Semakin dekat dengan Gerbang Kematian itu, detak jantungku semakin kencang. Langkah demi langkah, aku mulai merasakan gelombang Energi Yin yang kuat menerpa wajahku.
Udara dingin menusuk tulang itu membuat tubuhku menggigil tak tertahankan.
Kuangkat kepala, memandang Gerbang Kematian raksasa di depan. Tinggal beberapa puluh langkah lagi, di sanalah batas antara dunia manusia dan alam baka, garis pemisah hidup dan mati.
Berhenti sejenak, aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap Gerbang Kematian yang sudah di depan mata. Tiba-tiba, suara aneh bergema dalam kepalaku.
Suara perempuan itu... itu suara An Rushuang!!
"Shisan, jangan ke sini. Cepat pulang. Shisan, jangan ke sini..." Suara An Rushuang terus berulang dalam pikiranku.
Aku tahu ini cara An Rushuang memperingatkanku, agar tak nekat masuk alam baka untuk menyelamatkannya.
Tepat setengah tahun kemudian, ketika kudengar lagi suara An Rushuang yang begitu kukenal, emosiku tak terkendali. Segera kusela kata:
"Rushuang, kau dengar suaraku?" Namun di dalam pikiranku masih bergema perkataan Rushuang tadi. Jelas dia sama sekali tak bisa mendengar ucapanku.
"Rushuang, tunggu aku. Kau harus menungguku! Asal bisa bersamamu, neraka pun akan kujelajahi!" Semakin kukuhkan keyakinan di hati, kulebarkan langkah menuju Gerbang Kematian.
Suara An Rushuang di benakku pun perlahan menghilang...
Tak berjalan jauh, terlihat selembar kertas panjang kuning di kakiku. Kutatap ujung kertas itu yang membentang lurus menuju Gerbang Kematian di depan.
Jangan-jangan ini "Lu Yin" yang wajib dilalui hantu yin menuju Gerbang Kematian?
Tanpa pikir panjang, kuinjak "Lu Yin" kuning di tanah itu. Panjangnya sekitar tiga chi, lebar dua chi, terbuat dari kertas lentur kuning bertuliskan: "Surat Jalan Kaisar Yan Luo Fengdu, milik pemegang surat ini berhak melintasi Gerbang Hantu." Tercap pula tiga stempel: "Kota Dewa Bumi Yin Si, Pemerintah Kabupaten Fengdu, Gerbang Hantu."
Kucepatkan langkah menyusuri "Lu Yin" kuning itu. Melihat hantu-hantu yin yang silih berganti melewati tubuhku, ditambah 18 hantu penyiksa yang kian mendekat, dadaku berdebar kencang.
"Perasaan ini persis seperti menyontek saat ujian, setiap detik diliputi ketakutan, khawatir suatu saat akan ketahuan oleh 18 Huk penjaga Gerbang Kematian bahwa aku bukan arwah yin yang telah meninggal."
"Makin dekat, makin dekat, semakin mendekat. Kepala tertunduk, aku menyusuri jalan kuning Lu Yin menuju Gerbang Kematian. Saat melewati Huk pertama, mataku melirik tajam ke arahnya. Huk itu juga menatapku dengan mata penuh kebengisan..."
"'Jangan gugup, tetap tenang, jangan sampai ketahuan...' Kutahan napas dalam-dalam sambil memaksakan diri melangkah maju menuju Gerbang Kematian di depan."
"Melewati Huk pertama dan kedua. Lalu yang ketiga, keempat, kelima, keenam..."
"Saat sampai di dekat Huk ke-15 dan 16, tinggal beberapa langkah lagi menuju Gerbang Kematian. Tiba-tiba! Suara menggelegar menggema dari belakangku:"
"'Arwah yin di depan, berhenti untuk pemeriksaan!!'"
"Mendengar dua kata terakhir itu, seluruh tubuhku gemetar. Dalam hati: Ini sudah tamat!!"
"Meski seribu rasa enggan, tak ada pilihan lain. Perlahan kuputar tubuhku, memandang ke arah sumber suara itu."
"Tampak seekor Hukgui berwarna hijau seluruh tubuh dengan wajah garang seperti dewa sial sedang menatapku dengan mata hijau yang seolah ingin memakan manusia! Aku memperhatikan dengan teliti, di dada Hukgui itu tergantung papan hitam bertuliskan karakter 'Ling (Perintah)', jelas dia pemimpin dari sekumpulan Hukgui ini."
"Di mana Lentera Penarik Roh di kepalamu?!"
