Setelah mengangkat telepon, ternyata yang menelepon adalah Leizi.
"Leizi, ada perlu apa?" Aku menutup pintu dan berjalan menuju tangga bersama pria gemuk.
"San Ge, pertama-tama aku mau mengucapkan Selamat Tahun Baru. Lalu, apakah malam ini kamu ada waktu? Kita kumpul-kumpul bareng?" tanya Leizi melalui telepon.
"Malam ini malam tahun baru, bukankah kamu harus makan malam bersama keluarga?" tanyaku.
Leizi terkikih-kikih menjawab: "Aku sudah bilang ke orangtuaku kalau malam ini makan di luar bersama Xia Linxuan, pulang agak malam."
"Ada Fang Ziyan juga kan?" tanyaku.
“Benar, San Ge, kamu mau ikut makan bersama kami? Aku yang traktir.” Leizi tidak menyembunyikan apapun dariku.
Mendengar ucapan Leizi, aku menghela napas ringan dan berkata padanya: “Leizi, nanti kalau kamu sudah kerja dan punya uang, meskipun kamu tidak mau mentraktir, aku pasti akan memaksamu. Hari ini cukup, aku harus pulang makan. Orangtuaku sudah menyiapkan pangsit di rumah. Kalian cepatlah makan dan pulang lebih awal, jangan bikin keluarga menunggu lama.” Begitu kataku sambil memutuskan telepon.
Setelah turun lantai bersama pria gemuk, dia langsung menyalakan mobil dan keluar dari kompleks perumahan. Di tengah jalan, dia menerima sebuah SMS. Saat melihat pesan di ponsel itu, hampir saja kami menabrak tiang listrik di pinggir jalan!
Mobil berhenti beberapa sentimeter dari tiang listrik. Aku mengusap keringat dingin di dahiku sambil memarahi pria gemuk itu: “Dasar, bisa nggak fokus nyetir?! Ada apa denganmu?!”
Namun pria gemuk itu malah menoleh dengan wajah bersemangat dan berteriak: “Shixiong, itu... Yun Yan mengirimiku pesan tahun baru!!!”
Melihat semangatnya yang meluap-luap, aku sempat bingung. Dalam hati kukulangi nama Yun Yan beberapa kali sebelum akhirnya teringat! Yun Yan adalah wanita cantik yang pernah kami selamatkan dari sekumpulan sialan pemakan daging manusia di Gunung Kunlun!
Saat kami hendak berpisah, pria gemuk itu memberikan nomor QQ-nya pada wanita bernama Yun Yan. Tak disangka setelah setengah tahun berlalu, ia masih menyimpan nomor QQ pria gemuk itu, bahkan saat tahun baru tiba tak lupa mengucapkan salam tahun barunya.
Tampaknya wanita berparas cantik itu sangat menghargai kebaikan orang.
"Shixiong, lihat, cepat lihat!" Pria gemuk itu mengulurkan ponselnya padaku.
Kuambil dan melihatnya. Di layar terpampang pesan ucapan tahun baru untuknya, di bawahnya tertulis tanda tangan - Yun Yan.
"Shixiong, menurutmu setelah sekian lama ia masih ingat padaku, kalau aku ngejar dia, ada kemungkinan nggak?" Pria gemuk itu menatapku penuh tanya.
Kugelengkan kepala, lalu berkata tegas padanya: "Tidak mungkin, setidaknya dalam waktu dekat pasti tidak mungkin."
"Kenapa? Jangan-jangan dia bukan anggota komunitas pecinta penampilan??" Pria gemuk itu mengernyit bingung.
Kuangkat tangan, menyuruhnya menepikan mobil ke pinggir jalan terlebih dahulu, baru menjelaskan: "Setiap wanita yang mengalami kejadian seperti itu, setelah selamat dari bencana pasti akan trauma. Dari lubuk hati terdalam, mereka akan memiliki rasa takut dan penolakan terhadap pria. Bahkan bisa dibilang, selamanya dia akan takut berinteraksi dengan pria mana pun."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Pria gemuk itu bertanya padaku.
"Jangan terburu-buru. Lakukan perlahan. Mulailah mengobrol lewat QQ dulu, jangan buru-buru telepon. Tunggu sampai kalian sudah akrab dan dia tidak lagi waspada padamu, baru lanjutkan ke tahap berikutnya. Terburu-buru hanya akan merusak segalanya, prinsip yang sama berlaku saat mengejar wanita." Kujelaskan padanya teori yang kudapat dari internet.
Mendengar penjelasanku, pria gemuk itu mengangguk pelan:
“Baik, aku ikuti sarannmu. Begini saja, aku akan membalas pesannya dulu.”……
Setelah pria gemuk mengirim SMS, kami mengendarai mobil menuju rumahku. Saat kami tiba, orangtuaku sudah menyiapkan makan malam tahun baru. Ibuku sedang memasak pangsit di dapur, sementara ayahku duduk di sofa ruang tamu sambil menelepon.
Melihat kami masuk, ibuku segera menyuruh kami duduk di meja makan. "Tunggu pangsitnya matang, kita langsung makan," katanya.
