dan ganti baju sebelum turun mencari makanan untuk mengisi perut.
Baru saja turun tangga, aku tak sengaja melihat di luar sudah turun salju lebat bagai bulu angsa. Tanpa terasa, musim dingin yang dalam tiba, Tahun Baru pun semakin dekat. Terkadang waktu berlalu begitu cepat.
Begitu teringat Tahun Baru akan datang, aku langsung membayangkan orangtuaku yang semakin menua. Hati ini terasa pedih, segera kucari nomor ponsel ibuku dan meneleponnya.
Setelah selesai bicara dengan orangtua dan menutup telepon, si Gemuk mengajakku masuk ke restoran pangsit bernama "Enak Tak Ada Lawan Mbak Ipar". Di ruang VIP kecil, kami memesan tiga kati pangsit. Aku makan delapan ons, dia menghabiskan lebih dari dua kati.
Sambil menunggu pangsit di meja makan, aku menatap si Gemuk dan berkata: "Denger Gemuk, habis makan pangsit nanti, kau antar aku ke toko baju kematian ya."
Mendengar ucapan itu, si Gemuk tertegun sejenak sebelum segera tersadar. Dia menyalakan sebatang rokok sambil bertanya: "Shixiong, kau mau ke alam baka untuk menyelamatkan istrimu?" Dia juga tahu syarat bagi orang Yang ke Yinjian adalah harus memakai baju kematian, topi, dan sepatu kematian.
Kuanggukkan kepala: "Benar. Tahun Baru sebentar lagi. Setelah itu, Festival Qingming alias Hari Arwah akan tiba. Aku berencana pergi malam itu untuk menyelamatkan Rushuang. Jadi kita harus persiapkan semuanya dari sekarang, waktunya tidak banyak."
Pria gemuk menatapku dan bertanya lagi: "Apa nanti di hari itu aku bisa ikut ke alam baka melihat-lihat? Entah di sana ada mobil pesawat, hotpot dan daging panggang atau tidak, kita juga bisa mencicipinya, lihat apakah rasa masakan alam baka berbeda dengan yang di dunia manusia..."
"Sudah, jangan ngaco lagi. Kali ini aku pergi ke alam baka, apakah bisa kembali sendiri saja masih belum pasti." Melihat si gemuk mulai lagi ngoceh omong kosong, aku segera memotong pembicaraannya.
"Tapi serius, Shixiong, seberapa besar sebenarnya peluangmu menyelamatkan istrimu kali ini?" Pria gemuk itu menghisap rokok sambil bertanya padaku.
"Aku juga tidak tahu. Yang penting alam baka ini belum pernah kudatangi sama sekali. Seperti kata pepatah: 'Mengenal diri dan musuh baru bisa menang seratus pertempuran'. Aku sama sekali tidak paham tentang alam baka, bahkan Penjaga Neraka seperti apa pun belum pernah kulihat. Benar-benar tidak bisa memperkirakan peluangnya." Jujur kusampaikan pada si gemuk.
Mendengar perkataanku, pria gemuk itu menghela napas. Saat hendak berbicara lagi, pelayan membawa dua piring pangsit yang masih mengepul masuk ke ruangan. Si gemuk segera menelan kembali ucapannya.
Setelah pelayan pengantar pangsit pergi, pria gemuk itu menatap pangsit panas di meja. Diambilnya sumpit dan mulai makan dengan kecap sambil berkata padaku: "Shixiong, jangan diliatin dulu. Makan pangsit dulu. Habis ini aku akan ke toko baju kematian belikanmu setelan pakaian kafan."
Mendengar ucapan si gemuk, kok rasanya perkataan itu seperti menghina ya?!...
Aku dan pria gemuk mengisi perut di kedai pangsit "Enaknya Makan di Rumah Mbak", membayar tagihan, keluar dan naik mobil. Pria gemuk langsung mengendarai mobil membawaku menuju toko baju kematian terdekat.
……
Penjaga toko baju kematian ini adalah seorang kakek tua berusia 50-60 tahun. Melihat tamu masuk, ia buru-buru meletakkan kantong air panas dan mendekati kami sambil tersenyum: "Apa yang mau dibeli? Karangan bunga atau baju kematian??"
Tak disangka, pria gemuk membelalakkan matanya mendengar ucapan si kakek. Ia menunjukku dengan jari dan berseru: "Bos! Kasih satu set baju kematian sesuai ukuran yang dia pakai!!"
Ekspresi pemilik toko baju kematian itu langsung membeku mendengar ucapan pria gemuk sambil memandangiku...
"Dasar pria gemuk! Goblog nenekmu! Dasar mulutmu ini!!"