"Mendengar pertanyaan Hukgui itu, aku langsung membeku di tempat! Apa... apa itu Lentera Penarik Roh? Tiba-tiba beberapa Yinhun berbaju kematian muncul dari belakangku. Ketika kulihat ke atas kepala mereka, terdapat lentera kecil bersinar kuning."
"Kuangkat kepalaku melihat ke atas... Kosong!!"
"Sialan, 'Lentera Penarik Roh' ini tidak pernah disebut dalam buku sebelumnya. Kecerobohan ini terjadi tepat sebelum memasuki Gerbang Kematian."
"Tapi karena kesalahan sudah terjadi, aku harus mencari solusi. Paling-paling menerobos Gerbang Hantu. Bagaimanapun persiapan terburuk sudah kurencanakan. Hatiku mulai tenang. Kujawab sambil tersenyum: 'Tuan Roh Penjaga, aku tak tahu mengapa Lentera Penarik Rohku hilang. Mungkin tercecer dalam perjalanan yang terlalu tergesa-gesa?'"
"Mendengar jawabanku, mata Hukgui itu melotar tajam:"
“Tanpa lentera penarik arwah, pasti ini hantu yin yang belum lama mati. Karena terlalu lama tinggal di dunia manusia, tubuhnya pasti membawa aura jahat. Tidak boleh memasuki siklus reinkarnasi Yin, basmi saja sekarang.”
Hantu Hukuman itu mengayunkan tongkat bergerigi di tangannya sambil melangkah mendekatiku.
Aura Yin pekat dari tubuhnya menyapu ke arahku, memberi tekanan tak kasat mata. Di belakangnya, beberapa hantu hukuman lain juga ikut mendekat.
Tidak ada pilihan! Harus berhadapan langsung, kontak fisik, tembus paksa Gerbang Kematian ini.
Setelah berpikir sampai di sini, saat aku hendak menghentikan "Teknik Pernapasan Tersembunyi Mao Shan" untuk bertarung mati-matian, tiba-tiba melihat tas ransel yang kubawa. Seketika muncul ide!
Di dalam tas ini ada banyak uang kertas dan keping emas ritual. Jangan-jangan jika kukeluarkan, ketua hantu hukuman ini bisa memberi kelonggaran?
Apapun hasilnya, saat ini harus mencoba yang mustahil. Coba dulu baru tahu.
Dengan cepat kuraih tas dari punggung, mengambil segenggam uang kertas dan mengulurkannya ke hantu yang mendekat.
"Tuan Penghubung Arwah, hamba kecil ini sedang kesulitan. Bisakah Tuan memberi toleransi? Izinkan hamba lewat?"
Ketika Hantu Penghukum itu melihat segenggam besar uang kertas di tanganku, matanya langsung bersinar. Dengan dua langkah gesit, ia sudah berada di depanku, meraih dan merebut uang itu dengan tangan lalu memasukkannya ke saku.
"Kau ini memang pintar mengambil hati, tapi..." Hantu Penghukum itu menghentikan ucapannya tiba-tiba, sementara matanya menyelidik ke dalam tas ranselku.
Pesannya jelas: Boleh saja melewati Gerbang Kematian ini, tapi jumlah tebusannya masih kurang.
Tanpa ragu kukeluarkan lagi segenggam koin emas dari tas. Hantu Penghukum itu langsung menyambar, lalu memberi isyarat dengan tangan besar sebelum berbalik membawa rombongan hantu pergi.
Melihat mereka menjauh, kuhirup napas lega. "Uang bisa menyuruh hantu menggiling biji" - pepatah itu ternyata benar adanya!
Kubalikkan badan menuju Gerbang Kematian. Di ambang pintu hitam pekat itu, kutegakkan bahu dan melangkah masuk.
Begitu kaki melintasi gerbang, pandanganku langsung gelap. Tubuh terasa melayang, kaki menginap sesuatu yang lembut seperti kapas.
Setelah beberapa saat, kabut hitam di mataku berangsur sirna. Terbentanglah dunia kelabu pekat di hadapanku!!
Langit tampak kelam, dikelilingi kabut abu-abu yang terus mengambang di sekeliling. Memandang ke depan, terlihat jalan raya yang tak berujung membentang. Jalan itu tampak goyah, seolah terbuat dari gulungan kertas raksasa yang dihamparkan di tanah. Di atasnya berjalan beberapa hantu yin, kebanyakan mengenakan baju kematian hitam-kelabu yang mirip dengan yang kukenakan.
Saat ini para hantu yin itu berjalan menunduk mengikuti arah yang sama di sepanjang jalan. Sekelilingnya sunyi senyap tanpa suara, keheningan yang membuat bulu kuduk merinding...
Inikah alam baka??