Singkat cerita, setelah makan malam tahun baru bersama orangtua dan pria gemuk, temanku itu bersemangat mengajak ayahku main catur di ruang tamu. Aku membantu ibuku membereskan meja.
Malam Tahun Baru Imlek seharusnya penuh kebersamaan, tapi rumah kami terasa sepi. Kesejukan itu bukan hanya meliputi rumah, tapi juga menyelimuti hatiku.
Tanpa kusadari, kerinduan pada kakek-nenekku kembali mengusik. Ini pertama kalinya sepanjang hidupku merayakan tahun baru tanpa kehadiran mereka. Kini tak ada, esok pun takkan pernah...
Dengan perasaan sendu, aku selesai membantu ibuku. Saat hendak melihat permainan catur, dering ponselku kembali berbunyi.
Kubuka layar - nomor itu milik Fang Ziyan.
"Halo, Fang Ziyan?" tanyaku.
"Ya, aku. Zuo Shisan, aku ingin bertemu hari ini," ujarnya langsung tanpa basa-basi di ujung telepon.
“Setelah mendengar perkataan Fang Ziyan, awalnya aku tertegun sejenak, lalu berkata: "Fang Ziyan, bukankah kamu sendiri yang sebelumnya bilang padaku? Kamu akan melupakanku, mengapa terus menyiksa diri seperti ini?"
Fang Ziyan di ujung telepon menjawab: "Zuo Shisan, jangan berpikir macam-macam. Aku hanya ingin bertemu, jalan-jalan bersamamu menikmati pemandangan salju. Sudah lama mengenalmu dan menyukaimu, masak permintaan kecil ini tidak bisa kamu penuhi?"
Aku ragu mendengar permintaannya. Tiba-tiba ibuku menghampiri dan bertanya: "Shisan, telepon dari siapa?"
"Eh... itu... teman sekelas," jawabku.
"Cewek ya?" Tanya ibuku yang mungkin mendengar suara Fang Ziyan dari telepon.
Aku hanya bisa mengangguk. Ibuku melotot sambil menunjuk ke sebuah arah di ruang tamu, lalu berbalik pergi.
Mengikuti arah tunjukannya, kulihat tablet arwah An Rushuang, istri hantuku!
Aku paham, ibuku mengingatkanku untuk tidak melupakan keberadaannya, jasa pada keluarga kami, dan jangan berkhianat. Meski An Rushuang hantu, ibuku tetap menganggapnya sebagai menantu yang diakui dari hati.
Di depan tablet arwah, lilin dupa menyala dengan asap putih mengepul. Saat melihat tablet arwah itu, aku seolah kembali ke masa sembilan tahun lalu ketika pertama kali bertemu Rushuang. Entah mengapa, saat membaca tiga karakter "An Rushuang" pada tablet arwah itu, hidungku terasa pedih dan air mata tiba-tiba mengalir tak terkendali.
Aku—sungguh sangat merindukannya!……
"Shisan, kenapa kamu diam?" Suara Fang Ziyan kembali terdengar dari telepon.
Aku menarik napas dalam dan berkata: "Ti-Tidak ada, Fang Ziyan. Aku masih makan malam tahun baru di rumah, tidak bisa keluar."
Fang Ziyan terdiam sejenak setelah mendengar ucapanku, lalu berkata dengan suara lesu: "Ya, kalau memang tidak bisa, tidak apa. Cuaca semakin dingin, sebenarnya aku ingin memberikan syal rajutanku untukmu. Nanti akan kusuruh Leizi mengantarkannya." Setelah itu dia langsung mematikan telepon.
Begitu Fang Ziyan menutup telepon, hatiku merasa tidak enak. Aku tidak suka berhutang budi, baik secara materi maupun perasaan.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah tindakan spontan saat menyelamatkan nyawa Fang Ziyan justru membuatnya menyukaiku selama ini...
Saat hendak memasukkan ponsel kembali ke saku, tiba-tiba terdengar notifikasi SMS. Kukira itu ucapan Tahun Baru, tapi ternyata dari Fang Ziyan lagi. Isinya hanya dua kalimat:
"Gunung hijau takkan tua, putih karena salju. Air jernih takkan risau, berkerut diterpa angin. Tak ada yang kusalahkan, hanya karakter '' yang terlalu menyakitkan."
Melihat pesan dari Fang Ziyan di SMS ponselku, aku menghela napas. Tanpa membalas, langsung mematikan ponsel dan menyimpannya kembali di saku. Meski tak punya banyak pengalaman cinta, aku paham satu prinsip: jika tak tegas di saat seperti ini, lebih banyak orang yang akan terluka nantinya.
Malam itu, aku dan pria gemuk menemani orangtuaku mengobrol dan menonton Gala Tahun Baru Imlek hingga lewat jam 11. Kami harus segera pergi karena tak boleh berlama-lama bersama orangtua. Apalagi menginap. Takdirku yang saling bertentangan dengan mereka bisa menggerus nasib mereka jika terlalu lama bersamaku.
Saat berpamitan, kedua orangtuaku mengantarkan kami turun tangga. Ibuku dengan mata merah berkata, "Shisan, bagaimana kalau menginap saja malam ini? Kami tak takut kau 'menggerus' kami. Yang kami takutkan justru kehilanganmu..."
